Konflik Lahan di Tanah Rempang

Shavia Azharra
Binokular
Published in
8 min readSep 13, 2023

Ribuan warga di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terancam digusur dari tempat tinggalnya. Hal tersebut menyusul penetapan proyek pengembangan Rempang Eco City oleh pemerintah untuk menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui penerbitan Permenko Bidang Perekonomian nomor 7 tahun 2023 yang dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2023.

Tepat seminggu setelah penetapan tersebut, pada 7 September 2023, Badan Pengusahaan (BP) Batam dikawal oleh aparat gabungan dari kepolisian dan unit keamanan setempat datang ke perkampungan warga Rempang untuk melakukan pengukuran hingga pemasangan patok batas. Upaya tersebut sebagai tahap awal relokasi untuk pengembangan proyek Eco City.

Imbasnya, sebanyak 16 kampung Melayu Tua di kawasan Rempang terancam tergusur. Ribuan warga menolak upaya tersebut. Mereka menyayangkan nasib kampung adat tempat tumbuhnya nilai-nilai sejarah Melayu yang melingkupi kepulauan tempat tinggal mereka terancam hilang tergantikan oleh proyek investasi Pemerintah.

Penolakan warga berujung pada bentrok yang terjadi dengan aparat. Bentrokan menghasilkan kerusuhan yang cukup memanas. Lemparan batu dari warga disambut oleh tembakan gas air mata dari aparat. Korban luka berjatuhan yang kebanyakan merupakan warga sekitar.

Konflik antarwarga dengan aparat keamanan berlanjut pada 11 September 2023. Aksi unjuk rasa dilakukan sejumlah warga yang melakukan penolakan proyek pengembangan Rempang Eco City di halaman BP Batam. Aksi yang pada awalnya merupakan aksi damai ini berujung ricuh dan kembali memakan korban luka-luka.

Aksi penolakan oleh warga Rempang ini bukan yang pertama kali dilakukan, mengingat rencana proyek ambisius pemerintah di kawasan tersebut sudah digagas sejak tahun-tahun sebelumnya. Aliansi Pemuda Melayu Kepri, Tommy Yandra, mengungkap penolakan sudah sejak awal disampaikan oleh warga Rempang sebelum mencapai puncaknya pada 7 september 2023. Penolakan warga tersebut berimbas pada ancaman berupa intimidasi hingga teror dari aparat melalui bentuk pengrusakan karang.

Tommy menambahkan upaya penolakan pengembangan Eco City dilakukan warga Rempang karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengabaikan hak masyarakat adat yang telah menempati tanah tersebut sejak tahun 1834.

Menanggapi status tanah di kawasan Rempang, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menjelaskan negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang kepada perusahaan melalui Surat Keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002 silam. Kemudian di tahun 2004, karena investor belum kunjung masuk ke tanah tersebut, hak atas penggunaan tanah itu berpindah ke pihak lain. Mahfud mengungkap hal tersebut sebagai sumber asal mula konflik yang bermula sejak tahun 2022 ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang.

Proyek Ambisius di Tanah Rempang

Proyek Rempang Eco City resmi menjadi PSN pascapenerbitan Permenko Bidang Perekonomian RI nomor 7 Tahun 2023 pada 28 Agustus 2023. Proyek ini rencananya akan dikembangkan di keseluruhan Pulau Rempang dan sebagian Pulang Galang dan Subang Mas. Kawasan tersebut akan dijadikan sebagai pusat industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi. Pengembangan ini sebagai upaya pemerintah mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.

Proyek ini dikembangkan melalui kerja sama antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) sebagai pelaksana proyek. Adapun nilai investasi yang dari proyek ini ditargetkan dapat mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 dengan target penyerapan tenaga kerja sebesar 306 ribu di tahun yang sama. Pengembangan proyek ini juga diharapkan dapat memberi efek limpahan utamanya terhadap pertumbuhan ekonomi kota Batam serta daerah lain di Provinsi Kepri.

Sebelum diresmikan sebagai kawasan industri pada April 2023, proyek Rempang Eco City sempat tertunda selama 18 tahun lamanya. Megaproyek ini sudah digagas sejak tahun 2004 dengan pengembangan kawasan akan dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan salah satu konglomerasi besar di Indonesia, Artha Graha Network. PT MEG kemudian secara resmi memberi nama proyek ini “Rempang Eco City” yang akan dibangun dengan luas kurang lebih 165 km persegi.

