Masa Depanku di Kelabunya Jakartaku

Jenna Nadia Rasbi
Binokular
Published in
9 min readAug 16, 2023

Masyarakat kembali diresahkan oleh kualitas udara di Jakarta yang semakin memburuk. Hal ini ditandai dari semakin tebalnya polusi udara selama tiga bulan terakhir yang mengakibatkan terbentuknya kabut tebal. Keberadaan kabut tebal ini sangat mengkhawatirkan karena mengakibatkan penurunan jarak pandang. Hal ini dibenarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta yang juga membeberkan penyebab kualitas udara di Jakarta yang tidak sehat.

“Kualitas udara selain dipengaruhi oleh sumber emisi di mana pada kondisi pasca COVID, saat ini aktivitas manusia yang menghasilkan emisi kembali meningkat,” kata Kepala Dinas LH DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam keterangannya bulan Juni lalu (8/6).

Menurut Asep, faktor iklim juga memengaruhi kualitas udara saat ini. Polusi udara di Jakarta cenderung memburuk saat musim kemarau yang mulai berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus. Konsentrasi polutan udara cenderung meningkat melihat sangat minimnya curah hujan. Hal ini tercatat dalam laporan riset Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bertajuk Sumber Utama Polusi Udara di DKI Jakarta.

Grafik 1. Perbandingan Konsentrasi Rata — rata Polusi di Jakarta di Musim Hujan dan Kemarau (Sumber: databoks dilansir katadata.coid)

Buruknya kualitas udara Jakarta dinilai dapat berkurang ketika memasuki musim penghujan di bulan September mendatang, dikarenakan curah hujan dapat membantu peluruhan polutan yang melayang di udara.

Faktor lain penyebab memburuknya polusi di Jakarta adalah banyaknya industry. Sektor industri menjadi penyumbang polusi terbesar di Jakarta sebesar 61,96% dengan menghasilkan gas S02. Sementara sumber polutan lainnya seperti NOX, CO, PM10 dan PM2,5 sebagian berasal dari sektor transportasi.

Dampak Kesehatan dari Polusi Udara

Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta menyebutkan jika tidak semua kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Ibu Kota disebabkan sepenuhnya oleh polusi udara. Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengutarakan jika penyebab utama kasus ISPA adalah kondisi pancaroba atau perubahan iklim. Kendati demikian, buruknya kualitas udara di Jakarta dan daerah sekitarnya tetap memberikan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Di lain pihak, salah satu dokter spesialis paru, Agus Dwi Susanto, menjelaskan jika pada kasus ISPA, pada umumnya pasien dapat disembuhkan dalam jangka pendek. Namun, polusi udara justru dapat mengakibatkan penyakit kronis atau tidak menular yang membutuhkan proses pemulihan jangka panjang seperti radang paru dan asma.

Mengutip data WHO, Agus menyebutkan sebanyak 7 juta orang meninggal karena polusi udara dan sebesar 47% di antaranya disebabkan oleh masalah paru — paru. Selain itu, polusi udara juga dapat memicu kanker paru — paru. Tercatat sebanyak 3–5% kasus kanker paru disebabkan oleh paparan polutan, salah satunya adalah PM2,5 yang sangat berbahaya. Tidak hanya itu, polutan — polutan tersebut dapat memicu penyakit sirkulasi darah seperti hipertensi dan gangguan jantung.

“Toksisitas langsung dari polutan bisa memicu peradangan, hingga mengembangkan sel kanker,” ujar Agus seperti dilansir cnnindonesia.com.

KLHK Dorong Razia Uji Emisi Kendaraan

Pada hari Selasa pagi (15/08), Jakarta menempati posisi ke-3 tertinggi sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia.

