Demi Klik dan Seksisme dalam Berita Olahraga

Heditia Damanik
Binokular
Published in
5 min readAug 3, 2021

Minggu lalu media sosial diramaikan oleh kritik jamaah warganet yang dialamatkan kepada seorang wartawan media online. Persoalan muncul ketika sejumlah tangkapan layar berita dalam kurun waktu 2020–2021 tentang atlet perempuan yang ditulis oleh wartawan tersebut tersebar di media. Judul-judul yang dibuat sangat seksis, mengeksploitasi dan mengobjektifikasi penampilan fisik subjek berita, dan saya pribadi sangat risih membacanya. Padahal atlet perempuan juga sama dengan atlet laki-laki, sama-sama berlatih keras dan sama-sama menorehkan prestasi.

Klik link dibawah untuk mengetahui kronologi dan kritikan lengkap dari Indonesia Feminis:

https://www.instagram.com/p/CR5qDPUgeRi/?utm_source=ig_web_copy_link

Keributan tersebut membuat sang wartawan yang berinisial RP dan medianya viva.co.id menjadi bulan-bulanan netizen. Sejumlah organisasi pewarta seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) pun mengecam hal ini karena bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 dan UU Pers No 40/1999.

Dalam pasal 4 KEJ dituliskan “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Sementara di Pasal 8 berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau jasmani”.

AJI Jakarta meminta media untuk menghentikan praktik seksisme dan subordinasi terhadap atlet perempuan dalam pemberitaan olahraga, apalagi dengan menggunakan alasan demi mendulang klik dan meminta media memastikan jurnalisnya untuk mematuhi pedoman pemberitaan dalam setiap produk jurnalistik yang dibuat. Sementara, SIWO melayangkan surat peringatan kepada redaksi viva.co.id yang menyayangkan apa yang terjadi dan meminta media siber milik konglomerat Bakrie tersebut untuk bertanggungjawab secara moril.

Sedangkan kelompok masyarakat Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) akan melaporkan hal ini ke Dewan Pers dan meminta lembaga tersebut untuk menjatuhkan sanksi pada media yang mengobjektifikasi perempuan dan kelompok marginal lainnya.

Banyak warganet yang mengkritik RP secara pribadi dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan punya kecenderungan mesum. Bahkan warganet juga melakukan doxing terhadap RP. Doxing sendiri merupakan kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang yang dilakukan oleh orang tidak berwenang atau tanpa izin dari pihak yang bersangkutan.

Namun, persoalannya tidak sampai di situ. Ada juga yang menduga bahwa hal ini dilakukan untuk mendulang klik. Selain objektifikasi berdasarkan jenis kelamin, dari pengamatan saya dalam konsumsi media sehari-hari hal yang kerap jadi click bait adalah perihal agama seseorang.

Seperti diketahui bahwa keberlangsung bisnis media siber salah satunya tergantung pada traffic. Traffic atau etik sudah lama jadi dilema bagi media khususnya media online. Purnama Ayu Rizky dalam tulisannya di magdalena.co menyampaikan klik dan berita seksisme adalah sahabat dekat. Seorang wartawan pernah mengatakan padanya saat ia masih mahasiswa jika ingin laku tulislah berita yang menyangkut seks. Sehingga hal ini bukan sesuatu yang baru. Artinya ada relasi antara objektifikasi dan komodifikasi. Meski begitu, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Namun, kata dia, perlu dilihat dalam sebuah gambar yang lebih besar bagaimana pergulatan bisnis bisa membuat RP selaku buruh konten melakukan hal-hal yang merendahkan perempuan.

Viva.co.id sendiri menurunkan berita-berita yang dikritik oleh publik namun tanpa ada konfirmasi ataupun permintaan maaf atas hal tersebut. Padahal idealnya sesuai Pasal 10 KEJ harus ada ralat ataupun permintaan maaf yang dikeluarkan oleh wartawan.

Lebih jauh, jika berita-berita eksploitatif yang dinaikkan media ternyata berhasil untuk mendulang klik, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat memang menyukai berita yang seksis. Menyedihkan.

