Menilik Persiapan Jelang Pilkada Serentak 2020

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readDec 8, 2020

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mencoba. Lewat sebuah komik, mereka menyampaikan kepada masyarakat bahwa “setiap suara sangat berarti”. Oleh karena itu, pasien COVID-19 “tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember nanti”.

Caranya bagaimana? Well, pemilih tak perlu repot-repot bangkit dari tempat tidur karena KPU sudah menyiapkan alat pelindung diri (APD) bagi petugas dan saksi. Mereka nantinya bakal terjun ke rumah sakit untuk memastikan para pasien tetap bisa memilih.

KPU mungkin bermaksud baik. Akan tetapi, warganet tidak melihatnya demikian. Mereka menilai langkah KPU tersebut sebagai wujud banal dari ketidakpedulian pemerintah dalam mengurusi pandemi virus corona. Selain terkesan memaksa pasien untuk mencoblos, KPU juga dipandang tidak mengindahkan keselamatan petugas serta saksi yang dikirim ke rumah-rumah sakit.

Sedari awal, desakan untuk menunda Pilkada Serentak 2020 memang sudah kencang terdengar. Pasalnya, Pilkada dan segala tetek bengeknya, mulai dari pendaftaran calon sampai kampanye, dinilai bisa memperparah penyebaran virus corona.

Fakta pun sebenarnya sudah mengamini penilaian tersebut. Akhir November lalu, CNN Indonesia memberitakan bahwa 70 calon di Pilkada Serentak 2020 telah terinfeksi virus corona. Bahkan, tiga di antaranya (Muharram, Adi Darma, dan Ibnu Soleh) meninggal dunia.

Pilkada di masa pandemi.

Artinya, Pilkada Serentak 2020 ini memang memunculkan risiko yang sangat tinggi. Apalagi, dalam acara-acara yang digelar jelang pemilihan, banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan. Di Jawa Tengah saja, misalnya, menurut catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat, ada 245 pelanggaran yang 183 di antaranya terjadi di Kabupaten Sukoharjo.

Akan tetapi, pemerintah bergeming. Sedari awal pun mereka tampak sama sekali tidak pernah berpikir untuk menunda pelaksanaan Pilkada. Padahal, Pilkada Serentak 2020 ini bakal melibatkan orang dengan jumlah sangat besar. Total ada 100.359.152 pemilih di 309 kabupaten/kota akan terlibat dalam pesta demokrasi kali ini.

Alih-alih demikian, pemerintah selalu menekankan “pentingnya mematuhi protokol kesehatan”. Menurut mereka, apabila protokol kesehatan sudah dipatuhi virus corona sudah pasti tidak akan menyerang. Protokol-protokol ini jadi pegangan bagi semua yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada, mulai dari KPU, Bawaslu, Kemendagri, Satgas COVID-19, hingga Kepolisian.

Kenyataannya, tak ada Pilkada pun pertumbuhan kasus corona di Indonesia sudah amat mengkhawatirkan. Pada 3 Desember silam, misalnya, Indonesia sempat mencatatkan penambahan kasus baru hingga 8.369. Jumlah itu kemudian turun tetapi rata-ratanya tetap ada di 5–6 ribu per hari.

Perlu dicatat bahwa penambahan kasus sekian terjadi tanpa adanya tes yang memadai. Menurut catatan Pemda DKI Jakarta, tes per sejuta penduduk untuk level nasional hanya berjumlah 15.501. Dari sana, hasil positifnya 14,3%. Padahal, standar WHO ada di kisaran 5%.

Data kasus corona Indonesia 8 Desember 2020.

Dengan kata lain, virus corona di Indonesia adalah fenomena gunung es. Mustahil pemerintah tidak menyadari hal ini. Namun, ya, itu tadi. Kendatipun Pilkada sudah disebut bisa menghasilkan klaster-klaster penyebaran virus baru, mereka tetap memberikan lampu hijau.

Perbandingan dengan Malaysia pun tak terelakkan. Di negeri jiran itu, pada 5 Desember 2020, sebenarnya sudah dijadwalkan ada pemilu sela tetapi hajatan tersebut pada akhirnya ditunda. Di Malaysia sendiri, sejak November, pertambahan 1.000+ kasus per hari telah jadi hal lazim.

Namun, pemerintah Indonesia sepertinya yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/12/2020), Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, menyatakan bahwa persiapan Pilkada sudah sangat matang. “Tugas masyarakat hanya patuhi protokol kesehatan, datang ke lokasi pada jadwal yang sudah ditentukan oleh KPU,” tuturnya seperti dikutip dari Tempo.

