Maret Kelabu: Aksi Terorisme dalam Pemberitaan Media

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
9 min readApr 6, 2021

Indonesia dikejutkan dengan berita pengeboman Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3) lalu. Sebuah bom bunuh diri meledak di gerbang gereja, menewaskan dua orang pelaku dan membuat beberapa korban luka-luka. Tak lama berselang, publik kembali digemparkan dengan penangkapan empat orang terduga teroris di Condet Jakarta Timur, dan Bekasi Jawa Barat pada Senin (29/3). Terakhir, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) tidak luput dari serangan teror saat seorang perempuan masuk ke kompleks Mabes Polri lalu melepaskan enam tembakan sebelum ditembak mati oleh aparat.

Rangkaian Aksi Teror

Bom bunuh diri di Katedral Makassar terjadi saat upacara Minggu Palma, awal dari perayaan Pekan Suci. Pekan Suci atau Minggu Sengsara merupakan rangkaian satu minggu menjelang Paskah untuk merayakan wafatnya Isa Almasih dan kebangkitan Yesus. Rangkaian pekan suci dimulai dari Minggu Palma, Kamis, Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Pelaku teroris tampaknya mengincar momen tersebut sebelum melancarkan aksinya.

Pelaku bom bunuh diri di Makassar diketahui berinisial L dan YSF adalah pasangan suami istri yang baru menikah 7 bulan lalu. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan para pelaku diduga merupakan bagian dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Terpisah, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol E. Zulfan memastikan bahwa para pelaku juga terlibat dalam insiden pengeboman di Gereja Katedral Our Lady of Mount Carmel di Jolo Filipina pada 27 Januari 2019.

Sementara itu, dalam penangkapan teroris di Condet dan Bekasi, polisi menemukan barang bukti berupa lima bom sumbu aktif yang siap digunakan. Polisi juga menemukan atribut Front Pembela Islam (FPI) berupa baju dan buku berjudul “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” karangan Habib Rizieq Shihab, mantan ketua FPI. Adapun empat orang yang ditangkap polisi itu berinisial ZA, BS, AJ, dan HH. Ketiga tersangka mengetahui cara pembuatan bom dari HH yang berperan donatur dan membuat rencana teknis pembuatan bom menurut keterangan polisi.

Insiden terakhir terjadi pada Rabu (31/3). Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjelaskan, pelaku ZA masuk ke Kompleks Mabes Polri lewat pintu belakang. Akses itu biasa digunakan masyarakat yang hendak masuk ke Kompleks Mabes Polri. Pelaku sempat bertanya lokasi kantor pos, lalu diarahkan oleh petugas. Setelah dari kantor pos, pelaku kemudian kembali ke pos penjagaan, lalu menyerang polisi yang bertugas. Lokasi pos tersebut dekat dengan Gedung Rupatama, di mana Kapolri berkantor. Menurut Kapolri, pelaku saat itu menembak sebanyak enam kali. Polisi kemudian menembak mati pelaku.

Apakah rangkaian aksi bom bunuh diri di Makassar dan dua kejadian di Jakarta dan Bekasi saling berkaitan? Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebut ada benang merah kesamaan pemahaman ideologi antara bom bunuh diri di Makassar dengan penyerangan di Mabes Polri. Namun, polisi masih mendalami dugaan korelasi antara jaringan Condet-Bekasi dengan bom bunuh diri di Makassar.

Jaringan Teroris di Indonesia

Setelah lama dalam mode tidur, kelompok teroris kembali melancarkan aksinya sepanjang pekan lalu. Sebagaimana dilansir cnnindonesia.com, Public Virtue Research Institute merilis daftar aksi teror berupa ledakan yang terjadi di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Tercatat ada Sembilan kasus bom, yakni Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), Bom Ritz Carlton (2009), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Mapolresta Solo (2016), Bom Kampung Melayu (2017), serta Bom Surabaya dan Sidoarjo (2018).

