Hinaan Netizen Berujung Keringanan Vonis Juliari

Indra Buwana
Binokular
Published in
6 min readAug 25, 2021

Saya sempat melihat beberapa foto di Twitter yang bikin saya agak geram. Tampak terdakwa kasus korupsi E-KTP Setya Novanto sedang duduk dengan dua buah ponsel yang tergeletak di atas meja. Saya pikir tahanan lembaga pemasyarakatan (lapas) tidak boleh memegang ponsel.

Caption: Setya Novanto pojok kanan. Sumber Twitter @mazzini_gsp

Di foto lain, terdakwa kasus korupsi impor sapi Luthfi Hassan Ishaaq memamerkan daging tomahawk yang saya yakin pasti nikmat disantap. Jelas saya makin muntab karena Idul Adha kemarin saya bahkan tidak menyantap makanan olahan hasil kurban. Usut punya usut, foto-foto tersebut diambil saat Idul Adha tahun 2020 di Lapas Sukamiskin yang notorious sebagai lapas tempat koruptor ditahan.

Caption: Luthi Hassan Ishaaq kedua dari kiri. Sumber akun Twitter @mazzini_gsp

Fasilitas mewah bagi tahanan korupsi di Lapas Sukamiskin bukan barang baru. Laporan sindonews.com tahun 2018 menampilkan foto yang memperlihatkan kamar tahanan Setya Novanto memiliki fasilitas yang jauh berbeda dibanding kamar tahan penghuni lapas lain. Lagi-lagi saya geram karena kamar tahanan Setnov lebih bagus ketimbang kamar kos saya.

Saya jadi mbatin, kalau begini caranya, bagaimana para koruptor ini bisa kapok? Idul Adha bisa makan daging premium. Kamar tahanannya pun bagus pol sudah. Jangan-jangan alih-alih jadi penjara bagi koruptor, Sukamiskin malah hanya sekedar kos eksklusif bagi koruptor?

Juliari Batubara, pelaku korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang rencananya disalurkan bagi warga yang membutuhkan adalah salah satu calon penghuni kos ekslusif Sukamiskin ini (belum ditentukan di mana lapas Juliari. Ini baru spekulasi saya). Mantan Menteri Sosial ini didakwa menerima suap lebih dari Rp 32 milyar.

Juliari dinilai melanggar Pasal 12 huruf (b) Jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Juliari dituntut 11 tahun penjara.

Juliari melakukan pembelaan. Selain meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri (bukan kepada penerima bantuan sosial yang dananya ia korupsi), Juliari memohon untuk dibebaskan dari segala dakwaan. Juliari beralasan vonis hakim bisa berdampak kepada keluarganya, terutama pada anaknya yang masih kecil dan masih membutuhkan perannya sebagai ayah. Kalau Juliari bakal sangat menderita sekali atas vonis itu, seharusnya sih ia tidak korupsi sejak awal.

Hakim memutuskan masa tahanan setahun lebih lama daripada tuntutan jaksa. Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Juliari pun diharuskan mengganti uang sejumlah Rp 14,597 milyar subsider 2 tahun penjara dan hak politiknya dicabut selama 4 tahun usai menjalani pidana pokok. Pembaca mungkin berpikiran sama seperti saya, hukuman yang diberikan terasa kurang memberi efek jera.

Latar belakang vonis tersebut lebih aneh lagi. Hakim anggota yang turut serta dalam putusan, Yusuf Purnomo, mengatakan bahwa Juliari diringankan karena terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat. Juliari dianggap sudah mendapat hukuman sosial dari publik, bahkan sebelum hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengetok palu. Omong-omong, majelis hakim sidang putusan kasus Juliari diketuai oleh Muhammad Damis, dengan dua hakim anggota, Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo.

Putusan itu memicu polemik. Peneliti ICW Kurnia Ramadhan termasuk salah satu yang angkat suara. Dilansir tempo.co, Kurnia menyatakan ada empat dasar mengapa Juliari harus dihukum seumur hidup. Pertama, Juliari melakukan korupsi saat menjadi pejabat publik. Kedua, Juliari melakukan kejahatan korupsi terhadap dana bansos di tengah pandemi. Ketiga, Juliari tidak mengakui perbuatannya saat melakukan pembelaan. Keempat, jika Juliari dihukum berat, hal itu bisa menjadi peringatan bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan korupsi, terutama saat pandemi Covid-19.

Dari laporan merdeka.com, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai ada yang janggal dalam pertimbangan hakim yang meringankan hukuman kepada Juliari karena sudah mendapat sanksi sosial berupa hinaan dari masyarakat. Feri bahkan membandingkan dengan kasus pencurian biasa yang meskipun sudah mendapat cacian dari masyarakat, tapi tidak pernah menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan vonis.

