Dua Kali Larangan Mudik, Dua Kali Pula Dibuat Bingung

Indra Buwana
Binokular
Published in
8 min readMay 11, 2021

Idul Fitri pada tahun 2020 jatuh pada tanggal 23 Mei. Saya masih ingat bangun kesiangan dan tidak salat Idul Fitri di masjid. Alasannya simpel, takut tertular Covid-19.

Biasanya, sehabis salat Idul Fitri, saya kumpul-kumpul dengan orang tua. Setelahnya, bersalaman dengan tetangga kiri-kanan. Biasalah maaf-maafan. Baru Lebaran hari kedua, saya dan orang tua akan bersama-sama ke Yogyakarta untuk bertemu sanak saudara.

Namun, tidak pada tahun itu. Covid-19 baru sebulan ditetapkan sebagai wabah nasional lewat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Penyebaran Covid-19 masih berusaha ditekan oleh pemerintah. Masyarakat juga lebih kooperatif saat itu.

Saya yang nurut anjuran pemerintah hanya bisa berkontak dengan orang tua lewat video call. Tetap saya bilang ke orang tua saya bahwa jangan bepergian terlebih dahulu. Ada Covid-19 di luar sana. Orang tua saya untungnya masih bisa menahan diri untuk tidak keluar rumah.

Larangan mudik lumayan berdampak. Dari hitungan PT Jasa Marga, lalu lintas kendaraan bermotor yang melewati jalan tol pada musim mudik Lebaran 2020 turun drastis hingga 62% dibandingkan tahun 2019. Angkanya dari 1,21 juta unit menyusut jadi 465.582 unit saja.

Lalu lintas mudik tidak berhenti sepenuhnya. Masih ada orang-orang yang tidak mengindahkan larangan tersebut. Polri mencatat selama 34 hari pelaksanaan Operasi Ketupat 2020 sejak 24 April 2020, ada 94.575 kendaraan yang sudah dihalau Polri agar putar balik. Ngeyel yhaaa

Penetapan larangan mudik pun awalnya menuai polemik. Kebijakan larangan mudik diwarnai oleh ketidakseragaman suara antara para pemegang kebijakan. Ketidaksinkronan terjadi tidak hanya pada pemerintah pusat dan daerah, tapi kebijakan antar lembaga pusat pun saling tumpang tindih.

Contohnya ketika Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merilis Peraturan Kementerian Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 yang melarang operasional kendaraan penumpang untuk keluar masuk daerah terdampak Covid-19, tapi malah dilunakkan oleh Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 terbitan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang memperbolehkan arus orang dengan kriteria tertentu. Kemudian, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub melanjutkannya dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pengaturan Penyelenggaraan Transportasi Udara Selama Masa Dilarang Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah.

Salah satu dampaknya adalah Bandara Soekarno-Hatta yang awalnya direncanakan tidak beroperasi hingga 1 Juni 2020, akhirnya dibuka kembali pada 7 Mei 2020. Hal tersebut sempat memicu mem-bludak-nya penumpang yang ingin bepergian (atau mudik).

Bisa dibilang ada satu lagi polemik yang cukup aneh, bahkan sebenarnya tidak perlu. Lebih-lebih polemik ini bersumber dari Presiden Joko Widodo sendiri. Presiden Jokowi saat ditanya oleh Najwa Shihab mengenai apakah mudik dilarang, Jokowi menjawab pertanyaan tersebut dengan kelitan.

Cek di menit 11.30 (sumber: YouTube)

Jokowi memisahkan istilah mudik dengan pulang kampung. “Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung,” ujar Jokowi mendefinisikan pulang kampung. Sedangkan untuk mudik kurang lebih sama, tapi dilakukan saat Lebaran. Ujungnya, polemik mudik versus pulang kampung ini malah makin membingungkan publik.

Larangan Mudik Lebaran 2021 Masih Saja Bingung

Idul Fitri 2021 tinggal menghitung hari. Larangan mudik diberlakukan kembali. Lha wong Covid-19 belum hilang. Meskipun demikian, bapak saya tetap rewel ingin ke Jogja.

Periode larangan mudik versi Lebaran 2021 sudah ditentukan pada tanggal 6–17 Mei 2021. Dasar kebijakan itu adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 dan Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Aturan tersebut kini melarang mudik lokal alias mudik yang dilakukan dalam satu wilayah aglomerasi. Wilayah aglomerasi sendiri merupakan sebuah bentuk zonasi dari beberapa kota/kabupaten yang wilayahnya berdekatan. Alasannya sama, guna mencegah penularan.

Namun, aturan hanyalah coretan hitam di atas putih jika penerapannya ampas. Pemudik akan selalu menemukan celah untuk mewujudkan keinginannya bertemu famili di kampung. Salah satunya dengan melakukan mudik sebelum tanggal pelarangan.

