Luka Sigi, Duka Bangsa Indonesia

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
8 min readNov 30, 2020

Jumat (27/11/2020) pagi, sekitar pukul 09:00 WITA, sekelompok orang tidak dikenal mendatangi sebuah rumah yang terletak di Pegunungan Kebun, Desa Lembontongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tak lama kemudian, gerombolan tersebut memenggal kepala dua penghuni rumah bernama Yasa dan Pinu.

Selain memenggal kepala Yasa dan Pinu, gerombolan tadi juga melukai seorang wanita bernama Naka. Peristiwa tersebut disaksikan oleh Ulin yang merupakan anggota dari keluarga tersebut. Dengan segera, Ulin lari ke desa dan melapor kepada Aco. Oleh Aco, aksi tersebut lantas dilaporkan kepada polisi.

Butuh waktu empat jam bagi polisi untuk menerima laporan dari Aco. Pasalnya, menurut Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, Pegunungan Kebun terletak di wilayah yang amat terpencil. Sampai-sampai, sinyal telepon seluler pun tak bisa ditemukan di sana.

Yasa adalah ayah dari Ulin, Pinu adalah suaminya, dan Naka adalah ibunya. Ketika kabur ke desa, Ulin baru menyaksikan kematian dua orang. Ternyata, korban jiwa dari serangan tersebut semuanya berjumlah empat orang. Naka akhirnya meninggal, begitu pula Pedi yang merupakan saudara kandung Ulin.

Saat dimintai keterangan oleh polisi, Ulin dapat mengidentifikasi tiga pelaku. Ketiga orang itu rupanya merupakan bagian dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora yang saat ini masuk daftar pencarian orang (DPO). Ali Kalora sendiri termasuk dalam tiga orang yang bisa diidentifikasi oleh Ulin tersebut.

Berbekal keterangan dari Ulin tersebut, polisi menyimpulkan bahwa serangan di Pegunungan Kebun bukanlah tindak kriminal biasa, melainkan aksi terorisme. Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Suparnoto, pun menyebut serangan tersebut cocok dengan modus operandi kelompok teroris.

“Jadi mereka kadang-kadang suka melakukan aksi secara acak. Namanya teroris, jadi melakukan tindakan teror untuk menakut-nakuti masyarakat,” kata Didik, dikutip dari CNN Indonesia.

Selain membunuh empat orang, kelompok teroris pimpinan Ali Kalora itu juga membakar enam rumah (salah satunya rumah yang biasa digunakan untuk ibadah agama Kristen) serta merampas barang-barang milik warga, terutama bahan makanan. Menurut keterangan polisi, sebelum menghabisi nyawa empat orang tadi, gerombolan Ali Kalora terlebih dahulu mengambil 40kg beras yang ada di rumah.

Dari berbagai keterangan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa kelompok Ali Kalora sukses mendapatkan dua hal dari serangan ke Pegunungan Kebun. Selain mendapat bahan makanan untuk bertahan hidup di belantara, mereka juga berhasil menebar ketakutan terhadap warga di sekitar tempat persembunyiannya.

MIT sendiri saat ini diperkirakan tinggal berjumlah 13 orang. Dulunya, kelompok ini dipimpin oleh Santoso yang tewas ditembak pada 2016. Setelah Santoso tewas, tampuk pimpinan diambil alih oleh Basri alias Bagong, tetapi nama yang disebut kedua pun sudah berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Tanpa Santoso dan Basri, MIT tampak bakal segera habis.

Akan tetapi, di situasi demikian, muncullah nama Ali Kalora ke permukaan. Berdasarkan laporan IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict), MIT di bawah pimpinan Ali Kalora sebenarnya sempat mendapatkan pukulan telak pada 2017 ketika dua kombatannya, Barok dan Askar, tewas dalam baku tembak dengan aparat di Poso Pesisir.

Namun, Ali Kalora berhasil menyelamatkan kelompoknya. Pada 2017 itu, basis MIT dia pindahkan dari Gunung Biru, Poso Pesisir, ke Parigi Moutong. Tak cuma menyelamatkan kelompoknya, Ali Kalora pun sukses merekrut lebih banyak anggota.

Mulanya Ali Kalora berusaha merekrut kombatan-kombatan dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun, upaya ini gagal karena polisi sukses meringkus 13 anggota Jamaah Anshorud Daulah (JAD) menyusul serangan terhadap kantor polisi Bima pada 11 September 2017.