Grafik 2. Ranking kualitas udara di kota Indonesia. (Sumber: IQAir https://www.iqair.com/id/indonesia/jakarta)

Berdasarkan situs pemantauan udara IQAir (Index Quality Air), Jakarta mendapatkan skor 162 dan masuk ke kategori tidak sehat atau unhealthy. Angka ini jauh dari kategori udara sehat yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memaparkan jika penyebab utama polusi udara di Jakarta adalah emisi kendaraan. Oleh karena itu, dalam upaya mengurangi polusi udara di Jakarta ini, Menteri Siti berencana menetapkan razia uji emisi kendaraan bermotor. Razia ini akan dimulai dari DKI Jakarta dan wilayah Jabodetabek. Menurutnya, total kendaraan di DKI Jakarta mencapai 24,5 juta pada tahun 2022 dan presentasi kendaraan yang telah lolos uji emisi baru mencapai 10%. Di Jakarta Pusat, total kendaraan yang telah melakukan uji emisi hanya 3,86%, sedangkan di Jakarta Utara sekitar 10, 69%.

Dalam rencana kebijakan ini, tidak hanya masyarakat, jajaran kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, wajib memberlakukan uji emisi bagi kendaraan bermotor yang tergolong sebagai fasilitas perkantoran. Siti juga ingin memasukkan persyaratan lulus uji emisi ini sebagai syarat perpanjangan STNK dan pembayaran pajak kendaraan.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Sigit Reliantoro juga memaparkan hal serupa dalam media briefing di Arboretum Ir. Lukito Daryadi, Jakarta, Minggu lalu (13/08). Sigit mengutarakan jika berdasarkan hasil inventarisasi beberapa kajian, sumber pencemaran udara DKI didominasi dari sektor transportasi (44%), diikuti oleh sektor industri (31%), manufaktur (10%), perumahan (14%), dan komersial (1%).

Sigit menjabarkan, menurut kajian ahli dari Prof.Puji Lestari Ph.D, Jawa adalah fokus utama perbenahan karena memiliki potensi tinggi untuk pencemaran udara. Selain pengadaan uji emisi berkala, khusus untuk wilayah DKI Jakarta, lembaga Vital Strategis memberikan beberapa rekomendasi, yaitu pengadaan kendaraan operasional listrik, pengadaan bus listrik untuk Transjakarta non-mikro, peralihan ke angkutan umum, konversi ke kompor listrik, pengendalian debu konstruksi, dan pelarangan pembakaran sampah terbuka. Menanggapi masukan ini, Sigit mengatakan langkah tersebut sebenarnya sudah dijalankan dan Gubernur sudah berkomitmen akan menambah 100 kendaraan transjakarta elektrik.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga berencana merevisi kebijakan 3 in 1 untuk kembali menerapkannya menjadi 4 in 1 sebagai upaya pemerintah mengurangi polusi di DKI Jakarta. Artinya, setiap mobil yang berkendara di Jakarta wajib memiliki 4 penumpang termasuk sopir. Menteri Budi berharap kebijakan tersebut dapat mengurangi jumlah mobil di Jakarta, khususnya warga yang berasal dari kota penyangga DKI Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Sebelumnya, kebijakan 3 in 1 ini pernah diterapkan di Jakarta tetapi telah dihapuskan pada Mei 2016. Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menerapkan penerapan plat nomor ganjil-genap untuk sejumlah jalan di Jakarta.

Hybrid Working sebagai Solusi

Terkait krisis polusi udara di kawasan Jabodetabek, Presiden Joko Widodo memanggil jajaran menterinya hingga PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin lalu (14/08). Ia memberikan arahan jangka pendek maupun panjang untuk meningkatkan kualitas udara, salah satunya dengan hybrid working hingga mengaktifkan kembali work from home (WFH).

Sebagai upaya jangka pendek, Jokowi mengungkapkan akan melakukan intervensi langsung seperti rekayasa cuaca dengan memancing hujan, menerapkan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi, hingga penambahan ruang terbuka hijau.

Jika diperlukan, Jokowi mendorong pemerintah untuk berani melaksanakan pembagian jam kerja seperti hybrid working.

