Mengurai Kasak Kusuk Perubahan Aturan Iuran BPJS Kesehatan

Heditia Damanik
Binokular
Published in
8 min readJun 15, 2022

Antrean pendaftaran pasien di Rumah Sakit Santa Elizabeth Kota Batam tidak terlalu panjang siang itu (8/6). Saya dan adik tengah mengurus administrasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) milik ibu kami yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Kala menunggu, saya bilang ke adik, bagaimana kalau kami menaikkan kelas BPJS Kesehatan orang tua kami dari kelas II ke kelas I. Sebelum Januari 2020, keluarga kami menggunakan kelas I yang pada saat itu iurannya masih Rp 80 ribu per orang. Artinya, kami hanya membayar Rp 480 ribu per bulan untuk 6 anggota keluarga.

Namun, di awal tahun 2020, iuran BPJS Kesehatan naik hingga 100 persen. Untuk kelas I naik menjadi Rp 160 ribu per orang. Kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu. Akhirnya, downgrade kelas jadi pilihan karena dana untuk iuran BPJS Kesehatan menjadi membengkak mengingat ada banyak anggota keluarga.

Seperti kita ketahui, BPJS Kesehatan ini wajib hukumnya bagi warga negara Indonesia. Jika ingin mendaftar BPJS Kesehatan, maka seluruh anggota keluarga yang ada di dalam Kartu Keluarga (KK) harus didaftarkan. Pun, jika tidak ada BPJS Kesehatan maka akan sulit untuk mengurus sejumlah layanan administrasi seperti mengurus SIM, STNK, jual beli tanah, hingga naik haji.

Menanggapi usulan saya, si adik bilang tidak perlu naik kelas sebab sebentar lagi BPJS Kesehatan akan menghapus kelas-kelas tersebut. “Semua jadi satu, bayarnya Rp 75 ribu,”ungkapnya saat itu.

Sejak minggu lalu, pemberitaan di media massa terkait penghapusan kelas memang mulai santer. Pemerintah berencana melebur kelas-kelas tersebut dan menjadikannya sebagai kelas rawat inap standar (KRIS). Rencana ini akan diimplementasikan dalam waktu dekat yakni Juli 2022. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) juga telah memulai sosialisasi dan survei kesiapan terhadap anggotanya sejak bulan lalu.

Namun, info soal jumlah iuran menjadi simpang siur. Ada yang bilang Rp 75 ribu, seperti kata adik saya. Akan tetapi, di media massa malah muncul wacana jika jumlah iuran akan ditentukan dengan besaran gaji. Hal ini bukan desas desus tak jelas belaka. Orang dalam BPJS Kesehatan yang mengungkapnya.

Dalam acara Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV yang tayang pada 11 Juni 2022, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan bahwa nantinya iuran BPJS Kesehatan akan disesuaikan seperti peserta penerima upah yakni 5 persen dari total gaji yang dilaporkan. Menurutnya, semakin tinggi gaji seseorang, harusnya iurannya semakin tinggi, agar ada subsidi silang antar-peserta.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri pada 9 Juni 2022. Menurutnya, saat ini besaran iuran sedang dihitung dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial. Salah satu prinsipnya adalah sesuai dengan besar penghasilan.

Ketentuan besaran iuran lima persen dari upah memang sudah berjalan selama ini untuk peserta JKN yang masuk dalam peserta penerima upah baik ASN, TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMN, dan pekerja swasta. Sebanyak 4 persen dibayar oleh perusahaan/negara dan 1 persen dibayar oleh peserta. Sementara untuk pilihan kelas ditentukan oleh BPJS Kesehatan berdasarkan total gaji peserta yang dilaporkan oleh perusahaan. Aturan tersebut diregulasi dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.

Sedangkan untuk peserta mandiri, besaran iuran ditentukan oleh BPJS Kesehatan, di mana jumlahnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Saat pertama kali diresmikan pada 2014, iuran untuk peserta mandiri adalah Rp 59.500 (kelas I), Rp 42.500 (kelas II), dan Rp 25.500 (kelas III). Lalu, hingga Juni 2022, iuran tercatat sebesar Rp 150.000 (kelas I), Rp 100.000 (kelas II), dan Rp 42.000 (kelas III).

Grafik 1. Jumlah Iuran JKN Peserta Mandiri 2014–2022 (sumber: berbagai sumber)

Yang menjadi pertanyaan, apakah peserta mandiri yang memang tidak menerima gaji secara regular dan jumlahnya tidak menentu harus mengikuti formulasi iuran dari peserta penerima upah? Siapa yang bisa menjamin bahwa jumlah gaji yang dilaporkan sesuai dengan kondisi sebenarnya? Wacana ini muncul dengan banyak tanda tanya.

