Korupsi Bansos di Masa Pandemi? Ckckck…

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readDec 7, 2020

Imam Nahrawi, Idrus Marham, Edhy Prabowo, dan kini Juliari Batubara. Empat sosok tersebut ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk membantunya menjalankan negara tetapi pada akhirnya mereka semua justru harus masuk penjara. Korupsi menjadi benang merahnya.

Dari empat nama tersebut, dua di antaranya — Idrus dan Juliari — menjadi pesakitan ketika menjabat sebagai Menteri Sosial. Idrus dan Juliari sendiri merupakan Menteri Sosial kedua dan ketiga yang tersandung kasus korupsi dalam dua dasawarsa terakhir. Adapun, nama pertama adalah Bachtiar Chamsyah.

Rangkaian kasus yang menyeret para Menteri Sosial ini tak pelak mengingatkan publik kepada Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dulu pernah membubarkan Kementerian Sosial tatkala menjabat sebagai Presiden RI.

Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI pada 1999 menyusul keberhasilan gerakan Reformasi menggulingkan Orde Baru. Membubarkan Departemen Sosial (Depsos) menjadi salah satu langkah pertama yang dilakukan oleh tokoh besar Nahdlatul Ulama tersebut.

Sebenarnya, Gus Dur sudah diperingatkan untuk tidak membubarkan Depsos karena Indonesia dinilai masih membutuhkan peran departemen seperti itu. Namun, lantaran gerah melihat korupsi besar-besaran yang ada, Gus Dur bergeming.

Langkah Gus Dur tersebut sempat menjadi blunder ketika Indonesia dihantam berbagai bencana alam. Biasanya, bantuan-bantuan disalurkan melalui Depsos. Karena departemen tersebut sudah dibubarkan, dibentuklah Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN).

Namun, BKSN tetap tak bisa sepenuhnya menjalankan peran dari Depsos karena minimnya sumber daya manusia yang dimiliki. Akhirnya, Depsos pun dihidupkan lagi dengan digabung bersama Departemen Kesehatan.

Setelah Gus Dur lengser dan digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri, Depsos baru betul-betul lahir kembali sebagai satu lembaga mandiri. Nomenklaturnya di kemudian memang kemudian berubah menjadi Kementerian Sosial (Kemensos) tetapi fungsinya tidak berubah.

Pada 2008, Gus Dur sempat diwawancarai oleh Andy F. Noya di program “Kick Andy” milik Metro TV. Di situ, Gus Dur sempat menjelaskan alasan di balik kekukuhannya membubarkan Depsos meski mendapat banyak peringatan.

“Persisnya itu, karena departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean…. Sampai hari ini,” kata Gus Dur dalam acara tersebut.

Andy kemudian bertanya kembali, “Kalau membunuh tikus ‘kan enggak perlu membakar lumbungnya?”

Gus Dur menjawab, “Oh, memang. Karena [di sini] tikusnya sudah menguasai lumbung.”

Dengan kata lain, Gus Dur beranggapan bahwa korupsi yang ada di Depsos era Orde Baru sudah tidak bisa lagi diberantas dengan cara yang normal. Untuk meniadakan korupsi, sosok kelahiran 7 September 1940 tersebut memilih cara ekstrem dengan membubarkan lembaganya.

Gus Dur wafat kurang lebih satu tahun setelah menjadi tamu di “Kick Andy” dan tak lama setelah itu ucapannya sudah terbukti. Bachtiar yang menjabat sebagai Mensos dari 2001 sampai 2009 terbutki melakukan korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi. Pada 2010, dia divonis 1 tahun 8 bulan penjara.

Bachtiar Chamsyah, Mensos RI 2001–2009 yang tersandung korupsi impor sapi & pengadaan mesin jahit.

Setelah Bachtiar, ada Idrus. Memang benar bahwa korupsi yang dilakukan politisi Partai Golkar itu tidak berkaitan dengan aktivitas Kementerian Sosial. Akan tetapi, pria 58 tahun itu tersandung kasus kala menjabat sebagai Menteri Sosial.

Idrus dinyatakan bersalah menerima suap untuk proyek PLTU Riau-1. Dia divonis hukuman penjara 3 tahun, sempat mendapat vonis baru hukuman penjara 5 tahun, tetapi akhirnya bebas setelah 2 tahun. Pada 11 September 2020 silam Idrus telah kembali menghirup udara bebas.

Tiga bulan setelah Idrus bebas, Kementerian Sosial kembali tercoreng dengan terbongkarnya kasus korupsi bantuan sosial pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh sang menteri, Juliari Batubara. Bisa dibilang, inilah kasus terburuk yang pernah menimpa kementerian tersebut karena tindak pidana dilakukan Juliari di tengah masa pandemi.

Ceritanya, Juliari meminta jatah Rp10 ribu untuk setiap paket bantuan Kemensos yang bernilai Rp300 ribu. Korupsi ini sendiri dilakukannya bersama empat tersangka lain; dua dari Kemensos (Matheus Joko Santoso & Adi Wahyono) dan dua lainnya pihak swasta (Ardian I. M. & Harry Sidabuke).

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen Pol. Firli Bahuri, menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari adanya pengadaan barang berupa bansos penanganan COVID-19. Nilainya kurang lebih Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.

Pada tahapan ini, Juliari menunjuk Matheus dan Adi sebagai pejabat pembuat komitmen dengan menunjuk langsung rekanan. KPK menduga ada kesepakatan sejumlah fee (biaya) dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut. Fee yang dimaksud adalah Rp10 ribu untuk paket Rp300 ribu tadi.