Ali Kalora tak kehilangan akal. Dia menggunakan jaringannya di penjara untuk mendapatkan enam kombatan. Selain itu, dia juga mengutus menantu Santoso, Khairul Amin, untuk melakukan rekrutmen lokal. Setelah berhasil menambah jumlah anggota, barulah Ali Kalora mulai melancarkan aksinya.

Serangan di Penjara Mako Brimob, kemudian bom di Surabaya, merupakan bagian dari rangkaian aksi Ali Kalora untuk mengingatkan publik Indonesia bahwa MIT masih eksis. Tak lupa, Ali Kalora juga mengunggah video berdurasi empat menit yang berisikan pidato propaganda. Adapun, serangan-serangan ini dilakukan MIT pada awal 2018.

Adanya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Selatan, masih menurut laporan IPAC, menjadi momentum bagi Ali Kalora untuk melakukan rekrutmen. Di saat aparat keamanan sibuk memberikan bantuan kepada korban bencana, para calon kombatan bisa berkeliaran dengan bebas, termasuk dengan menyamar sebagai sukarelawan.

Dengan kekuatan 18 orang, MIT kembali berani melakukan serangan terbuka. Pada 30 Desember 2018, mereka memenggal kepala seorang penambang emas. Kelompok itu juga melukai dua polisi yang berusaha mengambil jasad sang penambang.

Namun, aksi ini justru menjadi senjata makan tuan bagi MIT karena polisi kemudian sukses meringkus Linda Ipa, adik Ali Kalora yang bertugas sebagai bendahara MIT, menewaskan empat kombatan, serta menangkap satu orang anggota lainnya.

Memasuki 2019, MIT kembali terpojok. Namun, justru dengan begitu aksi mereka semakin brutal. Mereka membunuh dua petani di Parigi Selatan sebagai peringatan kepada warga lainnya agar tak melapor ke polisi. Tak cuma itu, Ali Kalora pun kembali mengintensifkan program rekrutmen.

Ali Kalora, pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur.

Pada 2019 itu, rekrutmen yang dilakukan Ali Kalora hanya dilakukan secara lokal, memanfaatkan jaringan Ustaz Yasin yang memiliki pesantren di Poso. Meski demikian, mereka berhasil menjaring banyak anggota baru sehingga total jumlah personel mencapai 20 orang. Dua dari 20 orang itu menyerahkan diri ke polisi pada Maret 2020 tetapi Ali Kalora merasa kekuatan kelompoknya sudah cukup. MIT pun kembali ke Poso Pesisir.

Selain mendapat personel baru, MIT merasa mendapatkan bala bantuan dari langit dengan mewabahnya virus corona. Virus corona dianggap sebagai bantuan karena virus ini membuat negara-negara lawan ISIS seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Turki, dan Arab Saudi memgalihkan fokusnya untuk melawan pandemi. Ya, kelompok MIT memang berbaiat kepada ISIS.

Keberadaan virus corona membuat MIT makin yakin bahwa mereka bakal menang. Pada akhir Maret 2020 mereka menyerang rombongan Brimob yang hendak mengantarkan makanan. Serangan itu tak menimbulkan korban jiwa tetapi MIT mendapatkan rampasan berupa sepeda motor dan bahan makanan.

Setelahnya, berbagai serangan lagi dilakukan MIT. Mereka berani menembak polisi dalam upaya perampokan Bank Syariah Mandiri. Mereka juga memenggal seorang warga lainnya sebagai cara untuk memperingatkan agar tidak ada yang macam-macam dengan mereka.

Semenjak kematian Santoso, aparat keamanan Indonesia dari TNI maupun Polri sebenarnya telah memburu sisa-sisa MIT yang dipimpin Ali Kalora lewat Operasi Tinombala. Menurut IPAC, pada puncak operasi, jumlah personel yang terlibat di sini mencapai 2.400 orang. Sedangkan, untuk saat ini, jumlah personel yang masih bertugas ada 600 orang.

Juni silam, sejumlah anggota Satgas Tinombala sempat terlibat baku tembak dengan MIT di Pegungungan Poso. Baku tembak tersebut menyebabkan satu personal satgas dan satu anggota MIT mengalami luka-luka. Lima bulan kemudian, muncul serangan lagi dari MIT yang menewaskan empat warga Pegunungan Kebun. Merespons hal ini, Satgas Tinombala langsung mengejar para pelaku.

Operasi Tinombala ini sendiri semestinya sudah berakhir September lalu. Akan tetapi, karena masih ada 13 buronan MIT yang belum berhasil ditangkap, operasi kembali dilanjutkan sampai 31 Desember 2020. Mantan Kapolri, Jenderal Pol Badrodin Haiti, sendiri pernah mengatakan Operasi Tinombala baru akan benar-benar berakhir setelah eks Santoso habis.

