Khoirul Rifai
Binokular
Published in
7 min readJul 28, 2022

--

Cacar Monyet: Respons Pemerintah dan Ancaman Stigmatisasi

Setelah pandemi Covid-19 mulai berhasil dikendalikan oleh beberapa negara, ancaman penyakit lain kembali muncul. Kali ini, penyakit endemik Afrika Tengah dan Barat yang kerap disebut cacar monyet atau monkeypox dikabarkan mulai menyerang negara-negara nonendemik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Sabtu (23/7) mendeklarasikan wabah cacar monyet, yang kini telah terdeteksi di 75 negara, sebagai “Darurat Kesehatan Global atau Darurat Kesehatan Publik yang Menjadi Perhatian Internasional (PHEIC)”. Deklarasi WHO ini serupa dalam fase awal wabah COVID-19 pada Januari 2020, pandemi flu babi (H1N1) pada 2009, penyakit polio pada 2014, Ebola pada 2014, wabah Zika 2016, dan wabah Ebola pada 2019. Artinya, ancaman cacar monyet tidak bisa disepelekan begitu saja.

Secara historis, cacar monyet bukanlah penyakit baru yang muncul akibat mutasi genetis atau perubahan iklim. Wabah ini sudah jamak ditemukan di beberapa negara Afrika seperti Kongo, Ghana, dan Nigeria. Sekarang wabah ini sudah menjamah semua benua dengan konsentrasi tertinggi di Eropa dan Amerika Utara.

Di Asia, kasus cacar monyet telah terdeteksi di Singapura, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, India, Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Kementerian Kesehatan Indonesia pada Senin (25/7) menyatakan kasus cacar monyet belum ditemukan di Indonesia. Namun, pemerintah sudah bersiap menghadapinya dengan mengetatkan surveillans bagi pendatang dari luar negeri.

Menurut keterangan Kemenkes, cacar monyet adalah penyakit zoonosis langka yang disebabkan oleh infeksi virus monkeypox. Virus cacar monyet termasuk dalam genus Orthopoxvirus dalam famili Poxviridae. Genus Orthopoxvirus juga termasuk virus variola (penyebab cacar), virus vaccinia (digunakan dalam vaksin cacar), dan virus cacar sapi.

Terkait penyebarannya, virus cacar monyet dapat menular ketika seseorang bersentuhan dengan virus dari hewan yang terinfeksi, orang yang terinfeksi, atau bahan yang terkontaminasi virus. Transmisi dari manusia ke manusia terjadi saat ada kontak dengan luka atau cairan dari orang yang mengidap penyakit ini. Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menjelaskan, penularan penyakit cacar monyet yaitu melalui kasus kontak erat. Penularan cacar monyet bisa lewat droplet jika ada luka di rongga mulut.

Pada manusia, gejala cacar monyet mirip dengan gejala cacar air, akan tetapi lebih ringan. Gejala dimulai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Perbedaan utama antara gejala cacar air dan cacar monyet adalah bahwa cacar monyet menyebabkan pembengkakan pada kelenjar getah bening (limfadenopati) sedangkan cacar air tidak. Masa inkubasi cacar monyet biasanya berkisar dari 6 hingga 13 hari tetapi dapat pula 5 hingga 21 hari.

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengklaim cacar monyet dapat sembuh dengan sendirinya selama dua sampai empat minggu. Wabah ini tidak terlalu mematikan dengan rasio fatalitas terkini berada di kisaran 3–6 persen.

Saat ini, belum ada obat resmi yang efektif menyembuhkan cacar monyet. Tetapi, WHO menyebut vaksin cacar air 85 persen efektif menghalau cacar monyet. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menyebut bahwa vaksin cacar air efektif mencegah penularan cacar monyet. Masyarakat yang telah mendapatkan vaksin cacar (smallpox) semasa batita berpotensi terinfeksi penyakit cacar monyet lebih rendah dibandingkan masyarakat yang belum mendapat vaksin.