Lantas bagaimana respon publik? Sebelum vonis terhadap Juliari dijatuhkan, Binokular sempat memetakan opini publik mengenai tuntutan jaksa kepada Juliari yang dinilai sangat rendah. Laporan tersebut mengangkat Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menantang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntut Juliari dengan hukuman maksimal seumur hidup. Terpantau oleh Binokular, tantangan ICW itu mendapat banyak dukungan dari publik di Twitter.

Kini, menggunakan Socindex, Binokular memantau pembicaraan tentang Juliari pasca dijatuhkannya vonis. Tangkapan data Socindex pada tanggal 23–24 Agustus 2021 mendapati ada 2.888 cuitan yang mengandung kata Juliari. Dari angka tersebut mendulang 129.481 likes dan memicu 25.945 pembicaraan berupa retweet dan reply. Dari angka tersebut terkumpul total 155.426 audiens yang terlibat secara langsung dalam pembicaraan ini.

Caption: statistik tangkapan data keyword “juliari” di Twitter tanggal 23–24 Agustus 2021

Dari angka tersebut, akun @jek___ dengan 1,2 juta pengikut secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam tangkapan data Socindex. Akun @jek___ menjadi akun teratas di kategori akun yang di-retweet terbanyak, akun yang disebut terbanyak melalui reply, dan akun yang mendapat likes terbanyak.

Caption: akun @jek___ menjadi yang teratas di beberapa kategori

Akun @jek___ menjadi key opinion leader dalam perbincangan Juliari karena satu cuitannya yang bernada sindiran terhadap dua hal sekaligus, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diperpanjang lagi dan ujaran agar hukuman koruptor alias Juliari turut diperpanjang. Cuitan tersebut menjadi top twitter post dibanding cuitan lainnya yang mengandung keyword Juliari.

Caption: tangkapan layar cuitan @jek___ tentang Juliari

Sindiran @jek___ itu masih cenderung sopan. Tangkapan word cloud Socindex menemukan hinaan terhadap Juliari yang lebih kasar. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa kata di word cloud yang bernada hinaan. Sentimen pembicaraan mengenai Juliari pun didominasi sentimen negatif.

Caption: word cloud tentang topik Juliari di Twitter
Caption: proporsi sentimen cuitan warga Twitter

Beberapa sampel cuitan di bawah cukup konsisten dengan tangkapan word cloud Socindex. Cuitan di bawah hanya sebagian ungkapan kekecewaan terhadap vonis yang diberikan terhadap Juliari. Sepertinya warga Twitter tidak kapok menghina Juliari ya meskipun hinaan tersebut menjadi keringanan untuk hukuman Juliari.

Caption: beberapa sampel cuitan tentang Juliari

Sedangkan pemberitaan di media terlihat lebih sopan dibanding Twitter. Newstensity menangkap data pemberitaan di media pada tanggal 23–24 Agustus 2021 sejumlah 1.661 artikel. Sebagian besar di antaranya bersentimen negatif 1.523 artikel (92%), positif 125 artikel (7%), dan netral 13 artikel (1%).

Caption: diagram sentimen pemberitaan tentang vonis Juliari

Dominasi sentimen merah menggambarkan bahwa berita soal korupsi Juliari memang berita buruk. Lebih buruk lagi ketika Juliari tidak diberikan vonis hukuman maksimal terhadap tidak koruptifnya yang menyasar bantuan bagi warga di masa pandemi. Sebenarnya ada hal yang menarik pada grafik tersebut, yaitu porsi berita positif sebanyak 7%.

Selain diisi oleh berita yang tidak terkait tentang Juliari (karena terkadang sebuah artikel mencantumkan tautan dengan keyword yang sedang dicari), ada topik menarik yang ada di deretan berita bersentimen positif itu, yaitu KPK yang mengapresiasi vonis terhadap Juliari.

Contohnya adalah berita dari tribunnews.com yang berjudul “KPK Apresiasi Putusan Pidana Tambahan terhadap Juliari Batubara” memuat tentang sikap KPK terhadap putusan hakim pada Juliari. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengapresiasi adanya putusan pidana tambahan, yaitu masa tahanan yang lebih lama, pidana uang pengganti, dan pencabutan hak politik untuk dipilih menduduki jabatan publik.

Saya jadi bertanya mengapa KPK tampak cepat puas? Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri pernah menyatakan bahwa pelaku korupsi terhadap dana bencana dapat diancam hukuman mati lho. Well, karena saya tidak mau menghina Juliari yang nanti malah semakin meringankan hukumannya jika ia ingin naik banding, lebih baik saya mengucapkan, “selamat menempati kos baru di Sukamiskin”.

--

--