Rentetan aksi terorisme tersebut seolah menyadarkan kita bahwa ancaman-ancaman serupa selalu ada meskipun pihak yang disebut “teroris” acapkali ditangkap pihak kepolisian. Seiring waktu, target ancaman berubah dan semakin melebar. Eks terpidana teroris asal Medan, Khairul Ghazali mengamini ada perubahan pola penyerangan oleh para pelaku bom bunuh diri terutama dalam lima tahun terakhir. Mereka mulai menjadikan rumah ibadah dan kantor kepolisian sebagai target, berbeda dengan target teror di awal 2000an, saat target para jihadis adalah kedutaan besar dan tempat yang dianggap sumber maksiat.

Dua pelaku bom bunuh diri di Makassar memang terafiliasi ke Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi yang menurut Khairul menginduk ke ISIS. Aksi terror di Mabes Polri juga ditengarai menjadi serangan oleh pengikut JAD. Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menduga aksi semacam ini memicu efek domino alias menginspirasi pengikut jaringan teroris lain melakukan serangan serupa. Habib menyebut pola serangan sporadis, tak terstruktur, tanpa rencana matang, dan beberapa kali melibatkan perempuan seperti itu memang menjadi pola serangan yang digunakan kelompok JAD.

Dua Mata Pisau Pemberitaan Terorisme

Membicarakan media dan terorisme memang menarik karena keduanya memiliki keterkaitan yang bisa dikatakan saling menguntungkan. Dalam tulisan Adam W. Sukarno, peneliti Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang mengutip Sanjeev Kumar Sharma menyebut media sebagai penyalur informasi publik sekaligus alat dari teroris untuk menyebarkan ketakutan. Media massa memperlakukan berita terorisme sebagai komoditas informasi, terlebih lagi berita yang sensasional mendapat ruang di media dan atensi publik. Sedangkan kelompok penebar teror memanfaatkan eksposur media massa sebagai alat untuk menunjukkan eksistensi, apalagi bagi kelompok teroris yang sadar pentingnya publikasi semacam ini.

Lalu bagaimana wajah media kita dalam memberitakan isu terorisme? Penelitian yang dilakukan oleh Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bengkulu Ayu Wardani menyebutkan bahwa pemberitaan media tentang terorisme masih berkutat kepada aksi radikal yang dilakukan teroris, kemarahan korban dan keluarga korban serta implikasi yang timbul pasca terjadinya aksi teror. Media massa dapat menjadi sarana pendukung aksi teror, seperti pemberitaan mengenai ideologi dan cita-cita para teroris dapat melancarkan tujuan teroris dalam melaksanakan aksinya. Hal inilah yang sebelumnya diutarakan Ridlwan Habib bahwa tindakan teroris yang terekspos media bisa memunculkan efek domino dan menginspirasi teroris lain untuk melakukan hal serupa di tempat yang berbeda.

Masih menurut Adam, salah satu persoalan mendasar terkait jurnalisme berita adalah kebenaran dan objektivitas. Untuk menggali kebenaran dalam berita terorisme adalah hal yang sulit mengingat jaringan teroris di Indonesia tertutup dan terputus dengan orang di luar jaringannya. Hal itu berpengaruh pada keseimbangan narasumber berita karena sulitnya akses untuk berinteraksi dengan jaringan teroris dan kebanyakan terduga teroris sudah dalam keadaan meninggal dunia pasca kejadian. Akibatnya, unsur keseimbangan sulit dipenuhi karena narasumber didominasi oleh negara melalui aparat kepolisian dan intelijen. Pada akhirnya, arus utama informasi yang dijadikan patokan oleh media datang dari pihak kepolisian melalui konferensi pers dan siaran elektronik seperti contoh berita dari cnnindonesia.com berjudul “Polri: Ada Pihak Sebut Bom Makassar — Serangan Mabes Rekayasa” ataupun berita dari BBC Indonesia berjudul “Penembakan Mabes Polri: ‘Terduga teroris berideologi ISIS’, polisi ungkap identitas perempuan 25 tahun pelaku serangan.”

Kami menduga, dengan sulitnya akses informasi menuju jaringan teroris dan penguasaan tunggal arus informasi utama dari negara membuat media lebih banyak memberitakan peristiwa terorisme tanpa investigasi mendalam. Media memilih bermain aman dengan memberitakan fase kronologis dan implikasi peristiwa seperti penangkapan tersangka lain, langkah pengamanan dari aparat, dan mengutip tanggapan dari tokoh masyarakat. Salah satu pernyataan menarik yang dikutip media dalam kasus bom bunuh diri di Makassar adalah pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Said menyebut pelaku teror melakukan aksinya lantaran ingin cepat mati dan bertemu bidadari. Sebuah statement yang juga banyak beredar di kalangan masyarakat.

