Kelas Menengah Pekerja Di-Ulti Pemerintah Lewat Tapera

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
9 min readJun 5, 2024
Ilustrasi: Aan K. Riyadi

Beban pekerja di Indonesia bakal semakian berat. Setelah dihantam kenaikan harga-harga, yang menyebabkan pendapatannya tidak mencukupi, pekerja kini harus menghadapi potongan gaji. Potongan gaji akan jadi mimpi buruk pekerja, setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Mei. Dalam beleid terbaru itu, terdapat beberapa poin perubahan yang dikritisi masyarakat seperti kewajiban mengikuti Tapera oleh karyawan, pekerja mandiri, dan pemberi kerja, nominal pungutan, skema, dan transparansi pengelolaan dana.

Hujan kritik dari pekerja dan pengusaha rupanya tidak menyurutkan niat pemerintah untuk menghentikan program ini. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko tegas mengatakan program Tapera akan diterapkan secara penuh pada 2027. Pemerintah, katanya, memahami segala kekhawatiran dan kegelisahan dari masyarakat terkait dengan kebijakan itu. Namun, pemerintah akan tetap menjalankannya dengan harapan program Tapera dapat menjadi solusi permasalahan backlog perumahan, di mana ada sekitar 9,9 juta warga yang belum memiliki tempat tinggal.

Isu Tapera memang menghiasi media massa sejak sepekan terakhir. Hasil pengamatan Newstensity untuk berita dengan kata kunci Tapera antara 20 Mei-03 Juni 2024 menemukan 10.494 berita yang didominasi sentimen negatif sebanyak 5.163 berita atau lebih dari setengahnya. Puncak pemberitaan terjadi pada 29 Mei saat isu Tapera mulai diperbincangkan, lalu perlahan menurun hingga kembali menemukan momentum untuk rebound pada Minggu, 02 Juni 2024 lalu Istana merespons polemik ini melalui Kepala KSP Moeldoko.

Grafik 1. Linimasa berita Tapera. Sumber: Newstensity

Beban Baru Pekerja

Tapera adalah kelanjutan program dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Bapertarum-PNS yang lahir di era Presiden Soeharto Tahun 1993. Bapertarum menjadi lembaga pengelola dana perumahan yang sifatnya tidak wajib bagi ASN. Kemudian pada 2021, pemerintah mulai mewajibkan penarikan iuran Tapera kepada ASN. Setelah mandatori diberlakukan terhadap PNS/ASN, selanjutnya iuran Tapera akan diperlukan secara bertahap mulai dari pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri, hingga karyawan swasta, baik yang bekerja sendiri maupun pemberi kerja. Kemunculan PP Nomor 21 Tahun 2024 inilah yang menjadi pintu masuk tersebut.

Dari segi manapun, program Tapera memang layak dikritisi. Dasar penamaan misalnya, Tapera diartikan pemerintah sebagai penyimpanan yang disimpan secara periodik dan hanya dapat digunakan peserta untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan berikut hasil investasi saat pensiun nanti. Seharusnya, tabungan bersifat sukarela, dinikmati oleh peserta sendiri, dan dilakukan oleh yang mampu seperti tabungan haji. Sayangnya, dalam Tapera konsepsi ini dicampuradukkan dengan iuran yang sifatnya wajib dan gotong royong. Faktanya, buruh sudah kewalahan memenuhi kebutuhannya sendiri tapi diminta bergotong royong menabung untuk memiliki rumah yang belum tentu bisa dimiliki.

Kenapa demikian? Tapera diketahui memiliki kelompok penabung yang disebut penabung mulia. Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho mengatakan, kategori itu adalah peserta Tapera dan tidak termasuk dalam masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau sudah memiliki rumah. Batas MBR yang ditentukan Tapera adalah peserta lajang bergaji maksimal Rp 7 juta dan peserta yang sudah berkeluarga dengan gaji maksimal 8 juta. Lewat aturan ini, penabung mulia tidak akan bisa menikmati segenap fasilitas Tapera seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pembangunan Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan suku bunga maksimal sebesar 5%.

Artinya, seumur hidup pekerja yang gajinya diatas MBR akan dipaksa berkontribusi dalam penyelesaian backlog perumahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Penabung mulia ini baru bisa menikmati tabungan Tapera setelah pensiun beserta hasil pemupukan dana. Berharap saja BP Tapera bisa menunaikan janjinya, sebab di tahun 2021 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 124.960 peserta yang belum menerima pengembalian dana sebesar Rp567,45 miliar pascapensiun. Satu lagi pekerjaan rumah sebelum kebijakan diimplementasikan.

