Khoirul Rifai
Binokular
Published in
8 min readOct 11, 2022

--

Anies Baswedan Menuju 2024 dan Ancaman Politik Identitas

Senin, 03 Oktober 2022 mungkin akan menjadi hari yang bersejarah bagi mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pada tanggal tersebut, Partai Nasdem besutan Surya Paloh resmi meminang Anies sebagai calon presiden (capres) untuk Pemilu 2024. Tonggak bersejarah bagi karier politik Anies yang lekat dengan kontroversi.

Sebelum memilih Anies, Nasdem sudah mengantongi tiga nama potensial untuk dijadikan calon presiden yaitu Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan sendiri. Ketiganya diajukan dalam Rakernas Partai Nasdem pada Juni 2022. Nama Anies akhirnya terpilih karena paling banyak direkomendasikan menjadi capres oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem. Dari 34 DPW partai yang memberikan suara, hanya Kalimantan Timur dan Papua Barat yang tidak memilih nama Anies.

Jagoan Elektabilitas

Faktor penilaian penting dalam menentukan kandidat capres adalah elektabilitas seorang calon. Begitu juga dengan pemilihan Anies oleh Nasdem yang dipilih karena selalu meraih elektabilitas tinggi di setiap survei. Dari analisis survei yang digelar lembaga Indikator Politik Indonesia, Charta Politika, Lembaga Survei Jakarta, Political Weather Station, dan Lembaga Survei Indonesia, Anies selalu berada di jajaran tiga besar mengalahkan nama lain seperti Ridwan Kamil dan Puan Maharani.

Grafik 1. Hasil survei capres beberapa Lembaga. Diolah dari berbagai sumber

Terjaganya elektabilitas Anies dalam setiap survei berusaha dimanfaatkan oleh Partai Nasdem. Tapi uniknya Nasdem justru ditinggal pendukungnya di belahan Indonesia Timur. Saiful Mujani Research Center (SMRC) menyebut dukungan Nasdem di Indonesia Timur 10,8 persen pada Mei 2021. Angka itu turun tajam menjadi 3,9 persen setelah Nasdem mengumumkan Anies sebagai capresnya.

Riset yang dilakukan Political Weather Station (PWS) juga menunjukkan hal yang sama. Sentimen negatif terhadap partai ini meningkat setelah nama Anies dimunculkan sebagai capres oleh Nasdem. Sebelum deklarasi sentimen negatif terhadap Partai Nasdem sebesar 11,7 persen, setelah deklarasi meningkat menjadi 16,1 persen. Rupanya, jaringan politik Anies yang dinilai dekat dengan Islam radikal kurang disukai masyarakat Indonesia Timur yang mayoritas non-muslim.

Setali tiga uang, gelombang protes internal juga menghantam partai milik Surya Paloh ini. Hingga saat ini, ada empat tokoh yang menyatakan mundur dari Nasdem imbas pencapresan Anies oleh Nasdem. Keempatnya adalah Sekretaris Garda Pemuda Nasdem Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kota Semarang Hanandityo Narendro, Wakil Sekretaris DPD Partai Nasdem Kota Semarang Shafiqh Pahlevi Lontoh, kader di Kalimantan Selatan Acui Simanjaya, dan paling fenomenal adalah Niluh Djelantik. Nama terakhir adalah pendukung militan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menentang keras politik identitas saat Ahok dan Anies bertarung untuk DKI 1 pada 2017 lalu.

Nasdem bukannya tanpa risiko mengangkat Anies. Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai, langkah tersebut mengancam tiga menteri Nasdem di Kabinet Indonesia Maju mengingat Nasdem juga berkoalisi dengan PDI Perjuangan, partai berkuasa saat ini.

Anies juga tahu dirinya masuk bursa capres Nasdem. Sejak namanya muncul dalam bursa capres Nasdem, Anies mengaku tersanjung dan malu-malu kucing menerima penawaran ini. Begitu juga dengan sikap dan pernyataannya yang terkesan berhati-hati dalam menanggapi berbagai hasil survei yang menempatkan dirinya sebagai salah satu bakal calon populer. Barulah setelah ia melepas jabatan Gubernur DKI Jakarta pada 13 September 2022, manuver Anies dalam bursa capres 2024 kian tak terbendung.

Jauh sebelum diresmikan sebagai capres Nasdem, Anies rupanya sudah menjadi rebutan beberapa partai politik. Pun demikian dengan derasnya dukungan dari berbagai relawan di daerah. Sayup-sayup dukungan terhadap Anies oleh relawan di daerah sudah muncul sejak November 2021 melalui berbagai deklarasi, meski nama-nama gerakannya tidak pernah terdengar.