Lantas bagaimana media seharusnya memberitakan terorisme? Menurut Adam, idealnya, institusi media massa berani bergerak dalam area yang lebih dalam untuk mengungkap realitas terorisme. Salah satu cara yang dapat dipergunakan adalah menggunakan format investigative report. Metode ini dapat mendorong pengungkapan fakta yang lebih komprehensif sehingga isu terorisme dapat dimaknai secara proporsional.

Berita Human Interest

Menariknya, pemberitaan human interest tentang sisi lain dari pelaku teror dan keluarganya serta aksi-aksi heroik korban juga kerapkali dijadikan bahan berita. Dari sisi pelaku, pemberitaan adanya surat wasiat, perilaku sehari-hari pelaku di mata tetangga, dan kondisi keluarga pasca kejadian adalah sisi lain yang banyak dipublikasikan.

Dalam peristiwa bom bunuh diri di Makassar, kami mencatat beberapa kisah human interest seperti aksi penyelamatan oleh penjaga parkir gereja dalam menghalau pelaku bom bunuh diri memasuki kawasan gereja. Kisah itu mengundang simpati publik, termasuk apresiasi dari Kapolri yang menjenguknya langsung di rumah sakit pasca kejadian. Beberapa contoh berita yang mengangkat isu tersebut diantaranya dari tribunnews.com berjudul “Aksi Heroik Satpam Sesaat Sebelum Terjadinya Bom di Gereja Katedral,” atau berita dari pantau.com berjudul “Pelaku Bom Bunuh Diri Tinggalkan Wasiat untuk Orang Tua: Siap untuk Mati Sahid.”

Berita serupa yang mengisahkan pelaku teror dari sudut pandang human interest juga ditemui dalam kasus penyerangan Mabes Polri, seperti berita dari ijn.co.id berjudul “Pengakuan Tetangga Zakiah Aini: Anaknya Kurang Bergaul.” Bahkan ditemukan juga pemberitaan yang kurang memuat esensi peristiwa seperti yang diberitakan pantau.com berjudul “Ayah Zakiah Aini Akhirnya Keluar Rumah dan Ucapkan Kalimat Ini Tanpa Menjawab Pertanyaan Wartawan.”

Posisi media memang serba salah, di tengah sulitnya mendapat sumber langsung, maka pengangkatan berita bertema human interest menjadi jalan alternatif. Kisah heroik sekuriti gereja di Makassar yang berupaya menggagalkan upaya pengeboman bisa dijadikan contoh dalam kampanye anti terorisme. Sementara itu, pemberitaan human interest dari sisi pelaku biasanya bernada negatif seperti kesedihan keluarga yang ditinggalkan pelaku karena melakukan hal sia-sia.

Pantauan Media

Menggunakan platform Newstensity kami mencari berita terkait isu terorisme. Sepanjang pekan kemarin sejak berita bom bunuh diri di Makassar keluar, angka pemberitaan terkait terorisme memang sangat tinggi, yaitu mencapai 27.304 berita. Diawali dengan isu bom bunuh diri di Makassar, lalu berlanjut dengan berita penangkapan teroris di Condet dan Bekasi, kemudian berita penyerangan di Mabes Polri. Data yang terangkum dipilah kembali dan terbagi dalam tiga kategori besar; kronologi peristiwa, implikasi peristiwa, dan human interest.

Sumber: Newstensity

Tampak dalam chart diatas, berita terorisme mulai muncul pada Minggu (28/3) setelah kejadian bom bunuh diri di Makassar. Berdasarkan pantauan kami, puncak berita terjadi pada hari yang sama dengan total 7,467 berita yang tersebar di media cetak, media daring, dan televisi. Jumlah berita terus menurun meski sejumlah peristiwa terorisme masih terjadi sepanjang pekan lalu.

Spektrum pemberitaan terorisme tersebar hampir merata ke seluruh Indonesia. Tampak dalam gambar berikut Makassar dan Jakarta yang menjadi tempat kejadian perkara mendapat eksposur yang paling banyak dari media.

