Jangan Padam! Saatnya Perjuangan Anti Korupsi dari Luar KPK

Heditia Damanik
Binokular
Published in
7 min readOct 1, 2021

Tanggal 30 September 2021 menjadi hari tak terlupakan bagi 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah lima bulan tak henti menggugat ketidakberesan tes untuk jadi aparat sipil negeri (ASN) di lembaga antirasuah tersebut, 57 pegawai ini pun harus mengucapkan selamat tinggal kepada institusi tempat mereka mengabdi untuk negeri selama bertahun-tahun terakhir. Aksi simpati di depan gedung KPK menyertai langkah terakhir mereka di sana.

Sebagai kilas balik, pemberhentian 57 pegawai KPK ini adalah buntut panjang dari revisi Undang Undang KPK pada September 2019. Salah satu poin perubahannya adalah status alih kepegawaian dari pegawai KPK menjadi ASN. Berdasarkan cover story Koran Tempo pada 11 Maret 2021, KPK dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menggelar Tes Wawasan Kebangsaan (TKW) pada 9–10 Maret 2021 di Gedung II BKN Jakarta Timur. Pimpinan KPK menyatakan pelaksanaan TKW ini sebagai persyaratan alih status pegawai KPK menjadi ASN. ASN harus setia kepada NKRI dan ideologi Pancasila berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (PUKAT FH UGM) Zaenur Rohman mengatakan dalam aturan asalnya, yaitu pasal 69 C UU №19/2019 tentang KPK, tidak ada kewajiban mengenai TWK. Begitu pun aturan turunannya yakni PP №41/2020 tidak mensyaratkan alih status pegawai menggunakan TWK. Tes ini baru muncul di dalam Perkom KPK 1/2021 yang menurut Zaenur dikeluarkan atas perintah Ketua KPK Firli Bahuri. Ia menuding asesmen ini hanya jadi alat cuci tangan Firli yang ingin menyingkirkan orang-orang tertentu dari tubuh KPK.

Dari tes tersebut dinyatakan 75 pegawai KPK tidak lulus pada Mei 2021. Sebelumnya, para pegawai juga mengeluhkan soal tes yang dinilai janggal dan tidak terkait dengan pemberantasan korupsi. Contohnya pertanyaan yang menyinggung agama, ras, preferensi seksual, dan lain sebagainya. Setelah pengumuman ketidaklulusan tersebut, polemik TWK ini terus menjadi pembicaraan di media. KPK mengatakan lembaga tersebut sudah berupaya memperjuangkan nasib 75 pegawai tersebut dengan menetapkan 24 di antaranya bisa masih bisa dibina dan diberi diklat bela negara, namun hanya 18 yang bersedia ikut. Sementara sisanya dinilai tidak bisa dibina dan tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.

Begitulah nasib 57 pegawai KPK yang dikesankan seperti pribadi yang tidak pancasilais, acapkali dibingkai radikal serta disebut sebagai KPK Taliban. Padahal beberapa dari mereka adalah penyidik-penyidik handal dan menangani kasus-kasus besar. Hal ini semakin memanas lagi kala di hari terakhir mereka sebagai pegawai lembaga antirasuah, di media sosial muncul seorang mantan satpam KPK mengaku pernah dipecat dari KPK karena memotret bendera yang diduga milik Hizbur Tahrir Indonesia (HTI) di ruang kerja KPK. Tidak ada yang tahu apa cerita dibalik foto bendera itu, mengapa bendera tersebut ada di sana, apakah sengaja diletakkan di sana atau bukan, semuanya bisa diperdebatkan. Namun yang pasti, pengakuan mantan satpam tersebut membuat Twitter ramai dan semakin memojokkan para pegawai KPK yang tidak lulus TWK tersebut.

