Macron Selip Lidah, Prancis Kena Getah

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
8 min readNov 3, 2020

Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan orang yang sudah tiada, mari kita sepakati bahwa Samuel Paty kurang lihai dalam belajar dari pengalaman. Sebagai guru, sebagai orang terpelajar, Paty semestinya paham bahwa menampilkan karikatur Nabi Muhammad adalah sesuatu yang bisa mengancam nyawanya.

Paty adalah orang Prancis dan di negara itu, lima tahun silam, 12 karyawan tabloid satire Charlie Hebdo tewas diberondong pelor Said dan Cherif Kouachi. Penyerangan dilakukan Kouachi bersaudara setelah Charlie Hebdo menerbitkan tabloid dengan karikatur Nabi Muhammad sebagai sampul. Kouachi bersaudara sendiri ketika itu mengaku bahwa mereka merupakan bagian dari Al-Qaeda.

Charlie Hebdo dikenal sebagai publikasi yang doyan mengolok-olok agama, tidak cuma Islam tetapi juga Kristen dan Yahudi. Namun, mengingat Islam mempraktikkan anikonisme, atau absennya rupa figur-figur agama, respons paling keras terhadap Charlie Hebdo pun muncul dari penganut agama ini.

Pada 2006 Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad yang sebelumnya dimuat di tabloid Denmark, Jyllands-Posten. Lalu pada 2011 dan 2012 mereka kembali menampilkan karikatur serupa. Ulah Charlie Hebdo ini sempat membuat Prancis harus menutup kedutaan besarnya di 20 negara. Selain itu redaksi Charlie Hebdo juga harus berpindah tempat karena kantor lama mereka dibakar.

Namun, pada 2015, entah bagaimana Kouachi bersaudara berhasil menemukan markas baru Charlie Hebdo. Mereka memaksa masuk ke kantor dan memuntahkan peluru ke berbagai penjuru. Selain menewaskan 12 orang, serangan tersebut juga melukai 11 lainnya. Dua hari setelah penyerangan itu Kouachi bersaudara tewas ditembak polisi Prancis.

Sampul tabloid Charlie Hebdo yang mengolok-olok Recep Tayyip Erdogan.

Meski Kouachi bersaudara sudah tewas, pengadilan terhadap 14 orang lain yang diduga membantu penyerangan 2015 terus berlanjut sampai 2020 ini. Pada 2 September 2020, pemerintah Prancis mulai mengadili para tersangka tersebut. Menyambut itu, Charlie Hebdo memutuskan untuk menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad.

Usai Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad itu, penusukan terhadap dua orang terjadi di dekat kantor lama tabloid tersebut. Beruntung, penusukan itu tak menimbulkan korban jiwa. Korban jiwa baru jatuh ketika Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada para siswa di SMP tempatnya mengajar.

Karikatur yang ditunjukkan Paty tersebut salah satunya menunjukkan Nabi Muhammad dalam kondisi telanjang. Salah satu orang tua siswa tidak terima dan melaporkan Paty atas tuduhan menyebarkan pornografi. Dari sini masalah membesar. Nama Paty disebarluaskan sampai akhirnya seorang remaja Chechnya, Abdoullakh Abouyedovich Anzorov, menemukan sang guru.

Anzorov meminta sejumlah siswa untuk menunjuk sosok Paty. Setelah bertemu, Anzorov memenggal kepala Paty. Sang guru pun tewas seketika dan kematian Paty ini direspons Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan melancarkan serangan verbal terhadap “Islam radikal”. Sebelumnya, pada 2 Oktober, Macron sempat mengatakan bahwa Islam adalah agama yang tengah mengalami krisis.

Tingkah Macron makin menyulut emosi orang-orang Islam. Di dalam negeri, Macron mendapat kritikan keras. Bahkan, pada 29 Oktober, penusukan atas nama Islam kembali terjadi di Prancis, tepatnya di kota Nice, sebagai bentuk “protes” atas ucapan sang presiden. Penusukan itu menewaskan tiga orang.

Kritikan untuk Macron tak cuma datang dari dalam negeri. Dari luar negeri, kritikan tak kalah kencang. Pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdogan, jadi salah satu tokoh terkemuka yang menyerang Macron. Tak cuma itu, Erdogan juga menyerukan boikot terhadap produk-produk Prancis.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron.

Seruan Erdogan itu gemanya ternyata sampai ke Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menyerukan perintah untuk memboikot produk-produk Prancis. Paguyuban Alumni 212 juga sudah turun ke jalan untuk menyampaikan protes mereka terhadap pernyataan Macron.

