Azan Jihad yang Problematik

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readDec 2, 2020

Usia azan hampir setua usia agama Islam itu sendiri. Menurut kisah yang disitat dari situs resmi Nahdlatul Ulama, azan pertama kali dikumandangkan sebagai panggilan salat pada tahun pertama Hijriyah. Lafal azan sendiri disebut berasal dari mimpi seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Abdullah bin Zaid.

Azan lahir lantaran semakin banyaknya penganut agama Islam. Jika sebelumnya umat Islam cukup berkumpul di masjid untuk menunggu waktu salat, semakin bertambahnya jumlah penganut membuat cara ini tak lagi efektif. Sebab, ada banyak penganut Islam yang bertempat tinggal jauh dari masjid serta memiliki banyak kesibukan.

Dari persoalan itu, beberapa sahabat mengusulkan kepada Rasulullah agar membuat panggilan salat. Ada yang mengusulkan penggunaan lonceng seperti di agama Kristen, ada yang mengusulkan penggunaan terompet laiknya di agama Yahudi, dan ada pula yang mengusulkan pengobaran api di tempat tinggi supaya bisa terlihat dari jauh.

Akan tetapi, semua usulan tersebut ditolak. Di tengah kebuntuan, Abdullah bin Zaid datang menghadap Nabi Muhammad. Dia bercerita bahwa pada malam sebelumnya dirinya bermimpi bertemu dengan seorang berjubah hijau yang tengah membawa lonceng.

Abdullah bin Zaid awalnya hendak membeli lonceng tersebut untuk dijadikan alat panggilan salat. Akan tetapi, orang berjubah hijau tersebut kemudian mengajarkan lafal azan kepadanya.

Allahu akbar, Allahu akbar (Allah maha besar)
Asyhadu alla ilha illallah (Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah)
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (Aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah)
Hayya ‘alash shalah (Marilah salat)
Hayya ‘alal falah (Marilah menuju kemenangan)
Allahu akbar, Allahu akbar (Allah maha besar)
La ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah)

Demikian bunyi lafal azan yang diajarkan orang berjubah hijau tersebut kepada Abdullah bin Zaid. Mendengar cerita tersebut, Nabi Muhammad kemudian meminta sang sahabat untuk mengajarkan lafal azan kepada Bilal bin Rabah, sahabat lain yang dikenal memiliki suara merdu. Tak lama, azan untuk kali pertama dikumandangkan oleh Bilal.

Ketika Bilal mengumandangkan azan, Umar bin Khattab yang tengah berada di rumah buru-buru datang ke masjid. Sesampainya di sana, Umar berkata kepada Nabi bahwa dia pun memimpikan hal yang sama, bahwa ada seorang berjubah hijau yang mengajarkan lafal azan kepada dirinya.

Dalam perkembangannya, lafal azan yang ada dalam kisah tersebut menjadi panduan baku untuk menjadi pengingat waktu salat, kecuali untuk azan subuh, di mana setelah lafal “hayya ‘alal falah” terdapat lafal tambahan yang berbunyi “ash shalatu khairumminannaum”. Lafal tambahan pada azan subuh itu berarti “salat lebih baik daripada tidur”.

Meski demikian, ada situasi-situasi tertentu di mana lafal azan diperbolehkan untuk diubah. Maret 2020 silam, sebuah video yang menunjukkan lafal azan berbeda sempat beredar luas. Azan berbeda itu sendiri dikumandangkan di Kuwait.

Dalam video tersebut sang muazin mengganti lafal “hayya ‘alash shalah” dengan “shallu fi rihalikum” yang berarti “salatlah di rumah”. Penggantian lafal itu terjadi karena pandemi virus corona memaksa pemerintah Kuwait menutup semua rumah peribadatan termasuk masjid.

Nyatanya, pada zaman Nabi Muhammad SAW pun hal serupa pernah dilakukan. Dari hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud, dikisahkan bahwa suatu kali Rasulullah pernah memerintahkan muazin mengucapkan “‘alaa shallu fir rihaal” (salatlah di rumah) karena malam itu cuaca dingin dan hujan sedang turun.

Namun, hanya itulah riwayat penggantian lafal azan yang ada. Lafal azan diubah untuk memberitahukan kepada para pemeluk Islam bahwa salat di rumah tidak apa-apa karena keadaan di luar sedang tidak memungkinkan. Sementara, lafal azan yang baru-baru ini viral sama sekali tidak ada riwayatnya.

Lafal azan viral yang dimaksud adalah penggantian “hayya ‘alash shallah” dengan “hayya ‘alal jihad” (marilah berjihad). Azan “model baru” ini tersebar luas lewat video-video. Salah satu muazin yang mengumandangkan azan model begini adalah Bahar bin Sumayt.

Biasanya, muazin mengumandangkan azan sendirian. Nah, dalam azan yang menyerukan jihad ini, sang muazin didampingi sekelompok orang yang berdiri di belakangnya. Seusai muazin utama menyerukan “hayya ‘alal jihad”, sekelompok orang tersebut mengulangi seruan tersebut sembari mengacungkan tangan kanannya.

Viralnya video azan jihad tersebut mengundang reaksi negatif dari berbagai organisasi Islam serta ulama. Ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Cholil Nafis, misalnya, mengatakan bahwa “redaksi azan tidak boleh diubah menjadi ajakan jihad karena (salat) merupakan ibadah yang sifatnya taufiqi atau langsung dari syariat”.

Selanjutnya, ada Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, yang mengaku belum menemukan hadis yang menjadi dasar dari azan tersebut. Abdul juga meminta agar video-video tersebut diblokir agar tidak terus beredar dan meresahkan masyarakat.