Ada sekitar 30 pengusaha warteg perantau yang tiba di Kecamatan Margadana, Kota Tegal pada tanggal 5 Mei 2021. Geliat pemudik pun terlihat melonjak di Terminal Mengwi, Badung, Bali. Tiket bus keberangkatan dari Bali ke Pulau Jawa sudah habis hingga tanggal 5 Mei 2021.

Inkonsistensi kebijakan kembali terulang. Meskipun ada larangan mudik dalam satu wilayah aglomerasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat terbatas dengan Presiden mengatakan bahwa kegiatan transportasi dalam satu wilayah aglomerasi bisa dilangsungkan tanpa perlu menggunakan surat jalan. Penyekatan hanya dilakukan pada titik perbatasan antar wilayah aglomerasi.

Pemerintah juga sempat curi-curi kesempatan untuk membuka keran pariwisata pada saat larangan mudik berlangsung. Hal itu terlihat dalam pertemuan antara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang membahas persiapan momentum libur Lebaran. Keduanya bersikap untuk tetap bisa menjalankan pariwisata.

Sandi mengatakan sedang menyiapkan opsi pariwisata dalam kerangka PPKM skala mikro. Sedangkan, Muhadjir bersikukuh bahwa pariwisata tetap perlu digeliatkan dengan terus memperhatikan protokol kesehatan. “Harus diketahui, bahwa tujuan kita meniadakan mudik memang untuk menekan penyebaran dan penularan COVID-19, tapi bukan membuat kegiatan ekonomi khususnya di sektor parekraf juga terhenti,” ujar Muhadjir. Yak publik dibikin bingung lagi.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa kegiatan pariwisata tersebut tetap mengacu pada Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Kegiatan pariwisata hanya boleh dilakukan dalam lingkup satu daerah aglomerasi. Wisata jarak jauh tetap dilarang.

Pembukaan wisata ini akhirnya ditimpa dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga melarang pembukaan obyek pariwisata di zona merah dan zona oranye yang berpedoman pada Instruksi Mendagri №10/2021.

Aturan tersebut ditanggapi berbeda pada tingkat daerah. Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengeluarkan surat edaran yang secara resmi melarang operasional tempat wisata pada tanggal 13–16 Mei 2021. Pemerintah Kabupaten Madiun pun melakukan hal serupa dengan durasi yang lebih lama, yaitu selama 4–17 Mei 2021.

Kemudian ada Yogyakarta. Pemprov Yogyakarta memperbolehkan tempat wisata tetap beroperasi selama masa mudik lebaran. Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, Singgih Rahardjo mengatakan bahwa akan ada sedikitnya 127 tempat wisata yang tetap buka. Singgih berdalih 127 obyek wisata itu tidak masuk zona oranye dan zona merah. Singgih menekankan bahwa obyek wisata harus beroperasi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Jadi mudik tidak boleh, piknik jalan terus ya, pak?

Mendekati Lebaran, Polri juga sudah memasang penyekatan di berbagai titik sebagai penerapan kebijakan larangan mudik. Namun, upaya penyekatan Polri diwarnai dengan menumpuknya kendaraan di titik penyekatan dan jebolnya pemudik untuk terus melenggang. Ribuan pemudik menerobos penjagaan Polisi di Bekasi-Karawang.

Namun, tidak adil jika tidak membahas capaian positif dari kebijakan ini. Laporan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Seiyadi mengatakan ada penurunan volume kendaraan hingga 44,7% pada 7 Mei 2021 dari pemantauan di Gerbang Tol Cikampek Utara 1, Kalihurip Utama 1, Cikupa, dan Ciawi.

Stasiun Pasar Senen pun tampak sepi. Dari pantauan Okezone.com pada hari ketiga larangan mudik, tidak ada keramaian yang tampak di Stasiun Pasar Senen. Selain petugas yang berjaga, calon penumpang yang terlihat bisa dihitung jari.

Mengapa Masyarakat Nekat Mudik?

Bapak sebenarnya sudah saya ingatkan soal larangan mudik. Di Prambanan, yang merupakan gerbang menuju Yogyakarta, akan ada titik penyekatan untuk menghalau pemudik dari Jawa Tengah. Namun, tetap saja bapak ngeyel. Kilahnya terlanjur kangen berkumpul dengan keluarga. Biarlah putar balik nanti kalau kena razia, dia bilang.

Hal ini memunculkan pertanyaan. Mengapa orang begitu ingin mudik? Bahkan tetap mudik dengan risiko tertular Covid-19? Padahal jika tidak mudik pun sebenarnya tidak akan terjadi masalah apa-apa. Ya kecuali kehilangan pekerjaan di kota dan ingin pulang ke kampung halaman seperti kata Presiden dalam mendefinisikan pulang kampung.

Dari hasil survei Kemenhub yang dilakukan pada tanggal 15–17 April 2021, ada beberapa alasan yang mendasari orang untuk mudik meskipun dilarang. Alasan tersebut adalah keluarga yang menetap di kampung dan memilih untuk menempuh perjalanan, sekedar mengunjungi orang tua atau saudara, dan karena kejenuhan akibat rutinitas Covid-19.