Ketentuan tersebut tentu akan mempersulit pekerja yang sudah kelimpungan gajinya dipotong untuk BPJS Kesehatan sebesar 5%, BPJS Ketenagakerjaan berupa Jaminan Hari Tua sebesar 5,7%, Jaminan Kecelakaan sebesar 0,24%, Jaminan Kematian sebesar 0,3%, dan Jaminan Pensiun sebesar 3%, serta terakhir pajak penghasilan atau Pph 21 yang besarannya variatif antara 5–35%. Beban-beban baru ini juga tidak sebanding dengan laju kenaikan upah yang disampaikan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebesar 1,58% berkat penerapan Omnibus Law. Kenaikan itu malah lebih rendah daripada laju inflasi sebesar 2,6% menurut Bank Indonesia selama 2023.

Gambar 1. Aneka potongan gaji pekerja di Indonesia, sumber tertera. Ilustrasi: Fazrin Haerussaleh

Akibatnya, beban kelas menengah yang menjadi mayoritas peserta Tapera akan kian sulit. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan, sekitar 115 juta masyarakat kelas menengah atau masyarakat menuju kelas menengah rentan kembali menjadi masyarakat kelas bawah. Sebanyak 40% masyarakat kelas menengah bahkan terancam masuk golongan miskin, karena beban yang ditanggung tak sejalan dengan pendapatan mereka.

Sebelum Tapera muncul saja kelas menengah sudah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bima menambahkan, kelas menengah sudah tertekan dari banyaknya pungutan pemerintah. Sementara dari sisi upah minimum, kenaikannya relatif kecil bahkan habis jika dikurangi inflasi pangan. Biaya yang begitu berat, ditambah banyaknya pungutan, juga bisa menurunkan konsumsi kelas menengah. Imbasnya akan berpengaruh kepada pelaku usaha, yang bisa mempengaruhi permintaan secara agregat berbagai jenis barang konsumsi. Efek dominonya dirasakan seluruh masyarakat.

Untuk mendukung asumsi ini, Mandiri Spending Index (MSI) pada akhir 2023 merilis laporan yang menyebut tren masyarakat kelas menengah ke bawah memakai tabungan untuk kebutuhan hidup sejak April 2023 dan diperkirakan berlanjut hingga 2024. Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menuturkan Indeks Tabungan kelas bawah per 15 Oktober 2023 tercatat sebesar 54,8, menurun posisi awal September 2023 yang sebesar 75,7. Hal ini harusnya menjadi alarm pemerintah karena belanja masyarakat kelas bawah yang rupanya lebih besar daripada pendapatan mereka alias tidak bisa catch-up dengan inflasi.

Potensi Dana Kelolaan Rawan Dikorupsi

Besaran tabungan yang dipungut melalui Tapera sebesar 3 persen dari gaji yang diterima pekerja setiap bulannya dengan rincian 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% ditanggung pemberi kerja. Bagi pekerja mandiri atau freelancer tanggung jawab tabungan sepenuhnya menjadi milik pekerja mandiri. Berapa potensi dana minimal yang akan diterima BP Tapera dengan besaran iuran ini? Mari kita berhitung singkat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Februari 2024, jumlah pekerja formal di Indonesia mencapai 58,05 juta orang dan Upah Minimum Regional (UMR) terendah 2024 adalah Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 2.038.005. Asumsinya, UMR terendah menjadi batas terbawah gaji pekerja formal di Indonesia dan menjadi jumlah minimal iuran yang bisa didapat BP Tapera. Dengan angka-angka tersebut, maka potensi dana minimal yang didapat adalah Rp3,55 triliun per bulan atau Rp42,6 triliun per tahun! Angka ini bisa saja lebih besar karena pekerja formal yang ditulis BPS tidak termasuk pekerja mandiri atau freelancer.

Dana ini terbilang sangat besar dibanding dana kelolaan BP Tapera saat ini. Mengutip situs BP Tapera, total dana kelolaan (asset under management/AUM) Kontrak Pengelolaan Dana Tapera (KPDT) konvensional Tapera mencapai Rp7,23 triliun dari 3,07 juta peserta. Artinya, potensi dana yang bisa didapat dengan PP Nomor 21 Tahun 2024 mencapai enam kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Jika dikelola dengan maksimal — yang sepertinya sulit — mengingat rekam jejak buruk fund manager besutan pemerintah, dana itu bisa mempercepat backlog pengadaan rumah seperti yang dijanjikan pemerintah. Asumsinya, Rp12,6 triliun dana kelolaan minimal ditahan untuk investasi dan operasional BP Tapera, kemudian Rp30 triliun saja untuk pembangunan rumah seharga Rp350 juta maka didapat 85.417 rumah setiap tahunnya. Tentu saja ini masih hitungan di atas kertas. Bisa lebih dan bisa kurang.

Aspek pengelolaan dana juga menjadi salah satu poin yang dikritisi masyarakat untuk Tapera. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, seperti yang disampaikan tirto.id menyebut dana kelolaan Tapera rawan dikorupsi seperti pada kasus-kasus fund manager yang terafiliasi dengan dengan pemerintah seperti Taspen, Asabri, dan Jiwasraya.

