Angka Pernikahan Turun: Pergeseran Paradigma dan Fenomena ‘Waithood’ Menjadi Alasan

Kurnia Siti Mahaniyah
Binokular
Published in
6 min readMar 21, 2024

--

Ilustrator: Aan K. Riyadi

Pada bulan Maret media hangat memberitakan tentang angka pernikahan di Indonesia yang kian hari kian turun. Media mengutip laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan angka pernikahan di Indonesia berada di titik terendah selama lebih dari seperempat abad ini, tepatnya sejak 1996/1997. Topik tersebut juga menjadi perbincangan di media sosial. Warganet membicarakan tentang penyebab serta kekhawatiran angka pernikahan yang terus merosot.

Berdasarkan laporan Statistik Indonesia 2024 yang dirilis BPS, angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Namun, penurunan yang paling signifikan terjadi dalam tiga tahun belakang. Perlu diketahui juga data pernikahan yang dipublikasikan BPS adalah data pernikahan di seluruh usia untuk agama Islam. Hal itu dikarenakan data yang digunakan BPS bersumber dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, yang hanya mencakup pernikahan bagi masyarakat beragama Islam saja.

Laporan BPS pada 2023 tercatat jumlah pernikahan di Indonesia mencapai 1.577.255 atau turun sekitar 128 ribu dibandingkan angka pernikahan di tahun 2022. Sementara dalam rentang satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 28,63 persen atau menyusut 632.791. Tren penurunan angka pernikahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga beberapa negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan.

Tabel 1. Angka Pernikahan dan Perceraian 2021-2023 (Sumber: Laporan Statistik Indonesia 2024)

Dari data BPS terlihat juga pada tahun 2022 total pasangan di Indonesia yang bercerai melambung ke angka 516.344, yang mencatatkan sejarah perpisahan rumah tangga tertinggi sejak 1996. Kendati tahun selanjutnya turun sebanyak 52.690 pasangan, angka perceraian di Tanah Air pada 2023 masih tinggi, yakni 463.654 pasangan.

BPS menyebut penyebab penurunan angka pernikahan terjadi karena adanya pergeseran persepsi para generasi muda tentang pernikahan dan korelasinya dengan kualitas hidup, terutama terkait pendidikan dan status ekonomi.

Pergeseran Paradigma

Penyebab penurunan angka pernikahan di Indonesia dipicu oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena pergeseran paradigma generasi muda terhadap pernikahan. Dilansir dari laman konde.co menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati menyebut ada keterkaitan antara pendidikan seseorang dengan pergeseran paradigma pernikahan. Lulusan pendidikan tinggi S1 biasanya pada rentang usia 20–24 tahun. Usia tersebut juga termasuk ideal menikah sesuai anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Menurutnya, generasi muda sekarang lebih memprioritaskan kerja, menggapai cita-cita, dan mengejar ambisi ketimbang membangun rumah tangga bersama pasangan. Pergeseran paradigma ini membuat pernikahan sudah tidak lagi menjadi prioritas hidup bagi sebagian orang.

Pernikahan bukan sekadar menyatukan hidup antara pasangan saja. Ada konsekuensi apabila nantinya punya anak, tabungan, dan lain sebagainya. Pemenuhan akan ekonomi membuat seseorang berpikir ulang. Belum lagi soal tolak ukur kesuksesan yang juga berbeda dari generasi sebelumnya.

Kemudian, menurut Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, pergeseran paradigma yang muncul seiring perkembangan privatisasi dalam kehidupan sosial, dan melemahnya ikatan moral maupun kepercayaan pada institusi keluarga dapat memicu terjadinya penurunan angka pernikahahn di Indonesia. Dalam sebuah studi yang ia lakukan, menunjukan bahwa perempuan makin ingin mandiri dan diakui. Sebab, perempuan memiliki ketidakpercayaan yang cukup besar bila menyerahkan hidupnya kepada institusi keluarga dengan realitas seperti kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya semakin tinggi. Kemudian banyaknya kasus pertengkaran atau perselisihan keluarga yang mengakibatkan cerai gugat yang dilayangkan oleh pihak istri .

Grafik 1. Jumlah Perceraian di Indonesia Berdasarkan Penyebab (Sumber: Data BPS 2023)

Menurut data BPS pada 2023 , kasus perceraian di Indonesia masih terbilang tinggi dengan alasan perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab utama, jumlah kasus ini mencapai 251.828 atau 61,67% dari total kasus perceraian dalam negeri. Ada banyak juga perceraian yang disebabkan masalah ekonomi (108.488 kasus), ada salah satu pihak yang meninggalkan pasangannya (34.322 kasus), kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT (5.174 kasus), dan mabuk (1.752 kasus).

Fenomena Waithood yang Menguat

Dalam artikel The Conversation, Dosen Sosiologi Islam, IAIN Syekh Nurjati Cirebon Musahwi mengatakan ketidakstabilan ekonomi global tidak hanya menciptakan ketakutan atas daya tahan negara dari krisis, tetapi juga berimplikasi pada mindset kolektif tentang seksualitas, makna pernikahan, dan memiliki keturunan. Faktor ekonomi ini nyatanya menjadi penyebab paling masuk akal dalam berkembangnya fenomena waithood. Waithood adalah pilihan seseorang untuk menunda sesuatu dalam waktu tertentu, misalnya menunda pernikahan. Kondisi ekonomi global yang terus merosot juga telah memicu kekhawatiran terhadap kesenjangan kondisi keuangan seseorang ketika sudah menikah. Kemudian alasan melanjutkan pendidikan dan karier demi menata kesiapan sosial ekonomi sebelum memasuki pernikahan juga memperkuat fenomena ini. Dengan menunda menikah, individu merasa lebih bisa mengembangkan kualitas dirinya dan menyiapkan kemandirian secara emosional serta finansial untuk kesiapan dalam menjalani rumah tangga nantinya.