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada Riris Andono Ahmad menilai ada pembenaran-pembenaran yang dilakukan masyarakat agar tetap mudik. Misalnya merasa cukup aman dengan melakukan protokol kesehatan. Dengan keyakinan seperti itu, penegakan hukum kurang memberi efek jera dan tidak mampu menyurutkan niat masyarakat untuk mudik. Padahal, kegiatan mudik tetap berisiko terpapar Covid-19.

Riris juga menggarisbawahi program vaksinasi pemerintah menyulut keberanian masyarakat untuk nekat mudik dalam situasi pandemi. Ia mengingatkan kengototan masyarakat untuk mudik dan sikap abai terhadap protokol kesehatan dapat memicu melonjaknya kasus Covid-19, seperti lonjakan ekstrem kasus Covid-19 di India.

Ngomong-ngomong, bapak saya sudah dua kali divaksin Covid-19. Hmmm, jadi itu alasannya kenapa berani mudik.

Pemantauan Media

Pemantauan dilakukan menggunakan mesin Newstensity pada tanggal 4–10 Mei 2021. Keyword yang dipakai adalah “mudik”, “dilarang”, dan “larangan”. Hasilnya, Newstensity menangkap ada 34.786 berita yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

Selama periode pemantauan, pemberitaan mengenai larangan mudik tidak pernah sepi. Puncak terjadi pada tanggal 6 Mei 2021 dengan 7.420 berita larangan mudik pada hari itu. Ini wajar mengingat tanggal 6 Mei 2021 bertepatan dengan hari pertama pelaksanaan larangan mudik.

Konten pemberitaan topik ini beragam. Mulai dari ancaman tsunami Covid-19 seperti yang terjadi di India, sosialisasi larangan mudik, dan sebagainya. Ulasan soal penerapan larangan mudik di lapangan juga banyak dimuat. Contohnya berita soal ratusan kendaraan yang diperiksa di perbatasan Situbondo-Probolinggo yang dimuat kabarlumajang.pikiran-rakyat.com.

Evaluasi larangan mudik pun turut dimuat. Pelarangan mudik tampaknya efektif mengurangi jumlah pemudik. Keterangan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Arief Sulistyanto yang dimuat Kompas.com menjelaskan bahwa terjadi penurunan volume kendaraan sebesar 50–60 persen di sejumlah gerbang tol di Pulau Jawa.

Topik larangan mudik muncul di seluruh provinsi di Indonesia. Meskipun demikian jumlah pemberitannya tidak sama antara satu provinsi dengan yang lain. Episentrum pemberitaan tetap terjadi di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta dengan 7.476 pemberitaan.

Sentimen positif mendominasi pemberitaan topik larangan mudik. Berita dengan label biru ini kerap muncul dari penerapan larangan mudik yang dimuat secara afirmatif. Contohnya artikel dari RMOL.id yang memuat kegiatan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika meninjau Pelabuhan Merak. Berita itu memasang tajuk himbauan Listyo kepada agar petugas meningkatkan kewaspadaan.

Berita soal capaian yang diharapkan dari kebijakan larangan mudik pun dilabeli positif. Misalnya berita kompas.com tentang keterangan Kabaharkam Polri Komjen Arief Sulistyanto soal menurunnya volume kendaraan di beberapa tol Pulau Jawa.

Sedangkan berita negatif muncul dari berita yang memperlihatkan kejadian buruk dalam penyekatan mudik. Berita dari detik.com soal insiden mobil yang menerobos penyekatan polisi yang terjadi di Klaten dilabeli tanda merah oleh Newstensity. Langkah polisi yang meminta pemudik untuk memutar balik pun juga mendapat sentimen negatif, seperti artikel dari republika.co.id yang mengangkat kejadian tersebut di Tangerang.

Inkonsistensi pemerintah juga mendapat sentimen negatif. Contohnya berita RMOL.id yang memuat warga Cina yang bisa masuk ke Indonesia dalam situasi larangan mudik mendapat protes dari Ketua Fraksi Nasdem DPR RI Ahmad Ali karena memunculkan kekecewaan rakyat.

Penyebaran Covid-19 perlu dihentikan. Kebijakan membatasi mudik saya pikir merupakan alternatif yang bagus untuk mencapai tujuan itu. Namun, jika pengambil kebijakan melakukannya dengan simpang siur, publik yang akan menjadi korbannya.

Memang saya akui sih banyak juga masyarakat yang ngeyel. Tapi ya mosok inkonsistensi untuk jenis kebijakan yang sama sampai terulang dua kali lho. Tapi kebijakan sudah diketok. Tinggal tugas saya nih kembali meyakinkan bapak buat tidak ke Jogja. Ngeri mbayanginnya kalau orang tua sampai kena Covid.

--

--