Mata Sipil Civil Society Watch Memata-matai Organisasi Sipil Lain

Indra Buwana
Binokular
Published in
6 min readJun 9, 2021
Kelompok sipil yang mengawasi kelompok sipil lain?

Tak dinyana kehidupan berdemokrasi di Indonesia menjadi semakin berwarna. Ade Armando, Dosen Komunikasi Universitas Indonesia, membentuk sebuah organisasi masyarakat sipil yang tujuannya adalah mengawasi organisasi masyarakat sipil lainnya. Ade menyebut organisasi debutannya sebagai Civil Society Watch (CSW). Ade umumkan keberadaan organisasi itu melalui akun Twitter pribadinya tanggal 6 Juni 2021.

Klaim atas CSW dalam cuitan Ade Armando mulia sekali; membantu menjaga agar kelompok-kelompok LSM, media massa, dan organisasi masyarakat menjadi kekuatan yang sehat dalam demokrasi. Kurang baik apa coba CSW mau meluangkan waktu dan tenaganya untuk membelalakkan mata soal Indonesia Corruption Watch yang mencak-mencak gara-gara ada anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kena pecat perkara tes wawasan kebangsaan?

Dalam wawancaranya dengan Tempo.co, Ade menjelaskan bahwa beberapa anggota CSW merupakan orang-orang yang sudah terlibat di Cokro TV. Cokro TV sendiri adalah kanal multiplatform di YouTube, Twitter, dan Instagram yang membicarakan berbagai topik terhangat di Indonesia, dengan perspektif Pancasilais tentunya.

“Negara perlu dikontrol, pemerintah perlu dikontrol, tapi kelompok-kelompok masyarakat juga perlu dikontrol,” ujar Ade membeberkan alasannya lebih lanjut. Ia menilai bahwa diperlukan masyarakat sipil yang memiliki integritas, kritis, dan kuat. Sikap itu penting untuk mencegah pemanfaatan masyarakat sipil oleh kepentingan kelompok tertentu, terutama kepentingan pemodal dan kelompok politik.

Ade menjelaskan bahwa CSW berikhtiar untuk mengawasi aksi kelompok sipil yang merugikan masyarakat, seperti pengancaman, pemerasan, dan pemberitaan yang tidak berimbang. Ia pun membantah tentang isu apakah CSW akan menjadi mata-mata pemerintah untuk mengadukan pihak-pihak yang melontarkan kritik terhadap rezim. Bisa dipegang kah omongannya?

Nirurgensi Civil Society Watch

Saya sebenarnya masih heran mengapa CSW dibentuk. CSW seakan ingin mengisi celah yang ditinggalkan penguasa untuk mengawasi rakyatnya. Meskipun celah itu ada, tapi sempit dan di ambang batas mengancam kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sudah menjadi kerangka yang mengatur kehidupan ormas dan perkumpulan di Indonesia. Sanksi yang berupa peringatan hingga pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum bisa diberlakukan kepada ormas yang melanggar.

Dan apakah perlu saya ingatkan juga bahwa kepolisian telah memperluas patrolinya ke media sosial melalui polisi siber? Polisi siber bertujuan mengamankan ruang siber nasional dari berbagai ancaman kejahatan. Poin pentingnya, kepolisian memiliki sumber daya untuk melakukan hal tersebut. CSW? Belum tentu.

CSW pun dibentuk saat ekosistem demokrasi sedang mleyot. Laporan Indeks Demokrasi Tahun 2020 yang dipublikasikan The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia di posisi 64, posisi yang sama seperti tahun 2019. Namun, skor Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 menjadi yang terburuk sejak tahun 2006.

Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun mengancam kehidupan demokrasi Indonesia. UU ITE bisa digunakan untuk menjerat pengkritik dengan dalih melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik di media sosial. Sudah ada warga sipil yang diseret ke meja hijau perkara kritik menggunakan UU ITE. Beberapa kasus tersebut melibatkan pejabat yang melaporkan pengkritiknya ke pihak kepolisian.

Aktivis pun pernah menjadi target tangkapan akibat kritik. Misalnya kasus penangkapan peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi Ravio Patra yang disinyalir terkait cuitannya soal Billy Mambrasar, salah seorang staf khusus milenial Joko Widodo, karena keterkaitannya dengan proyek pemerintah di Papua.

