Kobar Api di Kejaksaan Agung RI

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
5 min readAug 25, 2020

Dan seketika itu juga yang terdengar adalah suara syahdu Rodrigo Amarante. Soy el fuego que arde tu piel, soy el agua que mata tu sed, dan seterus-seterusnya. Semua diiringi petikan gitar Spanyol.

Lagu itu berjudul “Tuyo”. Dalam bahasa Indonesia berarti “Milikmu”. Ia bercerita soal kesungguhan hati seseorang dalam mencinta. Sungguh, syairnya begitu romantis dan aransemennya pun demikian erotis. Namun, lagu itu justru masyhur lantaran dijadikan tembang pembuka serial web “Narcos” yang mengangkat kisah hidup gembong narkotika Pablo Escobar.

Jukstaposisi itulah yang pada akhirnya membikin “Tuyo” makin kuat di ingatan khalayak. Ia masih terdengar romantis tetapi hanya ketika yang diromantisasi adalah kezaliman.

Nama Escobar tak bisa dipisahkan dari kezaliman. Dia memang dianggap berjasa oleh banyak orang yang merasakan kemurahan hatinya. Akan tetapi, harta yang dia miliki untuk membantu orang-orang itu dia dapatkan dan pertahankan dengan zalim.

“Plata o plomo”. Frasa itu menjadi bagian besar dari identitas Escobar. Kalau seseorang menolak suap yang diberikannya, orang itu bakal dia mampuskan.

Pada 6 November 1985, gedung Kejaksaan Agung Kolombia diserbu milisi M-19. Lebih dari 300 orang disandera, termasuk 24 hakim agung. Peristiwa ini tampak seperti bagian dari konflik berkepanjangan antara Pemerintah Kolombia dan gerilyawan komunis. Namun, ada yang berkata bahwa konflik tersebut telah ditunggangi oleh Escobar.

Konon, Escobar membayar para gerilyawan itu 1 juta dolar AS untuk menyerbu gedung Kejaksaan Agung dan menimbulkan huru-hara. Tujuan aslinya adalah melenyapkan berkas kasus yang tersimpan di gedung tersebut. Di akhir cerita, tujuan Escobar itu tercapai. Lebih dari 6.000 dokumen hangus terbakar dan lebih dari 100 orang meninggal dunia.

Serial “Narcos” tak luput mengangkat peristiwa tersebut. Karena serial tersebut cukup populer pula di Indonesia, tak heran jika peristiwa terbakarnya gedung Kejaksaan Agung RI, Sabtu (22/8/2020) malam WIB, lantas disangkutpautkan dengan manuver keji Escobar tadi.

Seorang pengguna Twitter bahkan mengunggah footage gedung yang terbakar lengkap dengan “Tuyo” sebagai lagu latar. Dengan kata lain, kebakaran gedung Kejaksaan Agung itu dipandang sebagai sesuatu yang sangat “Narcos” atau sangat Escobar.

Tentu saja memandang terbakarnya gedung Kejaksaan Agung RI sebagai sesuatu yang sangat Escobar tidaklah serta merta benar. Hasilnya memang mirip tetapi tidak ada penyerbuan milisi dan tidak ada pula korban jiwa dari peristiwa itu.

Namun, memang sulit untuk tidak mengaitkan dua peristiwa tersebut. Pasalnya, belum lama ini sebuah kasus besar mengguncang Indonesia. Yakni, tertangkapnya buron korupsi cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Dari situ, turut terbongkar informasi bahwa Djoko Tjandra mendapat bantuan dari seorang jaksa bernama Pinangki Sinar Malasari dalam pelariannya.

Selain itu, upaya penghilangan barang bukti juga bukan barang baru di Indonesia. Kasus penyobekan sembilan lembar “Buku Merah” milik Komisi Pemberentasan Korupsi, misalnya, bisa dijadikan contoh. “Buku Merah” itu sendiri berisi bukti suap terhadap Patrialis Akbar dan sejumlah pejabat negara lain dalam kasus suap kuota impor daging.