Juliari Batubara, korupsi di masa pandemi.

KPK menyebut, Juliari mengetahui langsung penunjukan perusahaan milik anak buahnya. Pada paket bansos COVID-19 periode pertama, diduga fee miliaran rupiah turut diterima Mensos Juliari.

“Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar,” ujar Firli.

Firli menerangkan, pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi Mensos. Ada uang sekitar Rp8,8 miliar yang diduga dipakai untuk keperluan Juliari.

“Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan saudara JPB,” jelas Firli.

Publik sejatinya sudah tidak kaget dengan adanya kasus korupsi di kabinet Jokowi. Toh, sebelumnya sudah pernah ada tiga kasus. Akan tetapi, kali ini situasinya berbeda. Melakukan korupsi di tengah pandemi, ketika semua orang sedang mengetatkan ikat pinggang, ketika korban bertumbangan di mana-mana, dinilai sebagai perbuatan tak termaafkan.

Dari sana, seruan untuk memberi Juliari hukuman mati muncul. Seruan ini pun tak serampangan dilontarkan karena dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sudah diatur bahwa pelaku korupsi yang dilakukan dalam situasi tertentu (termasuk bencana wabah) bisa dikenai hukuman mati.

Meski demikian, tak semua pihak setuju. Ditulis Tirto, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu jadi salah satu sosok yang menyatakan penolakan. Kata Erasmus, hukuman mati untuk koruptor tak menyelesaikan persoalan.

Juliari Batubara mengenakan rompi oranye tahanan KPK.

Menurut Erasmus, tak ada satu pun tindak kejahatan yang bisa tuntas dengan adanya hukuman mati. Dia menjelaskan, negara-negara yang berhasil menekan kasus korupsi adalah negara-negara yang tak mengenal hukuman mati. Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia contohnya.

“Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah, termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (80), dan Iran (146),” jelas Erasmus.

Analisis Pemberitaan di Media

Korupsi di masa pandemi. Sudah barang tentu tindak rasuah Juliari Batubara ini menyita perhatian publik yang amat besar. Mau bukti? Sejak sang Mensos diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 5 Desember 2020, telah muncul 6.276 pemberitaan tentang kasusnya.

Sudah begitu, kasus korupsi Mensos itu pun mengisi halaman pertama sejumlah surat kabar ternama, yaitu Koran Tempo, Kompas, Koran Sindo, The Jakarta Post, Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Jogja, dan Media Indonesia.

Semua surat kabar itu menjadikan kasus korupsi Mensos sebagai headline kecuali Media Indonesia. Surat kabar milik Surya Paloh itu memilih untuk menjadikan kedatangan vaksin Sinovac sebagai headline tetapi berita korupsi Juliari tetap terpampang di halaman depan.

Berdasarkan data Newstensity sampai Senin (7/12/2020) sore WIB, ada 231 berita mengenai korupsi Mensos di media cetak. Rinciannya: 172 berita bersentimen negatif, 57 bersentimen positif, dan 2 bersentimen netral.

Pertumbuhan berita korupsi Mensos sejak 5 Desember 2020.
Sentimen pemberitaan kasus korupsi Mensos di media daring, cetak, dan elektronik.
Cuma Kalimantan Utara dan Gorontalo yang tak memberitakan kasus korupsi Mensos.

Berita-berita bersentimen positif sendiri rata-rata muncul dari dua isu. Pertama, penunjukan Muhadjir Effendy sebagai Plt Menteri Sosial. Muhadjir sendiri saat ini masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Isu kedua adalah seruan reshuffle.

Sementara itu, dari media daring, total jumlah pemberitaan mencapai 5.931. Dari jumlah tersebut, 83 persennya (4.926) menghasilkan sentimen negatif. Kemudian, 851 berita bersentimen positif dan sisanya netral.

Di media daring inilah isu hukuman mati untuk Juliari ramai dibahas. Di situ ada pendapat dari Muhammadiyah, MUI Sulawesi Selatan, Menkopolhukam Mahfud MD, serta anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Dari empat entitas itu, satu-satunya yang menyuarakan penolakan adalah DPR.

Menurut Arsul, ada perbedaan pasal yang membuat Juliari tak bisa dihukum mati. KPK sendiri menjerat Juliari dengan pasal suap yang tercantum dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Sedangkan, ancaman hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2) beleid tersebut. Walau begitu, Arsul tetap menyerahkan kewenangan penuh kepada KPK.

Terakhir, dari media elektronik. Di antara tiga media yang ada, jumlah pemberitaan media elektronik pasti selalu jadi yang paling sedikit karena penyampaian berita di sini memang terbatas oleh jadwal siaran. Namun, untuk kasus korupsi ini, bisa dibilang jumlah pemberitaannya cukup banyak: 120 berita.

Dari 120 berita, 71 di antaranya menghasilkan sentimen negatif, 33 positif, dan 15 netral. Di media elektronik, sudut pemberitaan yang menghasilkan sentimen positif antara lain: Ketegasan KPK, ketegasan Presiden Jokowi yang bilang tak mau lagi melindungi koruptor, serta kepastian bahwa bansos akan tetap dialirkan.

Adapun, pemberitaan mengenai Juliari ini muncul di 32 provinsi berbeda. Artinya, isu ini memang tengah menjadi pusat perhatian seluruh Indonesia. Dua provinsi yang tak memberitakan kasus ini hanyalah Kalimantan Utara dan Gorontalo.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.