Para pegawai KPK sendiri seperti tidak putus asa dalam berusaha. Di hari terakhirnya, salah satu penyidik KPK, Rieswin Rachwell, mendatangi istana untuk menyerahkan petisi online yang sudah ditandatangani 70 ribu orang kepada Presiden Joko Widodo yang mendesak presiden untuk membatalkan hasil TWK yang dinilai bermasalah dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebelumnya pada 16 Agustus 2021, Komnas HAM menyampaikan hasil pantauan dan penyelidikan bahwa ada unsur pelanggaran HAM dalam TWK dan meminta Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih proses TWK tersebut. Lalu pada 9 September 2021, Mahkamah Agung menilai pegawai KPK yang tidak lulus TWK memang karena tidak memenuhi syarat (TMS).

Tawaran Polri atau IM 57+ Institute

Pada 28 September 2021, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo unjuk gigi. Dia ingin merekrut pegawai KPK yang tidak lulus TWK ke Polri. Alasannya, rekam jejak dan sepak terjang mereka bisa memperkuat kerja anti korupsi di Polri. Listyo mengklaim sudah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

Rencana ini tentu mendapat tanggapan yang pro dan kontra. Bagi mereka yang pro, langkah Kapolri dinilai sangat heroik. Anggota DPR Arsul Sani memberikan apresiasi terhadap Kapolri karenan tindakannya tersebut dinilai sebagai bentuk penghargaan terhadap SDM KPK yang walau tidak lulus TWK. Menurutnya, tawaran itu menjaga hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun, Mantan Ketua KPK Abraham Samad menilai ini bukan masalah pekerjaan yang layak. Merekrut 57 orang tersebut ke Polri seolah mengesankan mereka mencari kerja. Menurut Samad, mereka adalah pejuang yang selama ini memberantas korupsi di KPK dan menjaga integritas KPK. Samad pun meminta Presiden Joko Widodo untuk tegas dan segera mengangkat pegawai yang tak lulus TWK tersebut menjadi ASN di KPK dan bukan di Polri.

Sementara, salah satu pegawai yang tidak lulus TWK, Ronald Paul Sinyal dan Guru Besar UGM, Sigit Riyanto, melihat bahwa tawaran yang disampaikan oleh Kapolri menunjukkan bahwa TWK memang tidak beres dan tidak relevan. Janggal rasanya jika tidak lulus di salah satu institusi negara, namun akan direkrut oleh instansi negara yang lain.

Eks pegawai KPK mengapresiasi tawaran dari Polri, tapi mereka masih akan menunggu respon dari Presiden Joko Widodo terkait petisi yang disampaikan. Mereka juga akan berkonsolidasi secara internal untuk menanggapi tawaran tersebut.

Akan tetapi bergabung dengan Polri bukan satu-satunya pilihan masa depan mereka. Seolah tidak ingin menghentikan apa yang telah dilakukan selama ini, para eks pegawai KPK tersebut membentuk Indonesia Memanggil 57+ atau IM57+ Institute. “Indonesia Memanggil” sendiri adalah nama program perekrutan pegawai KPK sebelum revisi UU KPK. Institut ini akan menjadi wadah bagi mereka untuk bersatu, berkolaborasi, dan melanjutkan kerja-kerja pemberantasan antikorupsi dengan cara mereka sendiri. Di luar KPK, mereka berniat untuk tetap mengobarkan perjuangan anti rasuah.

Pantauan Media

Pemberitaan tentang pemberhentian resmi 57 pegawai KPK mewarnai media di beberapa hari terakhir. Berdasarkan pantauan Newstensity, terdapat 1.872 berita terkait isu ini dalam periode 28–30 September 2021. Pemberitaan memuncak pada H-1 jelang hari pemberhentian atau H+1 setelah Kapolri menawarkan rekrutmen.