Untuk mendukung pengembangan proyek tersebut, pemerintah akan merelokasi masyarakat dan aset pemerintah yang berada di Pulau Rempang dan sebagian Pulau Galang. Berdasarkan data Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Batam (Kominfo Batam) proyek Rempang Eco City akan merelokasi sekitar 2.700 kepala keluarga yang tersebar di 16 kampung secara bertahap. Untuk mendukung proses relokasi ini, pemerintah memberikan ganti kerugian berupa satu unit rumah tipe 45 dengan luas tanah 500 meter persegi bagi setiap KK.

Sebelumnya, kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi bagi pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua dunia milik perusahaan asal Tiongkok, Xinyi Group. Investasi untuk pabrik tersebut diperkirakan mencapai USD11,6 miliar. Proyek ini ditetapkan melalui komitmen investasi penandatanganan MoU dokumen kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok pada akhir Juli 2023 lalu.

Konflik Agraria Imbas PSN

Konflik di Pulau Rempang menambah daftar deretan konflik agraria yang terjadi imbas PSN. Sebut saja seperti proyek Bendungan Bener di Wadas, pembangunan Bandara Kertajati di Jawa Barat, Pulau Komodo di Labuan Bajo dan lain sebagainya yang dalam pengembangan proyeknya selalu diramaikan dengan bentrok warga hingga kekerasan aparat.

Kepala Departemen Campania Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya menilai PSN secara masif memperburuk keadaan masyarakat. Menurutnya, proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah justru banyak melahirkan dampak negatif bagi masyarakat di sektor proyek pembangunan utamanya mereka yang terpaksa harus rela tergusur dari tempat tinggalnya.

KPA mencatat pada akhir tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (periode 2015–2022), setidaknya terdapat 477 konflik agraria yang terjadi akibat pembangunan infrastruktur. Sebagian besar pembangunan infrastruktur tersebut masuk ke dalam PSN. 2021 tercatat menjadi tahun puncak letusan konflik. Dari 52 konflik akibat pembangunan infrastruktur, 32 konflik merupakan akibat dari percepatan PSN.

KPA menambahkan, letusan konflik agraria terjadi akibat dari proses pembangunan yang dilakukan secara sepihak, tergesa dan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Situasi tersebut ditambah dengan banyaknya lokasi yang dijadikan proyek berada di atas tanah masyarakat.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewa Kartika, mengungkap kasus Rempang semakin menguatkan orientasi ekonomi-politik agraria pemerintah, yang menguatkan kepentingan elit bisnis dengan mengatasnamakan PSN. Label PSN yang disematkan dalam pembangunan infrastruktur kerap kali mempercepat proses pengadaan lahan yang berimbas pada tata cara yang digunakan pemerintah menjadi lebih represif dengan bantuan aparat keamanan.

Padahal, Benni melanjutkan, dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, masyarakat berhak menolak rencana pembangunan yang dinilai tidak memberikan dampak positif bagi mereka. Dalam UU tersebut juga mengatur opsi ganti kerugian seperti dalam bentuk uang, relokasi, penyertaan saham bagi warga yang setuju dengan rencana pembangunan. Akan tetapi, Benni menambahkan, realisasi di lapangan seringkali menunjukkan ganti kerugian yang dimanipulasi dan tidak terbuka.

Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari menyoroti langkah represif pemerintah dalam menjalankan proyek infrastruktur melanggar prinsip konstitusi. Menurutnya, investasi tanpa melindungi hak konstitusi rakyat merupakan pelanggaran besar. Ia pun meminta pemerintah untuk menghentikan terlebih dahulu proyek Rempang hingga hak masyarakat dapat terpenuhi dan dilindungi oleh UUD seperti hak bertempat tinggal yang layak.

Perbincangan di Media Sosial

Konflik Rempang menjadi topik yang cukup ramai diperbincangkan di media sosial X (Twitter). Topik “Rempang” bahkan selama beberapa hari sempat menduduki trending topic X di Indonesia. Jangkara memantau keramaian warganet X dalam menanggapi topik tersebut dibantu dengan alat big data Socindex milik PT Nestara Teknologi Teradata. Pantauan dilakukan melalui kata kunci “rempang” dari periode waktu 5 September hingga 12 September 2023.

Dari hasil pantauan diketahui bahwa konflik Rempang selama periode tersebut diperbincangkan dengan total percakapan mencapai 16.855 talks. Adapun total engagement-nya mencapai 456.575 dan diperbincangkan oleh lebih dari 2,6 juta akun. Isu ini juga memiliki potensi buzz reach ke sebanyak 117 juta akun.

