Kisruh PPN Sembako, Membayangkan Beras Rojolele Dipajaki

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
7 min readJun 15, 2021

Pemerintah kembali memberi kejutan untuk para warganya. Pada Rabu (9/6) kemarin pemerintah berencana untuk mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako. Pajak yang akan dikenakan mencapai 12 persen. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebagai informasi saja, PPN adalah pungutan atas transaksi jual beli atau jasa dan dibebankan pada konsumen akhir. Dalam hal ini, masyarakat yang akan menanggungnya. Pajak PPN juga dinaikkan dari 10 persen menjadi 12 persen.

Dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6, pemerintah menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN. Beberapa kelompok barang tersebut diantaranya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara. Sembako yang dimaksud meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Selain sembako, revisi UU KUP tersebut juga memperluas objek yang terkena PPN. Diantaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi. Ada pula jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Bahkan menurut kumparan.com sektor jasa pendidikan seperti sekolah dan tempat bimbel juga akan dikenai PPN. Artinya, saat ini ada enam bidang jasa yang bebas dari PPN, yaitu jasa keagamaan; jasa kesenian dan hiburan; jasa perhotelan; jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; jasa penyediaan tempat parkir; serta jasa boga atau katering.

Ditolak Masyarakat dan Legislatif

Sudah bisa dipastikan kebijakan ini –meski masih wacana- akan memicu penolakan dari segenap elemen masyarakat. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut kebijakan ini tidak manusiawi bila diterapkan di tengah himpitan pandemi Covid-19. Pengenaan PPN berpotensi menaikkan harga bahan pokok. Menurutnya, alih-alih mengenakan PPN pada sembako, Tulus lebih menyarankan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok.

Wacana ini juga dikecam Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi). Ketua Umum IKAPPI Abdullah Mansuri menilai revisi UU KUP bisa memberatkan masyarakat dan para pedagang pasar. Padahal, di masa pandemi ini omzet pedagang menurun hingga 50 persen. “Mau dibebani PPN lagi? Gila, kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Ini malah mau ditambah PPN lagi, gimana enggak gulung tikar,” kata Abdullah.

Kritikan juga banyak dilontarkan kaum legislatif [W31] seperti yang disampaikan anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani Aher. Ia menyarankan pemerintah lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan negara lain. Selain itu, pemerintah juga seharusnya serius melakukan efisiensi pengelolaan anggaran serta memastikan tidak terjadi korupsi dan kebocoran anggaran. Begitu juga Wakil Ketua MPR Arsul Sani yang menyebut ini sebagai ketidakadilan.

Sementara itu, alasan yang lebih akademis dilontarkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira yang menyebut pemberlakuan PPN ini berisiko menurunkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun dan meningkatkan angka kemiskinan. Sebuah lingkaran setan.

Jika wacana tersebut benar-benar direalisasikan, maka pemerintah memang sedang mempertontonkan ketidakadilan. Masih hangat dalam ingatan saya pemerintah memberlakukan relaksasi Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang Mewah (PPNBM) hingga 0 persen untuk produk otomotif. Relaksasi itu memberikan potongan harga puluhan juta bagi konsumen karena pemerintah menyubsisi pajak PPNBM. Sederhananya dari semua skema diatas, orang beli mobil dipermudah tapi mau makan dipersulit.

Alasan Fiskal dan Skema Pajak

Sebenarnya, “sekering” apa sih kantong pemerintah hingga harus memajaki sembako rakyatnya? Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengamini bahwa pemerintah memang butuh uang. Namun ia memastikan pemerintah tidak akan membabi buta dalam penerapan PPN tersebut. Menurut Yustinus dalam cuitan Twitter yang dikutip kompas.com, saat ini menjadi momentum untuk menata ulang PPN di Indonesia, baik dari perluasan basis pajak maupun penyesuaian tarif. Kinerja perpajakan Indonesia juga belum optimal, baik di lingkup ASEAN maupun global. Menurutnya, ketidakoptimalan itu lahir karena terlalu banyak pengecualian dan fasilitas yang berpotensi menjadi penghindaran pajak.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kikuk saat ditanyai perihal PPN sembako dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6). Menurutnya, dokumen itu tidak seharusnya bocor ke publik sebelum Presiden menyampaikan langsung ke DPR sehingga secara etika dirinya merasa belum bisa memberi jawaban. Sri Mulyani secara normatif meminta masyarakat untuk bersabar menanti kelanjutan pembahasan revisi UU KUP tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sebagai pihak paling bertanggung jawab atas isu ini membantah telah mengeluarkan informasi soal rencana pemerintah memberlakukan PPN Sembako atau jasa pendidikan di Indonesia. “Berkenaan dengan maraknya pemberitaan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako maupun jasa pendidikan di Indonesia dengan ini disampaikan bahwa berita yang beredar merupakan informasi yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah,” kata DJP dalam pernyataan resminya seperti yang dilansir cnnindonesia.com, Minggu (13/6).

