Deklarasi KAMI Sulit Raih Simpati

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
6 min readAug 21, 2020

Tak sampai dua pekan setelah Gestapu meletus, rapat presidium Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dihelat di Jakarta.

Kala itu, PPMI merupakan wadah bagi seluruh organisasi mahasiswa dariberbagai pandangan. Mau golongan kiri, golongan kanan, maupun golongan nasionalis, semua tumpek blek di PPMI.

Rapat presidium PPMI yang bermula pada 10 Oktober 1965 itu digelar dengan satu tujuan. Yakni, menentukan sikap gerakan mahasiswa atas Gestapu. Namun, kesepakatan tak kunjung tercapai karena isi kepala di sana memang amat heterogen.

Lantaran tak kunjung ada kesepakatan, para mahasiswa golongan kanan yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) membuat manuver. Mereka melapor kepada Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Sjarif Thajeb tekait pertentangan di PPMI.

Sjarif Thajeb merespons keluhan itu dengan menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat rapat baru. Akan tetapi, rapat baru tersebut tidak menghadirkan mahasiswa-mahasiswa kiri dari CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), serta Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi). Hanya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) perwakilan golongan kiri yang dihadirkan.

Dalam rapat tersebut, kebuntuan lagi-lagi tercipta karena GMNI tidak segera mengeluarkan pernyataan tegas menentang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang Gestapu. GMNI waktu itu mengikuti sikap Bung Karno yang tidak mau cepat-cepat mengambinghitamkan PKI.

Aksi mahasiswa tumbangkan Orde Lama. (Foto: Dok. BBC via Tirto)

Sjarif Thajeb akhirnya mengambil inisiatif. Dia mengizinkan dibentuknya wadah baru bagi mahasiswa-mahasiswa yang menginginkan respons keras terhadap Gestapu. Dari sana lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia alias KAMI.

KAMI mendapat dukungan dari berbagai pihak antikomunis mulai dari TNI Angkatan Darat (AD), Gerakan Pemuda Ansor milik Nahdlatul Ulama (NU), serta para mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ini membuat KAMI berada di atas angin sampai berani menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya: (1) Bubarkan PKI, (2) Rombak/bubarkan Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan harga kebutuhan pokok.

KAMI sendiri tidak berumur panjang. Pada 25 Februari 1966 ia dibubarkan pemerintah karena aksi-aksinya kerap berakhir rusuh. Bahkan, dari aksi-aksi KAMI itu jatuh satu korban jiwa bernama Arif Rahman Hakim. Meski begitu, suara keras KAMI itu menjadi salah satu bagian penting dalam upaya pengganyangan PKI serta pelengseran Orde Lama.

Di kemudian hari, para pentolan KAMI macam Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, Abdul Gafur, dan Sofyan Wanandi mendapatkan balas jasa dari Soeharto yang menjadi presiden pengganti Bung Karno. Mereka mendapatkan jabatan dan posisi yang menyenangkan selama Orde Baru berkuasa.

KAMI yang asli sudah bubar sejak lebih dari setengah abad silam. Namun, pada Selasa (18/8/2020) pagi WIB, di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, KAMI “lahir” kembali lewat sebuah deklarasi yang dihadiri tokoh-tokoh macam Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Rocky Gerung, sampai Amien Rais.

Tentunya, KAMI yang baru ini tidak sama dengan KAMI yang asli. Lihat saja orang-orangnya. Sama sekali tak ada bau mahasiswa di sana. Lagi pula, kepanjangannya pun berbeda. KAMI yang ini merupakan singkatan dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia.

Dari deklarasi itu ada delapan tuntutan yang dibacakan, yaitu:

1. Mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR, untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

2. Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.

3. Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.

4. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR, untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.

5. Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dam nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti, dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.

6. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD dan MPR, untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti-Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu.

7. Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, agar tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.

8. Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.

Sepintas, isinya terlihat masuk akal. Siapa yang tak ingin pemerintah menanggulangi pandemi dengan baik? Siapa yang tak ingin pemerintah memberantas mafia hukum? Siapa pula yang tak ingin melihat pemerintah mengatasi resesi ekonomi?

Namun, banyak komentar miring yang kemudian dialamatkan kepada KAMI. Adian Napitupulu, misalnya, tak percaya KAMI hanyalah gerakan moral. Meutya Hafid, anggota Komisi I DPR RI, juga menyayangkan deklarasi KAMI itu karena Duta Besar Palestina sempat hadir di acara. Kedubes Palestina sendiri kemudian mengklarifikasi bahwa kehadiran Dubes di sana adalah ketidaksengajaan. Dubes Palestina, Zuhair Al-Shun, mengira deklarasi KAMI itu ada sangkut pautnya dengan perayaan Kemerdekaan RI.

Lantas, bagaimanakah sentimen pemberitaan yang muncul dari deklarasi KAMI ini?

Well, menurut pantauan Binokular di mesin Newstensity, Rabu (19/8/2020), sudah ada 1.055 pemberitaan terkait deklarasi tersebut. Puncak pemberitaan terjadi pada Selasa (18/8) dan pada Rabu (19/8) masih ada 268 berita dari berbagai sumber.

Secara umum, sentimen yang muncul kebanyakan positif. Ini menarik karena media sendiri telah menyiarkan kabar atau pernyataan dari dua kubu yang berseberangan. Baik berita dari tokoh-tokoh KAMI maupun dari aktor-aktor pemerintahan disampaikan dengan sentimen positif. Padahal, ada cukup banyak berita yang isinya sindiran.

Pertumbuhan berita “Deklarasi KAMI” beserta sentimennya. (Foto: Newstensity)

Salah satu contohnya dari Detik yang berjudul “Soal Tuntutan Penanganan Corona, PPP: Tak Sadar KAMI Tunjuk Diri Sendiri”. Berita itu berisi sindiran dari PPP soal tidak diterapkannya protokol kesehatan COVID-19 di deklarasi, tetapi sentimennya tetap positif.

Di media daring, sentimen positif mencapai 72 persen. Sementara, dari media elektronik 61 persen dan media cetak 79 persen.

Namun, ceritanya lain di bagian komentar pembaca dan pengguna media sosial. Di sini, sentimen negatiflah yang menguasai. Di kolom komentar, muncul 52 persen sentimen negatif. Sedangkan, Twitter dan Facebook masing-masing melahirkan 44 dan 57 persen sentimen negatif terhadap deklarasi KAMI.

Dari sini, muncul sebuah pola menarik. Sentimen positif di media massa menunjukkan bahwa tokoh-tokoh yang terlibat di dalam pemberitaan, baik yang dari KAMI maupun pemerintah, sama-sama berusaha menggunakan bahasa yang santun untuk menyerang satu sama lain. Akan tetapi, para warganet alias netizen seperti kesal dengan kemunculan orang-orang KAMI tadi.

Di Facebook, contohnya, ada yang berkomentar seperti ini: “Manusia gak laku mantan anggota dpr.\nMencalonkan diri lagi gak ada yg milih…”. Ada pula yang berkomentar demikian: “Ya khan …… dungu dipelihara”.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.