Ramai di Medsos tapi Media kok Diam-Diam bae

Berdasarkan pantauan Socindex pada 27 Juli-2 Agustus 2021 terdapat 388 post made yang dibuat di Twitter dan mendapat 66.235 applause (likes) serta 4.122 talks (reply+retweet). Percakapan ini melibatkan 70.357 audience atau user.

Grafik 1. Statistik Twitter tentang Seksisme dalam Berita Olahraga Periode 27 Juli — 2 Agustus 2021 (Sumber: Socindex)

Sementara itu, percakapan dimulai pada 28 Juli 2021 dan berada di puncak keesokan harinya. Namun langsung drop pada tanggal 30 Juli 2021. Percakapan hanya bertahan beberapa hari sebelum digantikan oleh topik lain. Tentunya topik lain itu adalah antitesis dari berita seksis viva.co.id. Pada 2 Agustus 2021, Indonesia berhasil mendapatkan emas pertama di Olimpiade Tokyo 2020 lewat cabang bulu tangkis ganda putri. Tagar #greyapfinaltokyo2020 pun menggema di Twitter. Nah, ini bukti nyata bahwa atlet perempuan pun mampu berprestasi. Janganlah direduksi ke dalam narasi fisik semata.

Grafik 2. Linimasa Twitter tentang Seksisme dalam Berita Olahraga Periode 27 Juli — 2 Agustus 2021 (Sumber: Socindex)

Sementara itu post paling poluler di Twitter cenderung menekankan pada sosok RP secara personal dibandingkan medianya.

Sebaliknya, pemberitaan di media konvensional cukup sepi. Saya sampai harus mengotak-atik kata kunci di mesin Newstensity untuk memastikan bahwa beritanya memang terbatas. Ternyata memang benar.

Berdasarkan pantauan pada tanggal 28 Juli-3 Agustus 2021, ada 39 berita terkait seksisme yang menyangkut olahraga dan pemberitaan olahraga. Namun, hanya 27 persen atau 11 berita yang mempublikasi tentang pemberitaan seksis oleh viva.co.id. Selebihnya banyak membicarakan tentang atlet perempuan yang mengalami kejadian seksisme di ajang Olimpiade Tokyo 2020.

Artinya masih sedikit media yang berani melakukan otokritik terhadap industrinya. Atau mungkin merasa tidak enak mencampuri urusan media lain karena takut hal yang sama bakal kejadian di masa depan?

Grafik 3. Total Pemberitaan tentang Seksime dalam Berita Olahraga/Olahraga periode 28 Juli — 3 Agustus 2021 (Sumber: Newstensity)

Adapun media yang banyak memberitakan isu ini adalah portal yang fokus pada perjuangan kesetaraan gender dan kaum marjinal di antaranya magdalena.co dan konde.co. Sementara today line sebagai aggregator berita mengunggah kembali berita-berita yang dipublikasi oleh konde.co. Dari grafik ini bisa dilihat bahwa tidak ada media-media besar yang bersuara atas persoalan objektifikasi perempuan di media massa.

Grafik 4. Media yang Mempublikasi tentang Seksime dalam Berita Olahraga periode 28 Juli — 3 Agustus 2021 (Sumber: Newstensity)

Sedangkan berdasarkan grafik linimasa pemberitaan terlihat bahwa isu ini hanya dua hari saja menjadi fokus media massa.

Grafik 5. Linimasa Pemberitaan tentang Seksime dalam Berita Olahraga periode 28 Juli — 3 Agustus 2021 (Sumber: Newstensity)

Kesimpulan

Kejadian ini harusnya menjadi evaluasi bagi institusi media secara keseluruhan tentang pentingnya pengarustamaan gender dalam produk jurnalistik dan menyadari kembali rambu-rambu kewartawanan. Media maupun pengusaha media dari awal sedianya sudah menyadari bahwa bisnis ini memiliki persyaratan bernama kode etik jurnalistik. Kalau mau untung doang tapi tidak mempertimbangkan perangkat aturan yang menyertainya, mending ternak lele aja.

--

--