“Jika diperlukan kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working. Work from office, work from home mungkin (WFH) saya nggak tahu nanti dari kesepakatan di rapat terbatas ini apakah (Jam) 7–5 2–5 atau angka yang lain,” kata Jokowi dalam rapat terbatas tersebut.

Sedangkan untuk jangka menengah, Presiden Jokowi mendorong untuk lebih konsisten menerapkan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan segera berpindah ke transportasi massal. Jokowi berharap dengan adanya MRT yang telah beroperasi dan juga LRT yang akan segera diresmikan, masyarakat dapat lebih memilih bepergian menggunakan kendaraan umum dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.

“Dalam jangka menengah konsisten menerapkan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan segera beralih ke transportasi massal. Saya kira bulan ini LRT segera dioperasionalkan, MRT juga sudah beroperasi, kemudian kereta cepat bulan depan,” ujarnya.

Untuk solusi jangka Panjang, Jokowi memberikan arahan kepada para Menteri untuk melakukan pengawasan terhadap sektor industri dan pembangkit listrik di Kawasan Jabodetabek.

Menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi tersebut, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan pihaknya akan menerapkan kebijakan work from home atau hybrid working untuk mengurangi polusi udara di Ibu Kota mulai September.

“Kayak work from home. Ini sebentar lagi sedang dihitung berapa persentasenya setiap OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Mudah-mudahan September ini saya bisa langsung jalanin,” kata Heru pada jumpa pers di Kantor Presiden pada Senin (14/8).

Heru menegaskan, kebijakan bekerja di rumah ini bersifat wajib bagi pegawai lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Namun, bagi pegawai yang memiliki tugas dan tanggung jawab melayani masyarakat secara langsung agar tetap bekerja dari kantor.

Kebijakan tersebut juga merupakan imbauan bagi sektor swasta. Ia berharap sektor swasta turut menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Heru juga telah berkomunikasi dengan para pengusaha terkait kebijakan bekerja dari rumah ini. Menurutnya, beberapa perusahaan telah menerapkan kebijakan tersebut.

Pantauan Media

Isu tentang polusi udara di wilayah DKI Jakarta ini ramai diperbincangkan oleh warga Twitter. Topik ini juga menjadi trending selama beberapa waktu terakhir di platform sosial media tersebut. Berdasarkan pantauan Socindex, selama periode 8–15 Agustus 2023, terdapat 6.688 percakapan yang membicarakan polusi udara Jakarta. Percakapan tersebut menghasilkan sebanyak 37.182 engagement (post+reply+applause). Ada sekitar 889 akun yang terlibat dalam perbincangan topik tersebut. Isu ini juga menjadi perbincangan di linimasa dan berpotensi mendapat buzz reach ke sebanyak 124,4 juta akun.

Grafik 3. Statistik Twitter terkait Polusi Udara Jakarta periode 8–15 Agustus 2023. (Sumber: Socindex)

Perbincangan terkait tidak sehatnya udara Jakarta ini kembali mencuat dalam beberapa bulan belakangan dan semakin memuncak di bulan Agustus.

Grafik 4. Linimasa Engagement Twitter terkait Polusi Udara Jakarta Periode 8–15 Agustus 2023. (Sumber: Socindex)

Percakapan sempat menurun di tanggal 9 hingga 11 Agustus, akan tetapi kembali memuncak di tanggal 12 Agustus 2023.

Pada tanggal 8 Agustus 2023, akun Leonardo Edwin @leo_edw mengunggah foto kondisi langit Karawang dari dalam pesawat yang dinaikinya saat akan landing di Bandara Cengkareng. Terlihat asap pekat menyerupai kabut pekat yang tertiup ke arah Barat. Cuitan Edwin ini mendapat respons berupa likes sebanyak 8.610 likes. @leo_edw adalah seorang seorang Social Media Influencer yang memiliki followers 579.700 akun.

Gambar 1. Tangkapan Layar Akun Twitter @leo_edw (Sumber: Twitter).