Dengan demikian, menjadi lumrah jikalau masyarakat bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya? Apakah terbakarnya gedung Kejaksaan Agung merupakan sebuah kecelakaan murni atau adakah niatan keji di baliknya?

Entahlah. Yang jelas, gedung Kejaksaan Agung RI itu bukan sekali ini saja terbakar.

Gedung Kejaksaan Agung RI mulai dibangun pada 1961 dan diresmikan pada 1968. Sebelas tahun setelah itu sebuah kebakaran terjadi di sayap kanan gedung tersebut. Menurut laporan Kompas, ruangan-ruangan yang terbakar antara lain ruang bidang intelijen, operasi, tempat rapat, dan Biro Perencanaan Kejaksaan Agung.

Gedung Kejaksaan Agung RI. (Foto: Kejaksaan Agung RI)

Lalu, pada 2003, kebakaran kembali melanda gedung tersebut. Bahkan, kebakaran terjadi dua kali dalam hari yang sama. Penyebabnya diketahui adalah korsleting listrik, sama seperti kebakaran tahun 1979.

Nah, yang jadi persoalan lagi, ini bukan pertama kalinya musibah terjadi di gedung Kejaksaan Agung dalam kaitan dengan Djoko Tjandra. Pada 2000, ketika Djoko Tjandra sedang diperiksa di sana, sebuah bom ditemukan di kamar mandi. Maka, jangan permasalahkan jika fantasi rakyat makin liar saja.

Kebakaran gedung Kejaksaan Agung yang terbaru ini sendiri melahap lantai 7 lantai. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta Satriadi Gunawan. Kebakaran bermula dari lantai 6, lalu menjalar, dan baru bisa dipadamkan 12 jam setelah api mulai berkobar.

Menanggapi peristiwa ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengatakan bahwa berkas-berkas kasus aman karena back-up sudah dibuat. Namun, situasinya yang sebenarnya seperti apa belum diketahui secara pasti.

Sampai Senin (24/8/2020) sore WIB, Newstensity mencatat ada 4.337 pemberitaan mengenai kasus kebakaran gedung Kejaksaan Agung ini. Dari situ, sentimen negatif mendominasi. Di media daring, sentimen negatif mencapai 88 persen. Lalu di media cetak dan elektronik sentimen negatif masing-masing 79 dan 78 persen.

Beberapa angle yang memunculkan sentimen negatif ini di antaranya: Dugaan sabotase alias adanya unsur kesengajaan, kronologi kejadian, serta imbas dari terbakarnya gedung tersebut. Sementara, sentimen positif muncul dari kabar cepatnya penindakan seperti keberhasilan Polri mengamankan CCTV gedung Kejaksaan Agung.

Variasi yang lebih banyak hadir di area komentar perorangan. Beragamnya angle penjelasan dari narasumber membuat sentimen negatif tak lagi sedominan sebelumnya. Di sini, sentimen negatif cuma mencapai 43 persen dari total jumlah komentar.

Sentimen negatif muncul dari pernyataan mengenai nasib barang bukti dan alasan mengapa pemadaman dengan robot tidak dilakukan. Lalu sentimen positif dan negatif muncul dari pernyataan-pernyataan mengenai perkembangan investigasi.

Sementara itu, dari Twitter, sentimen negatif mencapai 55 persen dan sentimen positif hanya 3 persen. Artinya, 42 persen cuitan memuat sentimen netral. Nah, sentimen netral ini rata-rata berisikan ajakan untuk tidak berburuk sangka sembari menunggu hasil investigasi resmi.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa berita kebakaran gedung Kejaksaan Agung ini memang dipandang sebagai berita buruk. Kekhawatiran akan nasib penegakan hukum menjadi sentimen yang paling kencang terdengar. Meski demikian, kekhawatiran tersebut tetap dibarengi dengan adanya keinginan untuk tetap berbaik sangka sehingga kemarahan yang dirasakan tak begitu membabi buta.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.