Grafik 1. Linimasa Pemberitaan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Newstensity)

Sementara sentimen pemberitaan didominasi dengan kecenderungan positif mencapai 1.083 persen. Sentimen positif ini paling banyak muncul dari pemberitaan terkait tawaran Kapolri untuk merekrut pegawai KPK yang diberhentikan misalnya lewat berita berjudul “Kala Kapolri Mau Tampung 56 Pegawai KPK Jadi ASN Polri” yang dipublikasi oleh detik.com. Sentimen negatif dipenuhi dengan pemberitaan yang judulnya mengesankan kalau KPK lega ketika 57 orang itu sudah keluar dari lembaga antirasuah tersebut seperti yang diunggah oleh beritasatu.com dengan judul “Alexander Mawarta: 57 Pegawai Tak Miliki Hubungan Lagi dengan KPK”.

Grafik 2. Sentimen Pemberitaan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Newstensity)

Isu ini diberitakan di berbagai daerah di Indonesia, namun didominasi oleh media-media di wilayah barat Indonesia. DKI Jakarta masih jadi episentrum pemberitaan dengan jumlah publikasi sebanyak 1.052 berita.

Grafik 3. Persebaran Wilayah Pemberitaan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Newstensity)

Sementara itu di Twitter, percakapan tak kalah riuhnya. Dengan menggunakan kata kunci “Pegawai KPK” di Socindex pada periode 28–30 September 2021, terekam ada 4.351 post-made atau unggahan asli yang dibuat dan mendapat 68.624 applause (likes), serta 25.652 talks (reply & retweet). Tercatat ada 94.276 user yang terlibat dalam percakapan ini.

Grafik 4. Statistik Twitter mengenai Percakapan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Socindex)

Senada dengan linimasa media konvensional, percakapan di Twitter juga paling tinggi terjadi pada tanggal 29 September 2021 atau sehari setelah Kapolri menyampaikan niat rekrutmennya.

Grafik 5. Linimasa Twitter mengenai Percakapan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Socindex)

Dengan menggunakan sampel 100 unggahan terpopuler di Twitter (top post by retweet), saya menganalisis topik yang paling banyak diperbincangan oleh netizen terkait isu ini. Terlihat bahwa kekecewaan netizen terhadap pemecatan 57 pegawai KPK menjadi yang paling tertinggi dengan 24 persen. Diikuti dengan sikap bahwa tawaran perekrutan Polri sebagai bukti TWK tidak beres sebanyak 19 persen.

Selain itu, dukungan terhadap mantan satpam KPK yang mengaku dipecat karena memotret bendera HTI di kantor KPK juga cukup tinggi hingga 17 persen. Dukungan ini sekaligus juga bernada mencibir para eks pegawai.

Grafik 6. Top 10 Topics by Retweet Twitter mengenai Percakapan Pemberhentian 57 Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Socindex)

Lalu, bagaimana sikap netizen dengan tawaran rekrutmen dari Kapolri terhadap 57 pegawai KPK yang tak lulus TWK? Masih menggunakan dari sampel yang sama dengan grafik di atas, tercatat bahwa 61 persen menilai tawaran tersebut membuktikan TWK memang tidak beres karena dua institusi negara bisa punya sikap yang berbeda. Selanjutnya 34 persen menilai tawaran Kapolri sudah tepat. Ada pula yang menilai bahwa rekrutmen terhadap eks pegawai KPK akan berdampak buruk pada citra Polri (3 persen) karena selama ini mereka sudah dilabeli sebagai KPK Taliban.

Grafik 7. Sikap Netizen Twitter terhadap Tawaran Rekrutment Polri terhadap Eks Pegawai KPK periode 28–30 September 2021 (Sumber: Socindex)

Epilog

Tujuh bulan terakhir telah menjadi masa yang melelahkan bagi 57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Selain dinyatakan tidak lulus mereka juga mendapatkan label negatif lain seperti tidak pancasilais, radikal, dan lain sebagainya. Padahal bertahun-tahun sudah mereka mengabdikan diri pada pemberantasan korupsi di salah satu negara paling korup di dunia. Semoga setelah ini akan ada cahaya di ujung terowongan yang mampu menguatkan mereka untuk tetap melanjutkan perjuangan anti korupsi walau sudah tidak di KPK lagi.

--

--