Statistik Percakapan di X dengan Kata Kunci “rempang” (Sumber: Socindex)

Berdasarkan hasil pemantauan linimasa X, pembicaraan mengenai konflik Rempang mencapai puncaknya di tanggal 11 September 2023. Bersamaan dengan aksi unjuk rasa warga yang menolak pengembangan Kawasan Rempang di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada Senin (11/9).

Puncak keramaian sebelumnya dimulai di tanggal 7 September 2023, menyusul bentrokan yang terjadi antara warga Pulau Rempang dengan aparat terkait relokasi kawasan tersebut. Perbincangan sempat mereda sebelum kembali mencapai puncaknya di tanggal 11 September 2023. Percakapan masih tinggi di hari setelahnya pada tanggal 12 September 2023 meskipun jumlahnya mulai menurun.

Linimasa Pembicaraan Konflik Rempang di X (Sumber: Socindex)

Cuitan bersentimen negatif mendominasi perbincangan pada puncak keramaian perbincangan di Twitter di tanggal 11 September 2023 yakni mencapai 3,604 cuitan. Cuitan bernada negatif didominasi oleh informasi dari sejumlah akun yang memberikan laporan langsung (live report) mengenai aksi unjuk rasa yang terjadi di tanggal tersebut. Selain itu juga terdapat cuitan yang bereaksi keras hingga mengecam aksi aparat yang melakukan kekerasan kepada sejumlah pengunjuk rasa.

Sentimen Pembicaraan Konflik Rempang di X (Sumber: Socindex)

Keramaian di media sosial X mengenai konflik Rempang disampaikan melalui beragam cuitan dari berbagai akun. Baik akun pribadi atau perorangan maupun akun milik media banyak menuliskan tentang informasi kronologi hingga live report kejadian di lokasi konflik. Terdapat pula cuitan berupa tanggapan sejumlah akun tentang kejadian di Rempang seperti yang disampaikan Anies Baswedan dalam akun pribadinya. Cuitan tersebut menduduki peringkat pertama top likes perbincangan mengenai konflik Rempang dengan jumlah likes mencapai 8,6 ribu likes.

Top Likes dan Comments Pembicaraan Konflik Rempang (Sumber: Socindex)

Keramaian di Media Konvensional

Sama halnya dengan keramaian di media sosial, perbincangan mengenai konflik Rempang cukup mengundang keramaian pemberitaan di media konvensional. Melalui alat big data Newstensity milik PT Nestara Teknologi Teradata, Jangkara memantau pembicaraan tentang topik tersebut. Adapun rentang waktu pemantauan adalah pemberitaan dari tanggal 5 September hingga 12 September 2023.

Dengan kata kunci “rempang” Jangkara memantau bagaimana isu ini disampaikan di media konvensional. Hasilnya, setelah melalui tahap penjaringan, ditemukan jumlah pemberitaan mencapai 5.833 berita. Sama halnya dengan puncak keramaian di X, tanggal 12 September 2023 menjadi puncak isu ini diberitakan di media yakni sebanyak 1.370 berita.

Lini Masa Pemberitaan Konflik Rempang (Sumber: Newstensity)

Sentimen negatif mendominasi pemberitaan tentang konflik Rempang yakni hingga mencapai 3.198 berita. Sejumlah headlines bernada negatif memberi label merah pada berita-berita mengenai isu ini. Tidak sedikit headlines yang merujuk pada kerusuhan dan bentrok yang terjadi pada konflik tersebut. Arah pemberitaan pada sentimen negatif juga tidak sedikit yang berfokus pada kecaman sejumlah pihak mengenai kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga masyarakat Pulau Rempang yang tidak sedikit memakan korban.

Sentimen Pemberitaan Konflik Rempang (Sumber: Newstensity)

Sementara dari hasil analisis word cloud ditemukan sejumlah kata kunci yang muncul dalam pemberitaan tentang konflik rempang seperti “bentrok”, “korban”, “kekerasan”, “relokasi” “aparat” dan lain sebagainya.

Analisis Word Cloud Konflik Rempang (Sumber: Newstensity)

Epilog

Proyek infrastruktur yang mengatasnamakan pembangunan nasional kembali menempatkan masyarakat umum sebagai korban. Tidak sedikit dari mereka tergusur dari tempatnya tinggal. Kondisi ini menjadi ironi di tengah klaim pemerintah menyebut proyek infrastruktur sebagai rencana strategis untuk mencapai kepentingan bersama, meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Melihat pada deretan konflik yang kerap kali terjadi mewarnai pembangunan infrastruktur nasional, publik dibuat tanya: kepentingan bersama mana yang sebenarnya dimaksud pemerintah, masyarakat atau kepentingan kelompok tertentu saja?

--

--