Saat terjadi lonjakan kasus di luar Afrika pada Mei 2022, angka kasus hanya berkisar pada angka puluhan. Lalu, pada Juni 2022 tercatat lebih dari seribu kasus di 29 negara yang secara historis belum pernah melaporkannya. Sementara Juli ini angka kasus sudah mencapai 14 ribu kasus. Per 27 Juli, berdasarkan catatan WHO cacar monyet sudah menyebar ke 78 negara dengan 70 persen penyebaran di Eropa dan 25 persen di Amerika Utara. Kemudian angka kematian sebanyak lima orang dan 10 persen kasus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lanjutan.

Gambar 1. Peta penyebaran cacar monyet di seluruh dunia. Dot kuning mewakili negara yang belum pernah melaporkan kasus sebelumnya, dot biru mewakili negara yang secara historis pernah melaporkan kasus cacar monyet. Sumber: Centers for Disease Control and Prevention

Tantangan Selanjutnya: Stigmatisasi Penderita

Pada masa awal outbreak Mei 2022, sejumlah kasus terdeteksi pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan dengan perjalanan ke Afrika. Ternyata, sebagian besar yang terdampak adalah gay dan Eropa jadi pusat wabah terbaru. Pada 20 Mei, Inggris mencatat 20 kasus dan sebagian besar adalah pria gay. WHO, di tanggal yang sama, melaporkan 80 kasus di seluruh dunia termasuk Australia, Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Portugal, Spanyol, dan Swedia.

Angka penyebaran di negara non-endemik jauh lebih besar dibandingkan negara-negara yang secara historis pernah melaporkan kasus ini di Afrika. Menurut catatan theconversation.id, jumlah kasus di 69 negara yang secara historis belum pernah melaporkan kasus cacar monyet mencapai 17.852 kasus berbanding 243 kasus di enam negara Afrika yang pernah melaporkannya.

Penyebaran cacar monyet dari negara-negara Afrika ke negara-negara benua Eropa dan Amerika Utara mengingatkan masyarakat pada fase awal penyebaran HIV/AIDS. Saat itu, stigmatisasi pada kaum homoseksual dan kelompok kulit hitam membuat mereka menghindari kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang layak karena merasa malu.

Meski semua orang rentan terkena cacar monyet, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam rilisnya menyebut 98 persen kasus terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria. Angka ini mengindikasikan tingginya persebaran cacar monyet di kalangan homoseksual sehingga WHO menyarankan mereka untuk membatasi jumlah partner seksual dan mengurungkan niat untuk bergonta-ganti pasangan.

Isu ini juga menjadi concern terhadap upaya Kemenkes RI dalam menghalau cacar monyet di Indonesia. Sempat beredar isu Kemenkes akan menanyakan orientasi seksual setiap pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) yang memasuki Indonesia. Namun, hal ini sudah dibantah Plt Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes, dr. Endang Budi Hastuti yang menyebut pihaknya hanya akan memantau dan mengamati gejala yang dialami PPLN tanpa menanyakan orientasi seksual seseorang.

Kemenkes memang akan memberi perhatian khusus kepada kelompok gay dengan melakukan pengawasan ketat dan menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta komunitas gay. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu menambahkan upaya mitigasi itu dilakukan lantaran laporan dari sejumlah negara, sebagian besar yang terinfeksi cacar monyet adalah pria gay. Meski demikian, cacar monyet tidak bisa diartikan bahwa virus tersebut menular melalui hubungan seks dan hingga kini cacar monyet tidak dikategorikan sebagai Infeksi Menular Seksual (IMS).

Pantauan Media

Isu cacar monyet mulai menjadi perhatian global setelah WHO mendeklarasikan wabah ini sebagai darurat kesehatan publik yang menjadi perhatian internasional (PHEIC) pada 23 Juli 2022. Berdasarkan pantauan alat big data Newstensity milik PT Nestara Teknologi Teradata (Jangkara) sepanjang periode 21–27 Juli 2022 ditemukan 2.453 berita yang memuat kata kunci cacar monyet.