Santoso, pemimpin MIT yang tewas pada 2016.

Lewat Operasi Tinombala, pemerintah RI sebenarnya sudah menunjukkan keseriusan dalam menangani permasalahan MIT di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, serangan di Sigi, Jumat (27/11) silam, membuat mantan deklarator Malino (perjanjian damai di Poso), Pendeta Rinaldy Damanik, mempertanyakan efektivitas satgas tersebut.

“Kami percaya bahwa masih banyak aparat TNI dan Polri yang tulus, profesional dan berkemampuan untuk menindak tuntas Kelompok Bersenjata tersebut, tetapi mungkin kebijakan atasan yang bermasalah,” ujarnya seperti dilansir BBC Indonesia.

Sampai artikel ini ditulis, Senin (30/11), belum ada perkembangan baru terkait kasus serangan teroris di Sigi. Terakhir, Komandan Korem 132/Tadulako, Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, pada Minggu (29/11) mengatakan bahwa Satgas Tinombala masih berupaya memburu para pelaku.

Analisis Pemberitaan di Media

Peristiwa pembunuhan empat warga Sigi oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terjadi pada Jumat (27/11) pagi WITA. Akan tetapi, berita ini baru benar-benar menyita perhatian publik Indonesia secara luas pada Minggu (29/11) pagi.

Pada Minggu pagi itu kabar adanya serangan teroris ramai tersebar di media sosial, termasuk arsip digital pernyataan resmi Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang dirilis Sabtu (28/11). Berbarengan dengan arsip digital itu, tersebar pula foto rumah yang dibakar di Pegunungan Kebun.

Di media sosial, serangan itu baru ramai-ramai diberitakan pada Minggu. Ternyata, berdasarkan data Newstensity, media-media Indonesia pun baru ramai memberitakan peristiwa tersebut pada hari yang sama. Total, sampai saat ini ada 1.463 berita yang muncul dan hampir 50 persennya (742 berita) diterbitkan pada Minggu.

Pada Jumat, memang sudah ada 22 berita yang muncul. Akan tetapi, sebagian besar dari pemberitaan tersebut diterbitkan oleh kantor berita milik negara, ANTARA. Selain ANTARA, media yang memberitakan peristiwa ini pada Jumat adalah: Inilah, Sinar Harapan, ANTV, Jawa Pos, IJN, dan iNews.

Perkembangan berita “Serangan Teroris di Sigi”.
Berita “Serangan Teroris di Sigi” didominasi sentimen negatif.
Peta pemberitaan “Serangan Teroris di Sigi”.

Keesokan harinya, seiring dengan makin bertambahnya informasi yang ada, jumlah pemberitaan melonjak drastis menjadi 342. Jika pada Jumat pemberitaan masih berkisar pada keberadaan sebuah peristiwa pembunuhan, pada Sabtu mulai terkuak bahwa yang melakukan serangan adalah MIT.

Dari situ, kronologi mulai diceritakan. Berbagai tanggapan, mulai dari pejabat pemerintah sampai tokoh-tokoh berpengaruh, pun mulai bermunculan. Tak lupa, versi resmi dari polisi juga disampaikan pada hari Sabtu itu. Namun, traksi dari isu ini memang baru terasa pada Minggu.

Pada Minggu, berita-berita turunan semakin banyak. Pernyataan resmi Mahfud MD, kecaman dari MUI, NU, dan Muhammadiyah, sampai perkembangan terbaru aktivitas Satgas Tinombala jadi beberapa angle yang ramai diberitakan pada Minggu.

Kemudian, pada Senin hari ini, jumlah pemberitaan mengalami penurunan. Namun, hingga artikel ini ditulis, jumlah berita (352) sudah lebih banyak dibandingkan berita pada Sabtu. Artinya, peristiwa serangan di Sigi itu masih menjadi salah satu perhatian utama media-media Indonesia.

Dari semua berita yang ada, sebagian besarnya memunculkan sentimen negatif dan ini bukan hal mengejutkan. Di media daring, 92% berita (1.266) menghasilkan sentimen negatif. Di media cetak dan elektronik, sentimen negatif bahkan mencapai 95% (62 berita) dan 94% (16).

Isu serangan di Sigi ini sendiri diberitakan di 22 provinsi berbeda, dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Maluku. Provinsi Sulawesi Tengah, tempat serangan terjadi, menjadi sumber pemberitaan terbanyak (1.417). Satu-satunya wilayah Indonesia yang tak menerbitkan pemberitaan soal isu ini adalah Papua.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.