Anies juga sudah masuk bursa capres Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Selama masa penjajakan, Anies bersikap terbuka kepada semua partai yang ingin meminangnya. Sebaliknya, Nasdem juga tidak meminta Anies untuk menjadi kader partai dan membebaskan Anies memilih cawapres pilihannya.

Belakangan, usai dideklarasikan sebagai capres dari Nasdem, peta kerjasama dengan partai-partai tersebut berubah. Anies pada 7 Oktober 2022 secara resmi berkunjung ke kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Demokrat di Menteng, Jakarta Pusat, untuk menemui Ketua DPP Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Meski tidak ada substansi pembicaraan yang disampaikan ke publik, media berasumsi AHY akan dipasangkan sebagai cawapres Anies.

Baik Anies maupun elit Demokrat sendiri secara halus mengakui keserasian keduanya jika maju sebagai pasangan. Hasil survei Poltracking dan Charta Politika yang dilansir detik.com, menempatkan AHY sebagai figur paling cocok menjadi pendamping Anies mengalahkan Khofifah Indar Parawansa dan Andika Perkasa.

Setelah kunjungan ke Partai Demokrat, Anies juga akan melawat ke Partai Keadilan Sosial (PKS). Manuver Anies ke Demokrat dan PKS diakui olehnya bagian dari strategi untuk menggandeng partai koalisi. Harapan Anies, nantinya Nasdem, Demokrat, dan PKS dapat menjalin komunikasi dan bekerja sama.

Ancaman Politik Identitas

Politik identitas atau identity politics menurut kamus Oxford adalah kecenderungan sekelompok massa dengan latar belakang agama, ras, dan sosial tertentu untuk membentuk aliansi ekslusif dan menjauh dari partai politik tradisional yang memiliki basis massa dengan latar belakang yang beragam. Seharusnya, politik identitas bukan suatu masalah. Masalah baru muncul saat gerakan ini dipakai untuk mengeksploitasi kelompok tertentu dan menguntungkan kelompok lain. Manuver kelompok Islam tertentu dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 adalah salah satu contohnya.

Anies dianggap menerapkan strategi ini saat memenangi Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 dengan menggandeng Front Pembela Islam (FPI). Meski tidak pernah secara terang-terangan mengakuinya, manuver dan kedekatan dengan tokoh-tokoh FPI mengindikasikan hal ini. Jelang pilkada, Anies diketahui bertandang ke Petamburan, markas besar FPI pada 1 Januari 2017 untuk mengisi seminar sekaligus menjawab berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Ketua pemenangan tim Anies dan Sandiaga Uno saat itu, Mardani Ali Sera juga mengakui hal ini. Salah satu strategi yang ia beberkan adalah mendekati kelompok FPI asuhan Rizieq Shihab dengan menunggangi Aksi 212 dan membawa isu agama. Aksi iini adalah serangkaian demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam setelah Ahok mengutip Surat Al Maidah ayat 51. Oleh massa FPI setidaknya, Ahok yang saat itu petahana dianggap menista agama Islam dan siapapun pendukungnya akan dicap kafir.

Situasi seperti ini menempatkan warga DKI Jakarta dalam kondisi seperti “tidak memiliki pilihan lain” kecuali pasangan Anies-Sandi yang seiman sebagai satu-satunya pasangan yang bisa mereka pilih. Strategi ini menjadi momentum untuk menaikkan elektabilitas Anies. Hasilnya, Anies unggul 57,95 persen suara meski menonjolkan isu SARA sebagai jualan utamanya. Bisa saja strategi serupa diterapkan di masa mendatang dalam mendongkrak elektabilitas.

Merujuk penelitian Djayadi Hanan dalam Jurnal Wacana Politik terbitan Universitas Padjajaran, politik identitas juga marak ditemui selama Pemilu Presiden 2019. Saat itu, masyarakat terpolarisasi secara tajam antara dua kelompok kontestan dengan saling serang terjadi di media sosial bahkan dalam realitas sehari-hari. Parahnya lagi hoaks atau fake news menjadi senjata mematikan yang menyebar secara masif hingga mengaburkan fakta-fakta antara dua pasangan capres dan cawapres yang bertarung.

Pengalaman selama Pemilu 2019 dan rekam jejak Anies yang kerap memakai politik identitas dalam pertarungan politiknya menimbulkan kekhawatiran baru bahwa hari depan politik Indonesia akan dibentuk dari pertikaian antarkelompok yang dibuat oleh kontestan pemilu. Alih-alih berkompetisi karena ide dan gagasan, justru berita bohong dan sentimen kelompok lebih berperan dalam meraih suara masyarakat. Dampak buruknya, pengaruh ini dirasakan hingga jangka waktu yang relatif lama dan menembus batas-batas geografi.