Gayung Tak Bersambut

Keberadaan BPJS Kesehatan harus diakui telah menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik dan lebih mudah diakses untuk banyak orang. Terutama masyarakat kurang mampu maupun mereka yang minim literasi terkait asuransi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya sejak BPJS Kesehatan berdiri pada 2014, jumlah masyarakat yang tercakup dalam asuransi terus meningkat.

Tabel 1. Jumlah Penduduk yang Dicakup Asuransi Kesehatan (Sumber: BPS)

Meski demikian, wacana penyesuaian iuran berdasarkan gaji ini memancing banyak perdebatan publik, terutama di media sosial. Berdasarkan pantauan Infogram Data Lab dengan menggunakan Socindex, kata kunci “BPJS” menuai banyak percakapan di media sosial sejak wacana ini dilontarkan. Monitoring Twitter pada 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB menunjukkan ada 13.835 percakapan yang menyebutkan BPJS. Audiens percakapan ini mencapai 25 juta akun. Percakapan terkait BPJS memiliki buzz reach sebanyak 99,9 juta. Artinya, percakapan ini berpotensi muncul di linimasa 99,9 juta akun.

Grafik 2. Statistik Percakapan terkait BPJS di Twitter pada 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Socindex)

Percakapan viral pada tanggal 12 Juni 2022, atau satu hari setelah pernyataan Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Kompas TV direproduksi media massa.

Grafik 3. Linimasa Percakapan terkait BPJS di Twitter pada 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Socindex)

Percakapan menjadi semakin ramai saat akun-akun penting seperti @msaid_Didu dan akun mention confess atau menfess @worksfess menyinggung wacana ini. Melalui dua akun ini, isu terkait iuran BPJS Kesehatan yang disesuaikan dengan jumlah gaji mulai meramaikan Twitter.

Gambar 1. Tangkapan Layar Akun Twitter @msaid_didu
Gambar 2. Tangkapan Layar Akun Twitter @worksfess

Dari pembersihan data (data cleaning) 13.835 percakapan yang menyebut BPJS, terdapat 635 sampel representatif yang dianalisis. Sebanyak 635 twit ini membahas tentang wacana iuran penyesuaian BPJS Kesehatan yang mengandung kata kunci “iuran” dan “gaji”.

Sentimen dominan yang muncul adalah sentimen negatif hingga 78 persen. Sentimen negatif didominasi dengan penolakan. Asumsi yang muncul dari warganet adalah penyesuaian iuran berdasarkan gaji sama dengan kenaikan iuran.

Sentimen netral menjadi terbanyak kedua dengan 16 persen dengan dominasi twit-twit berita dari akun-akun media massa. Sementara 6 persen sisanya bersentimen positif di mana sejumlah twit mendukung kebijakan BPJS Kesehatan karena menilai keberadaan asuransi sosial ini telah banyak membantu masyarakat.

Grafik 4. Sentimen Percakapan terkait Isu Iuran BPJS Kesehatan Berdasarkan Gaji di Twitter pada 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Socindex)

Sedangkan dari sisi topik, topik terbanyak terkait keberatan akan perubahan formulasi iuran (35 persen). Lalu, pemberitaan (16 persen). Sebanyak 12 persen twit menyindir BPJS Kesehatan menaikkan iuran dan defisit karena gaji pegawainya terlalu besar. Kemudian, 9 persen mengatakan lebih baik pakai asuransi swasta jika iuran menjadi lebih mahal (5 persen dari gaji). Sebanyak 5 persen adalah mereka yang menanyakan kejelasan soal isu ini. Terakhir, 23 persen terkait respons lain-lain.

Grafik 5. Sentimen Percakapan terkait Isu Iuran BPJS Kesehatan Berdasarkan Gaji di Twitter pada 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Socindex)

Di media massa, puncak pemberitaan sudah terjadi lebih dulu dibandingkan media sosial. Berdasarkan pantauan Newstensity pada periode 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB, puncak percakapan terjadi pada 10 Juni 2022 atau sehari setelah Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri berbicara ke media soal wacana penyesuaian iuran.

Grafik 6. Linimasa pemberitaan wacana iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Gaji 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Newstensity)

Sentimen pemberitaan didominasi dengan sentimen positif hingga 72 persen. Alasannya, media lebih banyak memberikan porsi panggung kepada BPJS Kesehatan. Sehingga tidak heran, pemberitaan yang disampaikan memuat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pihak BPJS Kesehatan. Hal ini terlihat juga dari key opinion leader yang termonitor. Mayoritas berasal dari pihak BPJS Kesehatan dan pemerintah (lihat grafik 8).

Grafik 7. Sentimen pemberitaan wacana iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Gaji 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Newstensity)
Grafik 8. KOL pemberitaan wacana iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Gaji 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Newstensity)

Media online masih menjadi media yang paling banyak memberitakan BPJS Kesehatan. Dua aggregator berita Line Today dan headtopic.com menjadi yang terdepan dalam mengedarkan berita dari berbagai media. Lalu kompas.com dan detik.com menjadi media yang paling banyak menuliskan berita terkait BPJS Kesehatan pada 9–13 Juni 2022.