Grafik 2. Angka Pemuda Kawin dan Belum Kawin periode 2014–2023 (Sumber: Statistik Pemuda Indonesia 2023)

Menurut data yang dirilis BPS berjudul Statistik Pemuda Indonesia 2023, terlihat bahwa pemuda yang menunda nikah terus meningkat dari tahun ke tahun. Definisi pemuda yang digunakan BPS merujuk pada UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yakni warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Pemberitaan Media Massa

Grafik 3. Linimasa Pemberitaan Penurunan Angka Pernikahan Periode 01–19 Maret 2024 (Sumber: Newstensity)

Tren penurunan angka pernikahan juga mendapat porsi pemberitaan yang cukup ramai di media massa. Melalui mesin big data Newstensity milik PT Nestara Teknologi Teradata, Jangkara memantau pemberitaan tentang penurunan angka pernikahan pada periode 01 hingga 19 Maret 2024. Menggunakan kata kunci “angka pernikahan” “angka perkawinan” “tren pernikahan” dan “tren perkawinan” ditemukan jumlah pemberitaan mencapai sebanyak 587 berita. Adapun puncak keramaian berita mengenai penurunan angka pernikahan terjadi pada 8 Maret 2024.

Grafik 4. Analisis sentimen Terkait Penurunan Angka Pernikahan di media massa. (Sumber: Newstensity)

Berdasarkan pemantauan di media massa, sentimen negatif mendominasi pemberitaan dengan jumlah 438 berita atau 75%. Diikuti oleh pemberitaan dengan sentimen positif dengan jumlah 133 berita atau sebesar 23%, dan berita tone netral berjumlah 16 atau 3%. Beberapa pemberitaan negatif yang muncul adalah terkait isu tentang pemicu dari penurunan angka pernikahan di Indonesia yaitu seperti alasan masyarakat menunda menikah dan pergeseran gagasan terkait pernikahan itu sendiri. Ada pula isu kekhawatiran akan penurunan angka pernikahan yang bersifat continue sehingga berakibat pada krisis populasi dan ketidakoptimalan dalam memanfaatkan bonus demografi 2035.

Grafik 5. Lingkup Media Yang Memberitakan Tentang Penurunan Angka Pernikahan (Sumber: Newstensity)

Media massa daerah menjadi media yang paling banyak memberitakan tentang hal ini, dengan 321 berita yang telah diterbitkan. Data penurunan angka pernikahan menurut BPS dialami oleh mayoritas provinsi yang ada di Indonesia, sehingga tidak heran jika media-media daerah banyak yang memberitakan. Kemudian untuk media nasional ada 265 berita dan media internasional 1 berita.

Perbincangan di Media Sosial ‘X’

Data penurunan angka pernikahan cukup menarik atensi publik khususnya warganet X (Twitter). Jangkara memantau perbincangan warganet dalam menangani data yang dikeluarkan BPS tersebut. Dibantu dengan mesin big data Socindex milik PT Nestara Teknologi Teradata, Jangkara memantau kata kunci “angka pernikahan” “ angka perkawinan” “tren pernikahan” dan “tren perkawinan” pada tanggal 01 hingga 19 Maret 2024.

Grafik 6. Statistik Percakapan Terkait Penurunan Angka Pernikahan (Sumber: Socindex)

Hasil pemantauan oleh Socindex menunjukkan sepanjang periode tersebut pembicaraan tentang penurunan angka pernikahan dibicarakan oleh lebih dari 2 juta akun dengan jumlah pembicaraan mencapai 342 pembicaraan dan 35.834 engagement.

Grafik 7. Linimasa Engagement Terkait Penurunan Angka Pernikahan. (Sumber: Socindex)

Perbincangan tentang penurunan angka pernikahan ini terbagi menjadi dua gelombang yakni pada tanggal 05 Maret 2024 yang dipicu oleh cuitan dari @Strategi_Bisnis dengan jumlah likes 12.8 ribu dan 13 Maret 2024 dimulai oleh cuitan @SoundOfYogi dengan jumlah likes 8.7 ribu.

Gambar 1. Top Likes Terkait Penurunan Angka Pernikahan (Sumber: Socindex)

Berdasarkan pemberitaan terkait penurunan angka pernikahan, beberapa akun warganet seperti @Strategi_Bisnis dan @SoundOfYogi merupakan 2 akun yang menjadi top likes selama periode 01–19 Maret 2024. Unggahan dari kedua akun X tersebut cenderung membicarakan tentang faktor yang memicu penurunan angka pernikahan dan kekhawatiran akan penurunan angka pernikahan yang berkelanjutan di masa mendatang.

Epilog

Penurunan angka pernikahan dalam satu dekade terakhir ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya seperti pergeseran paradigma para kaum muda tentang pernikahan dan fenomena waithood yang berkorelasi dengan status ekonomi dan Pendidikan. Dengan adanya faktor yang berkontribusi tersebut, maka menjadi penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memahami perubahan ini dan merumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi tantangan yang mungkin akan timbul.

--

--