Pantauan Media

Nama Anies Baswedan sudah cukup untuk menarik minat media memberitakan setiap gerak-geriknya. Baik sebagai Gubernur DKI Jakarta maupun potensinya sebagai calon presiden di 2024 nantu. Platform Newstensity milik Jangkara menangkap volume pemberitaan yang besar dari Anies sejak pengumuman dirinya menjadi capres oleh Partai Nasdem.

Grafik 2. Linimasa pemberitaan Anies Baswedan. Sumber Newstensity

Dari chart di atas, pemberitaan dengan kata kunci “Anies Baswedan” selama rentang waktu 2–10 Oktober 2022 mencapai 15.593 berita. Angka ini terbilang cukup banyak untuk seorang individu yang tidak sedang dalam pusaran kasus atau kontroversi, artinya Anies adalah figur media darling.

Grafik 3. Komposisi pemberitaan Anies Baswedan di Newstensity

Dari pemberitaan kasar tersebut, berita yang terkait dengan pencapresan Anies mencapai 8.832 berita. Media mulai memuat agenda safari politik Anies yang diawali kunjungan ke Petamburan, markas FPI (7/10), lawatan ke DPP Demokrat dan bertemu AHY, terakhir Anies diwartakan akan segera mengatur jadwal pertemuan dengan PKS. Media juga memberitakan konsolidasi partai-partai lain pasca-pengumuman capres oleh Nasdem.

Grafik 4. Media yang memberitakan Anies. Sumber: Newstensity

Persebaran media juga cukup beragam. Anies mendapatkan eksposur yang luas dari media-media nasional seperti wartaekonomi.co.id, detik.com, tribunnews.com, dan kompas.com. Anies juga tertolong dengan kontribusi pemberitaan Media Indonesia, harian yang terafiliasi erat dengan Surya Paloh dan Partai Nasdem.

Percakapan di Twitter juga tidak kalah ramai. Hasil pemantauan Socindex dengan kata kunci “Anies Baswedan” menghasilkan 815.512 engagement dan berpotensi mampir ke 186,4 juta akun Twitter.

Grafik 5. Percakapan di Twitter. Sumber: Socindex

Sama halnya dengan linimasa pemberitaan, lonjakan percakapan di Twitter juga terjadi saat Anies diumumkan oleh Nasdem sebagai capres pilihan, Senin 3 Oktober 2022. Dari rerata 20 ribu engagement per hari menjadi sekitar 180 ribu engagement per hari, atau melonjak sembilan kali lipat.

Grafik 6. Enam tagar teratas yang dipuncaki tagar pro Anies, namun diikuti lima tagar yang kontra Anies. Sumber: Socindex

Pertarungan antar-pendukung Anies dengan lawan-lawannya juga terjadi di Twitter. Dari enam tagar teratas, lima tagar berisi tagar yang kontra dengan Anies seperti #TenggelamkanAniesNasdem dan #AniesNasdemOut. Belum juga kampanye dimulai, Partai Nasdem sudah ikut disamsak warganet. Padahal Anies juga menjalin koalisi dengan Demokrat dan PKS namun kedua partai terakhir masih terpantau aman dari amukan warganet. Namun, pendukung Demokrat juga menyerang balik melalui tagar #AniesAHY2024 sekaligus menjadi trending tagar. Demokrat juga mengarahkan akun beberapa dewan pimpinan wilayah mereka untuk mem-boost tagar ini sekaligus mengampanyekan Partai Demokrat sendiri.

Grafik 7. Unggahan dari “robot” mendominasi percakapan. Sumber: Socindex

Perang buzzer antara pendukung Anies dengan lawannya ditunjukkan dengan tingginya cuitan oleh robot. Analisis kecerdasan buatan Socindex menilai cuitan oleh robot mencapai 11.352 unggahan, kemudian cyborg (kombinasi manusia dengan bot) mencapai 7.662, dan cuitan dari manusia hanya 2.984 cuitan.

Penutup

Setelah deklarasi oleh Nasdem dan Anies mundur dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, manuver politik Anies untuk maju sebagai calon presiden di Pemilu 2024 menjadi tak terbendung. Berbagai lawatan politik sudah dilakukan dan direncanakan termasuk menggandeng Demokrat dan PKS sebagai koalisi bersama Nasdem. Anies juga terlihat menyambangi Rizieq Shihab. Tentu saja hal itu memunculkan kekhawatiran bahwa Anies akan mengusung politik identitas, sebagaimana saat Pilgub DKI tahun 2017.

Hingga kini, belum ada satupun partai yang menyatakan komitmennya untuk bergabung dengan Nasdem mengusung Anies. Pro dan kontra masih mewarnai perjalanan Anies menuju RI-1. Kini, tinggal menunggu waktu untuk membuktikan, apakah Anies dengan gerbong politik ini bisa melewati presidential threshold guna melangkah maju sebagai calon presiden resmi di Pemilu 2024.

--

--