Perbincangan kembali ramai ketika akun @GreenpeaceID mengunggah potret udara buruk Jakarta yang memberikan dampak negatif di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Terpantau sebanyak 63 warga menderita gatal-gatal akibat polusi udara dan debu batubara selama beberapa bulan terakhir.

Gambar 2. Tangkapan Layar Akun Twitter @GreenpeaceID (Sumber: Twitter).

Unggahan ini memantik respons yang lebih banyak dari masyarakat dan diunggah ulang (repost) oleh sebanyak 3.108 akun.

Grafik 5. Linimasa Sentimen Twitter terkait Polusi Udara Jakarta periode 8–15 Agustus 2023 (Sumber: Socindex).

Apabila dilihat dari segi sentimen, percakapan terkait isu polusi udara di Jakarta dalam periode 8–15 Agustus 2023 didominasi dengan sentimen netral sebanyak 4.821 percakapan atau 72% dari total 6.688 percakapan. Diikuti oleh sentimen negatif sebanyak 1.729 percakapan atau 26%.

Gambar 3. Top Likes Twitter terkait Polusi Udara Jakarta periode 8–15 Agustus 2023 (Sumber: Socindex)

Akun @leo_edw, @GreenpeaceID, @tanyarlfes, dan @AnggaPutraF menjadi top likes atau mendapat jumlah likes terbanyak selama periode 8–15 Agustus 2023. Unggahan dari keempat akun Twitter ini cenderung menyampaikan sentimen netral terkait isu polusi udara di DKI Jakarta.

Selain di Twitter, perbincangan terkait polusi udara di Jakarta juga diberitakan di media massa. Berdasarkan pantauan Newstensity, pada tanggal 8–15 Agustus 2023, terdapat toal 1.021 berita yang membahas polusi udara Jakarta. Isu ini kembali naik dari tanggal 14–15 Agustus melihat kategori kualitas udara Jakarta yang semakin memburuk dan dinilai tidak sehat (unhealthy) dengan PM2.5 sebagai kontributor polutan utama.

Grafik 6. Linimasa Pemberitaan terkait Polusi Udara Jakarta periode 8–15 Agustus 2023. (Sumber: Newstensity).
Grafik 7. Analisis Sentimen terkait Polusi Udara Jakarta Periode 8–15 Agustus 2023. (Sumber: Newstensity).

Berbeda dengan media sosial, pemberitaan terkait isu polusi udara di seluruh kategori media massa selama periode 8–15 Agustus 2023 banyak menunjukkan pemberitaan dengan sentimen negatif dengan total pemberitaan sebanyak 683 berita atau 67%. Sedangkan pemberitaan dengan sentiment positif terdapat sebanyak 281 berita yang didominasi dengan pemberitaan strategi yang akan diterapkan pemerintah untuk mengatasi kualitas udara di Jakarta yang semakin memburuk. Salah satu usaha yang akan dilakukan adalah penerapan working from home atau hybrid working baik di instansi pemerintah maupun di perusahaan swasta.

Dari analisis world cloud di Newstensity, muncul kata “Jakarta”, “polusi”, “udara”, dan “Jokowi” yang mengindikasikan isu kualitas udara di Jakarta memang menjadi topik yang ramai diperbincangkan selama periode 8–15 Agustus 2023.

Grafik 8. Analisis World Cloud terkait Polusi Udara Jakarta Periode 8–15 Agustus 2023. (Sumber: Newstensity).

Epilog

Kualitas udara DKI Jakarta yang semakin memburuk usai pandemi Covid-19 menjadi isu yang harus kembali diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Saat ini, masyarakat hanya dapat berharap dari strategi yang telah disiapkan Pemerintah baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Rencana penerapan working from home, uji emisi rutin, dan peningkatan layanan transportasi publik diharapkan dapat memberikan dampak pada perbaikan kualitas udara di wilayah Jakarta dan kota penyangga sekitarnya. Di luar itu, pemerintah harus menerapkan solusi yang bersifat jangka panjang, untuk mengatasi pemburukan kualitas udara, yang bisa berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat.

--

--