Ormas-ormas Islam perlu segera memberikan tuntunan kepada para anggota agar tetap teguh mengikuti ajaran agama Islam yang lurus,” tambah Abdul Mu’ti seperti dikutip dari laman Tempo.

Dari Nahdlatul Ulama, reaksi negatif juga muncul. Ketua Pengurus Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas, berpesan agar masyarakat tidak terhasut dengan adanya azan jihad tersebut. “Agama jelas melarang keterpecahbelahan dan menyuruh kita bersatu dan mewujudkan perdamaian di tengah kehidupan masyarakat,” ucapnya, dilansir Detik.

Respons lain datang dari Jusuf Kalla selaku Ketua Dewan Masjid Indonesia. “Azan hayya alal jihad itu keliru, harus diluruskan. DMI menyatakan secara resmi menolak hal-hal seperti itu. Masjid jangan dijadikan tempat untuk kegiatan yang menganjurkan pertentangan,” ucap JK dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/12/2020).

Pertanyaannya sekarang, dari mana, sih, azan jihad ini pertama kali muncul?
Well, sampai sekarang belum ada yang tahu persis kapan pertama kali azan jihad tadi dikumandangkan. Yang jelas, Front Pembela Islam (FPI), lewat Wakil Sekretaris Umumnya, Aziz Yanuar, menyebut bahwa azan jihad tersebut “ada di mana-mana” dan merupakan “aspirasi umat”.

“Saya rasa itu wajar, karena masyarakat melihat ketidakadilan melihat kezaliman luar biasa kepada ulama dan habaib karena tidak sepaham dengan pemerintah,” kata Aziz, dikutip dari Detik.

“‘Kan seharusnya tidak seperti itu. Masyarakat ‘kan diajarin pemerintah demokrasi Pancasila seperti apa menghargai pendapat, keadilan, dan kesetaraan di depan hukum. Tapi pemerintah dan aparat keamanan diduga memperlihatkan hal sebaliknya.”

Wasekum FPI, Aziz Yanuar.

“Ya, wajar kalau rakyat marah, makanya saya memiliki pandangan perlakukan hukum dengan baik sesuai asas-asas keadilan,” sambungnya.

Diduga kuat, kemunculan azan jihad tersebut memang merupakan respons terhadap rencana pengusutan terhadap Rizieq Shihab terkait pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi dalam penyambutan serta acara Maulid Nabi sang pemimpin FPI. Setidaknya, inilah yang disampaikan oleh Kompas TV.

Namun, FPI sendiri membantah anggapan bahwa azan jihad itu merupakan akal-akalan mereka. Seperti dilansir CNN Indonesia, Aziz berkata, “Setahu saya tidak, itu aspirasi umat.”

Selain viral di media sosial, azan jihad ini ternyata juga menjadi bahasan yang cukup ramai di media massa. Terbukti, sejak Minggu (29/11/2020) sampai Rabu (2/12/2020), sudah muncul 686 berita mengenai hal itu.

Seperti yang sudah disampaikan dalam bagian sebelumnya, azan jihad ini menuai respons negatif dari berbagai organisasi dan tokoh Islam. Artinya, azan jihad ini bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan. Maka, tak heran apabila sentimen negatif mendominasi pemberitaan tentangnya.

Dari 686 berita yang ada, 93,4 persennya (641 berita) merupakan berita daring. Di media daring itu, 81 persen pemberitaan menghasilkan sentimen negatif, 13 persennya bersentimen positif, dan 6 persen netral.

Pertumbuhan berita azan jihad dari 29 November s/d 2 Desember 2020.
Sentimen pemberitaan azan jihad di media daring, cetak, dan elektronik.

Berita-berita yang muncul sendiri sebagian besarnya merupakan tanggapan tokoh dan organisasi Islam atas keberadaan azan jihad tersebut. Namun, meski kebanyakan respons merupakan respons negatif, tidak semua beritanya menghasilkan sentimen negatif.

Sentimen positif, negatif, maupun netral di sini dipengaruhi oleh bagaimana media mengemas pernyataan yang ada. Misalnya, tanggapan Jusuf Kalla selaku ketua Dewan Masjid Indonesia tadi. Binokular mendapati respons JK ini memunculkan tiga sentimen berbeda.

Berita berjudul “Ini Respons Jusuf Kalla dan Yusuf Mansur Terkait Viralnya Video Azan dengan Seruan Jihad” dari Kompas memunculkan sentimen negatif. Sementara, berita “JK: Azan hayya alal jihad Itu Keliru” dari Pikiran Rakyat menghasilkan sentimen netral dan berita “Ketua Dewan Masjid Jusuf Kalla: Azan yang Diganti Seruan Jihad Keliru, Harus Diluruskan” dari Liputan 6 menghasilkan sentimen positif.

Beralih ke media cetak, ada 30 pemberitaan yang muncul sejauh ini terkait azan jihad. Dua puluh satu berita (70%) menghasilkan sentimen negatif dan sembilan lainnya (30%) bersentimen positif. Di sini pun Binokular mendapati adanya perbedaan sentimen untuk berita yang sebenarnya berisi sama (respons JK).

Di media elektronik, pembagian sentimennya bisa dibilang paling merata. Dari 16 berita yang ada, 5 di antaranya bersentimen positif, 4 bersentimen netral, dan 7 bersentimen negatif. Padahal, secara garis besar, isi pemberitaan yang ada senada. Yakni, bahwa azan dengan ajakan berjihad itu tidak benar.

Nah, demikianlah hasil temuan Binokular. Dari berbagai tanggapan yang muncul, tak ada satu pun yang membenarkan keberadaan azan jihad kecuali FPI. Namun, meski tanggapan yang ada cenderung seragam, tidak semuanya menghasilkan sentimen yang sama. Artinya, media punya peranan besar dalam menentukan seperti apa pernyataan tokoh sampai ke masyarakat.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.