Namun, DJP tidak menyangkal jika sedang menyiapkan perubahan skema perpajakan, termasuk PPN. Langkah itu diambil sebagai respon tertekannya fiskal negara karena pandemi yang menghantam ekonomi nasional. Untuk menghalau isu PPN sembako yang bergulir cukup liar, DJP mengirimkan email sosialisasi kepada 13 jutaan wajib pajak, meski saat ini saya belum menerima email yang dimaksud. “(Kirim email) on going process akan mencapai 13 juta-an wajib pajak,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Neilmaldrin Noor, kepada Kompas.com, Minggu (13/6/2021).

Setitik Harapan

Pemerintah (akhirnya) memberikan kepastian yang melegakan kepada masyarakat. Dalam rapat lanjutan dengan Komisi XI DPR RI seperti yang dilansir cnbcindonesia.com, Sri Mulyani memastikan bahwa sembako memang objek kena pajak, namun sembako murah tidak akan dikenai PPN. PPN Sembako hanya diberlakukan pada objek dengan klasifikasi premium, seperti beras basmati, shirataki, hingga daging wagyu misalnya. Saya sih beranggapan acara masak-masak chef di TV yang akan merasakan imbasnya. Untuk klasifikasi lebih jelasnya akan dibahas lebih lanjut dengan DPR RI.

Penjelasan serupa juga disampaikan Neilmaldrin Noor, yang menyebut sembako murah adalah bahan pokok yang diperdagangkan di pasar tradisional bakal dikecualikan dari objek pajak. Prinsip dasarnya adalah ability to pay para wajib pajak atas barang atau jasa yang dikonsumsi. Keduanya, baik Neilmaldrin dan Sri Mulyani sudah memastikan bahwa pasar tradisional tidak akan merasakan pungutan PPN untuk sembako yang dijual di pasar tradisional.

Pantauan Media

Menggunakan tool dari Newstensity, saya memantau pemberitaan isu ini sejak pertama kali bergulir pada Rabu (9/6) hingga Senin (14/6) dengan kata kunci “PPN Sembako” dan “Pajak Sembako”. Hasilnya terdapat 2809 berita relevan terkait isu ini.

Sumber: Newstensity

Di hari pertama, ditemukan 107 pemberitaan, kemudian terus meningkat pada hari ketiga dengan 690 pemberitaan. Peningkatan jumlah berita berkaitan dengan respon tokoh publik dan lembaga tentang wacana penerapan PPN sembako. Banyak yang menentang kebijakan itu dengan dalih pajak yang tidak adil hingga kebijakan yang kurang tepat di tengah pandemi.

Dari 2809 berita yang terpantau, saya menggali lagi dan menemukan tiga isu utama dalam pemberitaan oleh media mainstream. Newstrend terbanyak diisi pemberitaan seputar wacana PPN Sembako dengan 1319 berita, diikuti dengan berita penolakan dan kritikan dengan 1152 berita.

Sumber: Newstensity

Dari persebaran sentimen berita, sudah bisa ditebak kalau isu ini akan mendapat banyak sentimen negatif. Sentimen negatif mendominasi hingga 1554 berita atau 55 persen dari seluruh berita. Umumnya didominasi berita penolakan seperti pemberitaan dari cnnindonesia.com, republika.co.id, dan jpnn.com.

Sumber: Newstensity

Dari sepuluh media teratas yang paling banyak memberitakan, semuanya diisi oleh media daring. Tiga posisi teratas ditempati grup tribunnews.com, kompas.com, dan detik.com. Selain media daring, ada juga berita dari media cetak seperti yang diberitakan Investor Daily pada 14 Juni kemarin berjudul “Wacana PPN Sembako akan Bebani Petani” dan berita dari Media Indonesia tanggal 10 Juni berjudul “Ketahanan Pangan Terancam PPN Sembako.”

Sumber: Newstensity

Sementara itu, dari linimasa Twitter saya menemukan tagar yang cukup keras, #RezimBangkrut. Tagar itu digaungkan setelah wacana PPN Sembako muncul. Alhasil warganet berspekulasi bahwa negara sedang butuh uang banget sampai-sampai orang beli beras dipajakin.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

Epilog

Setelah draft revisi UU KUP bocor, yang salah satu poinnya adalah pengenaan pajak pada sembako, pemerintah seperti kalang kabut menghadapi respon publik. Lha gimana tidak, mau beli beras saja dipajaki tapi beli mobil malah disubsidi. Ya walaupun berita itu dikonfirmasi Sri Mulyani selaku punggawa pemerintah di bidang ekonomi bahwa PPN Sembako masih digodok dan belum ada keputusan resmi, tetap saja masyarakat sudah berang duluan. Anggota DPR juga mencak-mencak ke Sri Mulyani saat rapat dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6) lalu, mereka minta pemerintah mengkaji ulang kebijakan dan mencari sumber pendanaan lain buat negara. Nah, titik terang mulai muncul kemarin Senin (13/6) saat Sri Mulyani bilang kalau sembako di pasar tradisional tidak akan dipajaki, yang dipajaki adalah sembako premium semacam beras basmati dan daging sapi wagyu. Eh, berarti kemarin DPR marah-marah karena sembako mereka yang kena pajak? Atau gimana sih?

--

--