Dalam demonstrasi di Kedubes Prancis, Senin (2/11/2020), PA 212 menyatakan apresiasinya terhadap Presiden Joko Widodo yang telah mengecam Macron. Akan tetapi, mereka juga ingin agar Jokowi turut menyerukan boikot terhadap produk-produk Prancis. Sejauh ini, Jokowi belum melakukan hal kedua.

Macron sendiri sudah menyampaikan klarifikasi lewat wawancara dengan Al Jazeera yang terbit pada Sabtu (31/10). Dia berkata, “Saya memahami sentimen-sentimen yang disampaikan dan saya menghargai itu semua. Namun, Anda harus paham juga peran saya saat ini: Saya harus menjaga ketenangan sekaligus melindungi hak-hak ini.”

“Saya akan selalu melindungi hak-hak untuk berbicara, menulis, berpikir, dan menggambar di negara saya,” sambungnya.

Macron kemudian menyatakan bahwa pernyataan yang dia buat setelah pembunuhan Paty tadi didistorsi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik. “Saya pikir reaksi yang muncul adalah hasil dari kebohongan dan distorsi terhadap kata-kata saya karena orang-orang jadi berpikir saya mendukung kartun-kartun itu,” ucapnya.

“Karikatur-karikatur tersebut bukan bikinan pemerintah, tetapi mereka muncul dari surat kabar yang bebas dari pengaruh pemerintah,” tegas pria 42 tahun tersebut.

Demonstrasi mengecam Emmanuel Macron di depan Kedubes Prancis, Jakarta.

Tak lupa, Macron juga menyampaikan bahwa “Islam adalah pihak yang paling dirugikan dari serangan-serangan teror tersebut”.

“Di dunia ini ada orang-orang yang membelokkan Islam dan, dengan mengatasnamakan agama ini, mereka membunuh, membantai… Kekerasan ini dilakukan oleh gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam. Ini adalah masalah bagi Islam karena yang jadi korban adalah orang-orang Muslim sendiri. Lebih dari 80 persen korban terorisme adalah Muslim dan ini adalah masalah pelik,” papar Macron.

Sejauh ini, klarifikasi Macron itu belum terbukti mampu mengurangi amarah dunia Islam. Seruan boikot masih menggema di mana-mana. Meski begitu, seruan boikot ini sendiri mendapat kecaman dari para pemimpin Islam di Prancis. Kata mereka, seruan boikot itu adalah “penggunaan nama Islam untuk kepentingan politik”.

“Ini adalah saat kita semua harus menunjukkan solidaritas kepada negara kami yang tengah menjadi sasaran serangan selama beberapa pekan terakhir,” ujar kepala tiga masjid dan tiga asosiasi muslim di Prancis dalam sebuah pernyataan bersama.

Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya tidak akan melakukan boikot terhadap produk Prancis. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, mengungkapkan dua alasan mengapa Pemerintah Indonesia takkan melakukan boikot.

“Pertama untuk bisa mengembalikan situasi terkait pandemi, kedua ketika pemboikotan itu terjadi kemudian ekonomi juga bermasalah dalam negeri, yang rugi bukan orang Prancis, yang rugi adalah bangsa dan masyarakat Indonesia,” terangnya.

Presiden Joko Widodo sudah mengecam Emmanuel Macron tetapi Pemerintah RI takkan memboikot produk Prancis.

Sementara itu, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, menyatakan bahwa aksi boikot ini tidak akan ada hasilnya selama tidak ada dialog substansial mengenai benturan antara sekularisme ekstrem di Prancis dan nilai-nilai agama.

“Harus ada dialog soal kebebasan berbicara dan soal blashphemy. Orang perlu ukuran sampai mana kebebasan berbicara dilakukan ketika menyakiti pihak lain dan bagaimana diselesaikan, apakah dalam kerangka hukum atau budaya,” ucap Staquf, dikutip dari BBC Indonesia.

“Kalau sekularisme tidak mau buka diri untuk berdialog, karena perilaku sekularisme ini menggunakan jargon kebebasan berbicara sebagai justifikasi untuk menyerang norma-norma yang mapan di masyarakat,” lanjutnya.

Dari segi ekonomi, efek yang terasa dari boikot ini juga tidak akan terasa secara signifikan. Pasalnya, menurut Lokadata, Indonesia dan Prancis tidak terlalu aktif melakukan hubungan dagang. Total nilai ekspor-impor Indonesia dan Prancis hanya mencapai kurang dari 2,4 miliar dolar AS.

Dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia pada 2019, yang dikirim ke Prancis hanya 0,6 persen, setara dengan 972,4 juta dolar AS. Sedangkan, pangsa Prancis dalam total impor Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan pangsa ekspor. Pada 2019, pangsanya sebesar 0,8 persen dari total impor atau setara dengan 1,4 miliar dolar AS.