Dari sisi aturan, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola juga menambahkan dana kelolaan Tapera juga rawan dikorupsi karena PP yang memayunginya tidak dirancang untuk dikelola secara transparan dan akuntabel. Alvin menyebut minimnya pengawasan internal dan eksternal yang bisa memicu BP Tapera mengambil keputusan investasi yang akan menguntungkan pihak lain alih-alih kepentingan peserta Tapera sendiri.

Keraguan ini didengar oleh Moeldoko, yang menjadi corong dan bumper istana dalam polemik Tapera. Pemerintah, seperti yang disampaikan Moeldoko kepada media, akan membuat skema pengawasan, dengan membentuk Komite Tapera. Komite Tapera yang terdiri dari Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner OJK, dan profesional, akan mengawasi aliran dana yang dikelola oleh Tapera. Terdengar cukup antisipatif tapi perlu pembuktian. Sebab, Asabri saja yang milik TNI dan memiliki kuasa dalam pemerintahan masih bisa digarong, apalagi Tapera yang pesertanya tidak memiliki akses pengawasan.

Terlebih, asumsi dana kelolaan BP Tapera yang mencapai Rp42,6 triliun per tahun lumayan besar. Angkanya masih lebih besar dari kerugian investasi Jiwasraya sebesar Rp16,2 triliun yang terjadi dalam rentang 10 tahun, korupsi Asabri Rp22 triliun, dan Taspen sebesar Rp1 triliun. Tanpa adanya pengawasan dan rancangan aturan yang memadai, potensi terjadinya korupsi di BP Tapera sangat memungkinkan untuk terjadi.

Media Sosial Ricuh

Kekesalan kelas menengah dihantam sana-sini oleh pemerintah acapkali diluapkan via X (dulu Twitter). Seperti temuan riset Reuters Institute, X menjadi media sosial yang paling banyak dipakai kelas menengah di dunia termasuk Indonesia. Hasil pengamatan isu Tapera di X melalui Socindex juga memunculkan angka yang signifikan. Kata kunci Tapera terlihat menghasilkan 1,48 juta engagements, 61,7 ribu talk (comment dan tweet),dan 1,032 juta likes dari 3,771 juta audiens.

Grafik 2. Statistik kata kunci Tapera di X

Setali tiga uang dengan arus pemberitaan media, puncak percakapan di X terjadi pada 28 Mei 2024 atau sehari sebelumnya dengan overall performance yang mencakup talk, applause, dan virality (jumlah retweet) yang melonjak signifikan. Setelah itu, arus percakapan perlahan menurun di kisaran 20–50 ribu overall performance. Percakapan dipicu cuitan sejumlah selebtwit seperti Soleh Solihun @solehsolihun dengan 533 ribu pengikut dan Kalis Mardiasih @mardiasih dengan 187 ribu pengikut di X. Cuitan di fase awal percakapan ini menjadi salah satu pendorong tingginya engagement Tapera di Twitter. Sementara itu akun @ribkadel menjadi cuitan dengan likes dan retweet terbanyak.

Grafik 3. Tabel overall performance di X dan cuitan terpopuler

Meski terlihat sangat signifikan, percakapan di X yang eksplosif itu masih natural. Analisis artificial intelligence Socindex mendapati temuan cuitan dengan kata kunci Tapera lahir dari akun-akun manusia alias percakapannya berjalan secara organik. Jumlahnya mencapai 9.893 cuitan, dua kali lipat lebih banyak dari cuitan bot.

Grafik 4. Analisis kategori cuitan

Temuan ini menunjukkan bahwa isu Tapera menyangkut hidup banyak warganet dan mayoritas menolak penerapan Tapera karena berbagai hal. Hasil analisis sampel percakapan warganet di X untuk kata kunci Tapera ditemukan 28.673 komentar yang sebanyak 3.190 komentar mengatakan bahwa Tapera menambah beban baru bagi kelas menengah. Warganet sepakat, Tapera menjadi beban tambahan yang harus dibayar selain BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Pph 21, dan sederet pengeluaran lain.

Grafik 5. Analisis percakapan di X

Di bawahnya, ada kelompok warganet yang takut dana kelolaan Tapera rawan dikorupsi mengingat rekam jejak beberapa fund manager milik pemerintah yang harus berakhir di meja pesakitan. Apalagi, masyarakat tidak memiliki akses pengawasan. Sementara itu, warganet juga menduga dana Tapera akan dipakai dulu untuk beberapa proyek rezim saat ini dan pemerintahan mendatang seperti pembangunan IKN dan mendanai makan siang gratis rezim Prabowo-Gibran.

Penutup

Pemerintah seakan cuci tangan dalam perannya menyediakan hunian yang layak bagi warganya. Kebijakan Tapera memaksa seluruh pekerja yang memiliki upah untuk bergotong royong menyediakan rumah bagi sesama pekerja tanpa kontribusi pemerintah. Hal ini menambah beban bagi kelas menengah pekerja yang kenaikan gajinya di bawah laju inflasi dalam dua tahun terakhir. Kebijakan yang komplit. Sudah bersifat wajib, pemerintah hanya menjadi kolektor, rawan dikorupsi pula. Lucu.

--

--