Grafik 1. Linimasa pemberitaan. Sumber: Newstensity

Dari linimasa di atas, terlihat jelas lonjakan volume pemberitaan terjadi pada 24 Juli, satu hari setelah deklarasi WHO terhadap cacar monyet. Setelahnya, pemberitaan terus meningkat pada 25 Juli sekaligus menjadikannya sebagai puncak pemberitaan dengan 685 berita yang terangkum dalam satu hari. Setelah itu, intensitas pemberitaan mulai menurun.

Sejauh ini, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus masih menjadi top key opinion leader (KOL) yang paling banyak dikutip media. Diikuti Juru Bicara Kemenkes RI Mohammad Syahril, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di posisi ketiga. Bertenggernya juru bicara Kemenkes RI di posisi kedua menjadi indikasi positif dalam penyebaran informasi kepada publik untuk meminimalisir potensi hoaks dan misinformasi.

Grafik 2. Top KOL. Sumber: Newstensity

Percakapan di Twitter terlihat kurang ramai. Berdasarkan pantauan Socindex, kata kunci cacar monyet hanya menghasilkan 28.545 engagement (jumlah interaksi berupa comment, post, dan share), 3.582 talk (jumlah post dan comment), 16.762 likes, dan dikunjungi 29.071.133 akun. Jauh dari engagement Citayam Fashion Week yang juga direkam Socindex.

Grafik 3. Aktivitas di Twitter. Sumber: Socindex

Berbeda dengan trafik di pemberitaan media massa yang membutuhkan satu hari sejak pengumuman WHO untuk mendapatkan momentum, isu ini langsung ngegas di Twitter pada 23 Juli. Sebelumnya, pada 22 Juli angka engagement dengan kata kunci cacar monyet hanya mencapai 47 engagement, keesokan harinya angka itu langsung melonjak hingga 13.166 engagement. Artinya, diseminasi informasi melalui media sosial lebih cepat ketimbang media massa.

Grafik 4. Lonjakan engagement di Twitter. Sumber: Socindex

Uniknya, akun yang paling banyak mendapat likes adalah @catchmeupid yang memberikan informasi saat WHO resmi mendeklarasikan cacar monyet sebagai darurat kesehatan global pada 24 Juli. Padahal sebelumnya sudah ada cuitan salah satu dokter IDI, Profesor Dzubairi Djoerban yang menyebarluaskan deklarasi WHO lebih awal ketimbang media populer. Sayangnya, cuitan Dzubairi kalah populer.

Grafik 5. Top likes di Twitter. Sumber: Socindex

Fakta ini menunjukkan masyarakat Indonesia lebih banyak mencari informasi di media-media populer meski kalah faktual. Upaya Dzubairi sebagai seorang dokter untuk meneruskan informasi ternyata masih kalah dari cuitan media yang menyebarkan berita serupa pada keesokan harinya. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi adanya hoaks dalam wabah kali ini amat mungkin terjadi.

Penutup

Sejauh ini, pemerintah masih terlihat serius dalam mengantisipasi wabah cacar monyet di Indonesia. Pengetatan skrining dan pemantauan pada komunitas homoseksual yang lebih rentan tertular menunjukkan respons cepat pemerintah. Lebih baik daripada masa awal penanganan Covid-19 di Indonesia.

Berkaca dari pengalaman menangani Covid-19 lalu saat banyak hoaks berseliweran di media sosial, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mendiseminasikan informasi. Pasalnya, wabah kali ini juga berkaitan erat dengan kelompok homoseksual, salah satu kelompok paling rentan di Indonesia. Jangan sampai misinformasi yang beredar dapat memicu lonjakan kasus dan persekusi kepada kelompok tertentu.

--

--