Kendati begitu, ada barang dari Indonesia yang sebagian besar pasarnya adalah Prancis. Produk mesin dan suku cadang untuk mesin, misalnya. Dari total yang diekspor, 61,4 persennya ditujukan ke Prancis dengan nilai 5,7 juta dolar AS.

Sedangkan untuk barang dari Prancis, pasar di Indonesia setidaknya memiliki ketergantungan pada empat komoditas yang pangsanya di atas 50 persen dan satu komoditas dengan pangsa 49 persen. Barang tersebut adalah senyawa heterosiklik, bahan baku kue, serta pesawat terbang dan komponennya.

Isu Macron, Islam, dan boikot produk Prancis ini menyita cukup banyak perhatian di Indonesia. Di Newstensity sendiri ada tiga kata kunci yang digunakan untuk melacak pemberitaan mengenai hal itu. Yakni: “Pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron Menyinggung Islam”, “Presiden Jokowi Kecam Pernyataan Presiden Macron”, dan “Demo di Kedubes Perancis”.

Jika ditotal, dalam sepekan terakhir, ada 6.505 berita mengenai Macron vs Islam tersebut. Akan tetapi, 6.505 itu bukan jumlah yang sebenarnya karena ada berita-berita yang bertumpang tindih dalam tiga kata kunci tadi. Misalnya, berita penjelasan Ngabalin soal mengapa Pemerintah Indonesia takkan memboikot produk Prancis.

Terlepas dari itu, tiga kata kunci dalam isu Macron vs Islam ini punya share sentimen yang mirip di media daring. Pada kata kunci “Pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron Menyinggung Islam” dan “Presiden Jokowi Kecam Pernyataan Presiden Macron”, 62 persen berita daring menghasilkan sentimen negatif. Sementara, sat kata kunci lain menghasilkan 59 persen sentimen negatif.

Ketika kita berbicara soal berita media cetak dan elektronik, barulah variasinya tampak. Di media cetak, kata kunci “Pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron Menyinggung Islam” menghasilkan 50 persen sentimen negatif dan 42 persen sentimen positif. Kemudian, kata kunci “Presiden Jokowi Kecam Pernyataan Presiden Macron” menghasilkan 57 persen sentimen negatif dan 35 persen sentimen positif. Terakhir, kata kunci “Demo di Kedubes Perancis” menghasilkan 75 persen sentimen negatif dan 17 persen sentimen positif.

Berlanjut ke media elektronik, kata kunci “Pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron Menyinggung Islam” menghasilkan 68 persen sentimen negatif dan 15 persen sentimen positif. Berikutnya, kata kunci “Presiden Jokowi Kecam Pernyataan Presiden Macron” menghasilkan 65 persen sentimen negatif dan 19 persen sentimen positif. Lalu, kata kunci “Demo di Kedubes Perancis” menghasilkan 33 persen sentimen negatif dan 67 persen sentimen netral.

Isu Macron vs Islam ini sendiri bisa dibilang isu yang tidak menyenangkan. Namun, bagaimana bisa sentimen positif bisa mendapat porsi yang cukup besar di sini? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat jenis-jenis berita yang diterbitkan oleh media-media yang ada.

Tidak semua berita yang tercakup dalam isu ini berisikan kecaman, ancaman, maupun kritikan. Ada pula artikel-artikel yang berupaya memberikan penjelasan untuk menjernihkan masalah. Artikel di surat kabar Singgalang, misalnya, bisa jadi contoh. Di situ terbit satu artikel berjudul “Memahami Prancis dan Hubungan Antarnegara” yang berisikan penjelasan serta analisis. Artikel ini menuai sentimen positif.

Sentimen juga dipengaruhi oleh pemilihan kata dalam judul. Dalam isu demonstrasi di Kedubes Prancis, misalnya, ada berita mengenai penangkapan 10 pelajar. CNN Indonesia dan Viva memberitakan hal yang sama tetapi berita mereka menghasilkan sentimen berbeda.

Di CNN Indonesia, berita berjudul “10 Pelajar Ditangkap Saat Aksi, Temukan Pistol Mainan di Truk” menuai sentimen negatif. Sedangkan, berita bertitel 10 Remaja Diamankan saat Demo di Kedubes Prancis Dipulangkan” milik Viva menuai sentimen positif. Kata “pistol” punya pengaruh besar dalam menentukan arah sentimen berita.

Adapun, berita mengenai Macron vs Islam ini sendiri sudah mengalami penurunan dari segi jumlah pada Selasa (3/11), seperti terlihat dalam grafik Newstensity. Binokular berpendapat, penurunan ini terjadi karena munculnya dua isu baru yang tak kalah menghebohkan: Pengesahan UU Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi serta Pemilihan Presiden Amerika Serikat.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.