Belakangan pun muncul teror peretasan kepada gawai pegiat anti korupsi. Gawai mereka diretas akibat vokal mengkritik tes wawasan kebangsaan yang menyebabkan 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat alih status sebagai pegawai negeri sipil. Peretasan juga terjadi di akun Instagram rumah produksi Watchdoc terkait pemutaran film dokumenter “KPK End Game”. Film “KPK End Game” sendiri menceritakan tentang upaya penggembosan KPK dengan dalih tes wawasan kebangsaan.

Beberapa alasan di atas saya rasa cukup untuk menyatakan bahwa pembentukan CSW sebenarnya tidak memiliki urgensi penting. Lagipula, CSW mau tidak mau juga termasuk ke dalam kategori organisasi masyarakat sipil. Sudah sepantasnya langkah pengawasan CSW diarahkan ke pemerintah yang memegang alat kekuasaan. Bukan kepada masyarakat yang menjadi subjek pengaruh kekuasaan. Pemerintah lebih rentan untuk menyelewengkan kekuasaannya karena berpotensi untuk membahayakan hajat hidup orang banyak.

Baru Dibentuk Sudah Dicecar

Pengumuman pembentukan CSW di Twitter disambut meriah. Meriah bukan dalam artian positif, tapi meriah dengan nyinyiran di sana sini. CSW dianggap sebagai organisasi cepu oleh warga Twitter yang keberadaannya mengancam malah mengancam demokrasi. Tangkapan layar cuitan dari warga Twitter di bawah ini hanya sebagian dari banyak cuitan yang mencemooh pembentukan CSW.

Pemberitaan CSW di media pun terbilang minim. Hanya ada 22 berita dari tanggal 6–8 Juni 2021. Ini mengindikasikan bahwa CSW bukan isu yang penting-penting amat. Tempo.co menjadi media terbanyak yang meliput isu ini dengan 4 artikel.

Mayoritas sentimen pemberitaan CSW adalah negatif. Ini dikarenakan media turut mengangkat kritikan terhadap pembentukan CSW. Sentimen positif muncul dari artikel yang hanya berfokus pada penjelasan tentang CSW dari Ade Armando.

Dilihat dari tajuknya, pemberitaan mengenai CSW hanya bercabang pada dua subtopik. Subtopik pertama hanya memiliki bahasan utama pembentukan CSW. Ini terkait penjelasan Ade Armando mengenai latar belakang mengapa CSW dibentuk.

Lansiran Detik.com “Ade Armando Bikin Civil Society Watch, Apa Fungsinya?” adalah salah satu artikel yang membahas secara detil pembentukan CSW. Artikel tersebut menampilkan Ade Armando sebagai narasumber tunggal dan mengulik motif Ade Armando secara lebih dalam perihal pembentukan CSW. Artikel Era.id “Alasan Ade Armando Bentuk Civil Society Watch: Masyarakat Sipil Buat Mengawasi Masyarakat Sipil” pun mengambil angle yang sama.

Sedangkan subtopik kedua adalah kritikan terhadap pembentukan CSW yang dilontarkan oleh berbagai pihak. “Ade Armando Bentuk Civil Society Watch, Langsung Dibanjiri Kritik dan Tawa Netizen hingga Aktivis” dari wartakota.tribunnews.com menitikberatkan pada komentar warga Twitter mengenai pengumuman Ade Armando mengenai peresmian CSW.

Penggiat organisasi masyarakat sipil pun urun memberikan pandangannya. Artikel cnnindonesia.com “TII soal Ade Armando Bentuk CSW: Awasi Negara, Bukan Warga” mengikutkan opini peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola. Alvin menyoroti bahwa negara adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia sehingga baiknya CSW mengubah acuan pada akuntabilitas negara.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam artikel tirto.id yang berjudul “Respons Komisioner Komnas HAM perihal Pengawas Masyarakat Sipil” bahkan menggarisbawahi dampak jika ada masyarakat diberi kewenangan pengawasan. Dampak tersebut adalah munculnya kecurigaan antarkelompok masyarakat sipil.

Well, pembentukan CSW memang tidak urgen. CSW pun hanya dilihat sebelah mata oleh banyak kalangan. Meskipun demikian, pembentukan CSW sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil sah-sah saja. Ya karena memang itu hak Ade Armando dan kawan-kawannya untuk menjalankan praktek kebebasan berkumpul. Toh juga CSW tidak melakukan tindakan melawan hukum. Tapi tetap saja ngeselin sih.

--

--