Grafik 9. Top media terkait wacana iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Gaji 9–13 Juni 2022 pukul 9.00 WIB (Sumber: Newstensity)

Keluh Kesah Warganet dan Klarifikasi BPJS Kesehatan

Banyak warganet yang berasumsi bahwa wacana penyesuaian iuran dengan besaran gaji akan membuat nilai iuran BPJS Kesehatan akan naik. Oleh karenanya, sejumlah warganet menilai lebih baik pindah ke asuransi swasta yang dipercaya memberikan servis lebih mantap, baik dari segi pelayanan di rumah sakit maupun jenis obat yang diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa asuransi kesehatan swasta masih tetap diminati meski sudah ada BPJS Kesehatan. Data BPS bahkan menunjukkan jumlah perusahaan asuransi jiwa terus mekar setelah kedatangan BPJS.

Grafik 10. Jumlah Perusahaan Asuransi Jiwa 2010–2021 (Sumber: BPS)

Namun, pindah ke asuransi swasta tidak serta merta bisa membuat masyarakat lepas dari BPJS Kesehatan sebab jaminan sosial ini bersifat wajib. Hal ini yang disesalkan banyak warganet. Khususnya, pekerja yang menerima benefit asuransi kesehatan swasta dari kantor, tapi masih harus dipotong iuran BPJS Kesehatan sebanyak 1 persen dari gaji. Sementara dalam keseharian, asuransi swasta tersebut lebih sering dipakai. Karenanya, banyak yang berharap agar BPJS Kesehatan tidak wajib.

Meski BPJS Kesehatan memiliki iuran lebih rendah dari asuransi swasta, akan tetapi cakupan kepesertaannya sangat luas, yakni hampir seluruh warga negara Indonesia. Artinya dana kelolaannya juga tidak kalah besar dibandingkan asuransi swasta. Oleh karenanya banyak yang mengeluhkan pengelolaan dana oleh BPJS Kesehatan. Menurut sejumlah warganet, alih-alih membebankan ke masyarakat dengan berbagai perubahan aturan iuran, manajemen BPJS Kesehatan harusnya bisa mengatur dana kelolaan agar tidak bolak balik defisit. Pada 2021, BPJS Kesehatan melaporkan defisit sebesar Rp 6,36 triliun. Namun, di awal 2022, BPJS Kesehatan mengungkapkan tidak defisit lagi. Ini yang pertama selama 7 tahun berdiri.

Di sisi lain, manajemen BPJS Kesehatan berharap iuran JKN bisa sama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang disesuaikan dengan pendapatan. Namun, hal tersebut sangat mungkin ditolak oleh masyarakat. Sebab, dana yang dimasukkan ke BPJS Ketenagakerjaan akan kembali ke peserta saat memasuki usia pensiun. Hematnya, membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sama dengan menabung untuk hari tua.

Sementara untuk BPJS Kesehatan, iuran akan raib jika tidak pernah digunakan. Oleh karena itu, banyak yang keberatan jika harus membayar lebih mahal. Apalagi jika sudah memiliki asuransi swasta. Sampai-sampai, ada warganet yang mengusulkan sistem withdraw apabila hingga 10 tahun kartu BPJS Kesehatan tidak digunakan untuk berobat. Sehingga peserta tidak merasa membuang-buang uang.

Atas ramai-ramai isu penyesuaian iuran ini, BPJS Kesehatan memberikan klarifikasi bahwa iuran tidak akan berubah hingga 2024. BPJS Kesehatan memang tengah mengkaji penyesuaian iuran seiring dengan penerapan KRIS. Namun, kebijakan tidak akan keluar dalam waktu mendadak dan pengkajian kebijakan akan dilakukan secara komprehensif. Sehingga masyarakat diminta tidak perlu khawatir.

Epilog

Meski belum ada penjelasan detail dari BPJS Kesehatan terkait wacana iuran berdasarkan gaji, masyarakat berasumsi bahwa dengan penyesuaian berarti iuran akan lebih mahal. Sehingga kritik tidak bisa dihindarkan, terutama di media sosial. Apalagi ada pengenaan pajak penghasilan (PPh) dan harga sejumlah bahan pokok kian merangkak naik. Meski demikian, BPJS Kesehatan sudah menegaskan bahwa hingga 2024 iuran tidak akan naik.

Semoga setiap wacana kebijakan bisa dirumuskan dengan melihat kondisi masyarakat secara holistik sehingga tidak ada kesan negara kian menyusahkan masyarakat. Pun, semoga setiap wacana kebijakan dapat terkomunikasikan dengan seterang-terangnya.

--

--