Sumber: Newstensity

Isu pemberitaan terorisme ini didominasi oleh sentiment negatif dengan rata-rata sentimen negatif mencapai 70 persen di setiap tipe media. Sentimen negatif dijumpai pada berita aksi terorisme dan berita yang berisi kecaman terhadap aksi ini, seperti yang diberitakan cnnindonesia.com berjudul “Hujan Kecaman dan Solidaritas Lawan Bom Katedral Makassar.”

Sumber: Newstensity

Adapun berita dengan sentimen netral banyak diisi berita ajakan untuk tetap tenang dan penjabaran tentang terorisme oleh lembaga maupun tokoh. Berita dengan sentimen netral diantaranya diberitakan oleh inews.id berjudul “BNPT: Radikalisme Fase Menuju Terorisme.”

Meski didominasi pemberitaan negatif, isu terorisme masih mendapat beberapa sentimen positif. Biasanya berita yang berkaitan dengan aksi heroik oleh seseorang, upaya penenangan dari tokoh masyarakat, dan respon cepat kepolisian dalam meningkatkan keamanan. Contoh berita positif seperti yang disajikan viva.co.id berjudul “Menag ke Jemaat Gereja Katedral Makassar: Beribadalah Seperti Biasa” yang meminta jemaat Gereja Katedral Makassar tetap tenang dan beribadah seperti biasa. Ada juga berita tentang aksi heroik sekuriti gereja dari detik.com berjudul “Kisah Heroik Kosmas yang Berani Hadang Bomber Bunuh Diri.”

Adapun figur yang paling banyak disebut dalam isu-isu terorisme ini adalah Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo yang mendominasi hingga 57 persen, diikuti oleh Zakiah Aini, perempuan yang tewas dalam serangan di Mabes Polri, dan terakhir Presiden Joko Widodo.

Sumber: Newstensity

Respon Publik

Kami juga mengamati respon publik di media sosial Twitter. Dengan Socindex kami menggunakan kata kunci “bom Makassar”, “Mabes Polri diserang”, “teroris Condet”, dan “Zakiah Aini” yang merepresentasikan tiga peristiwa terorisme sepanjang pekan kemarin.

Hasilnya, puncak percakapan di Twitter terjadi di hari Minggu (28/3) saat bom Makassar terjadi, lalu terus menurun hingga meningkat kembali saat terjadi serangan di Mabes Polri. Peristiwa penangkapan tersangka terorisme di Condet dan Bekasi tidak terlalu banyak mengundang perhatian warganet.

Sumber: Socindex

Beberapa unggahan warganet tentang terorisme banyak diisi potongan berita mainstream dan sebagian menyajikan analisis terkait terorisme. Seperti akun milik Ahmad Khadafi yang menyajikan analisis singkat tentang kemiripan aksi bom bunuh diri di Makassar dan serangan di Mabes Polri. Dalam unggahannya Khadafi menekankan bahwa bom di Makassar dan serangan Mabes Polri saling terkait. Bagi sebagian orang, tindakan seorang diri menyerang Mabes Polri mungkin dianggap bodoh, tapi poin utamanya adalah: mengirim pesan.

Sumber: Twitter Ahmad Khadafi

Sementara itu tokoh publik seperti Menko Polhukam Mahfud MD juga menenangkan masyarakat melalui akun Twitternya.

Sumber: Twitter Mahfud MD

Epilog

Menyajikan berita memang sudah menjadi tugas media, termasuk kebebasan memilih apa yang mau disampaikan kepada masyarakat. Menyampaikan informasi berita terorisme bak pedang bermata dua, antara memenuhi penyampaian informasi pada publik tetapi juga bisa dimanfaatkan teroris untuk menunjukkan eksistensi mereka. Namun, sulitnya akses ke dalam jaringan terorisme dan dominasi arus informasi oleh negara menyulitkan media menyuguhkan berita yang mendalam tentang terorisme di Indonesia.

Meski begitu, pemberitaan terorisme bisa menjadi bahan bagi media untuk mendapatkan lebih banyak pembaca dan menjalankan fungsinya untuk memfilter informasi tidak benar yang menguntungkan teroris.

--

--