Untuk kepolisian sendiri surat perintah sudah turun dari Kapolri. Pertama, para kapolda dan kapolres diminta berkoordinasi dengan instansi terkait. Kedua, aparat diminta memahami aturan KPU terkait penerapan protokol kesehatan. Ketiga, anggota kepolisian juga diminta menyosialisasikan protokol kesehatan secara masif serta meningkatkan patroli siber.

Surat perintah tersebut turun pada 7 September 2020. Dua pekan kemudian, Kapolri mengeluarkan maklumat tentang Kepatuhan terhadap Protokol Kesehatan dalam Pelaksanaan Pilkada Tahun 2020. Maklumat tersebut berisi:

  1. Semua pihak yang terlibat dalam tahapan Pilkada diwajibkan menerapkan protokol kesehatan
  2. Jumlah massa dibatasi sesuai dengan aturan penyelenggara (KPU dan Bawaslu)
  3. Setelah tahapan Pilkada selesai, semua pihak yang terlibat diminta membubarkan diri secara tertib
Polri siap amankan Pilkada 2020.

Menyoal protokol kesehatan ini, kepolisian bertugas sebagai backup bagi Bawaslu. Artinya, Bawaslu-lah yang paling berwenang dalam menyemprit para pelanggar. Namun, apabila ada pihak yang membandel, polisi bisa turun tangan dengan berpegangan pada Pasal 93 UU RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, serta pasal-pasal dalam KUHP apabila melawan petugas.

Total, dari Polri sendiri, 145.189 personel akan diturunkan untuk mengawal pemungutan suara, Rabu (9/12). Ini belum termasuk 3.100 personel Brigade Mobil (Brimob) yang akan disebar ke beberapa provinsi. Total, untuk mengawal seluruh tahapan Pilkada, Polri mengerahkan 456.141 personel.

Lantas, seperti apakah protokol kesehatan yang harus dipatuhi semua pihak yang terlibat dalam Pilkada Serentak 2020? Dikutip dari situs resmi pemerintah Indonesia, protokol kesehatan Pilkada terdiri dari 16 poin.

Beberapa di antara aturan tersebut adalah dikuranginya jumlah pemilih per TPS dari 800 menjadi 500, kewajiban menjaga jarak dan mencuci tangan, kewajiban pemilih membawa alat tulis sendiri, kewajiban penggunaan masker dan face shield bagi petugas, serta keberadaan bilik khusus untuk pemilih yang suhu tubuhnya di atas 37,3° C.

Untuk itu, KPU mewajibkan semua TPS memiliki 13 peralatan dan perlengkapan ini: Tempat cuci tangan, sabun, hand sanitizer, sarung tangan plastik, sarung tangan medis, masker, tempat sampah, face shield, alat pengukur suhu tubuh, disinfektan, tinta tetes, baju hazmat, serta ruangan khusus untuk pemilih dengan suhu tubuh di atas normal.

Ilustrasi Pilkada di tengah pandemi.

Kira-kira seperti itulah persiapan Pilkada Serentak 2020 yang telah dilakukan oleh pemerintah. Meski demikian, mengingat situasi memang sedang tidak ideal, ada kemungkinan terjadinya peningkatan angka golput. Beberapa pengamat seperti Khorunnisa Nur Agustyati dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) dan Firman Noor dari LIPI telah menyampaikan prediksinya Oktober silam.

Menurut Ninis (sapaan akrab Khoirunnisa, red), peningkatan angka golput bakal terjadi karena di Indonesia ini memilih dalam pemilu adalah hak, bukan kewajiban seperti di Australia.

Sementara itu, menurut Firman, meski angka golput bakal bertambah, itu takkan jadi persoalan bagi para elite. “Saya kira mau Golput atau tidak, itu tidak menjadi patokan dan harapan dari para elite politik saat ini. Itu tetap akan berjalan, mereka cenderung don’t care soal itu, gitu ya,” kata Firman, Selasa (22/9).

Tidak semua wilayah di Indonesia akan menjalani pemilihan kepala daerah tetapi 270 wilayah tetap merupakan jumlah yang besar. Maka, tak mengejutkan jika Pilkada Serentak 2020 menjadi isu nasional yang ramai dibicarakan. Selama sepekan terakhir, isu ini diberitakan 4.397 kali.

Dalam pemberitaan yang ada, sentimen negatif tidak begitu sering muncul. Akan tetapi, jumlahnya terbilang lumayan. Di media daring, ada 1.037 (27%) berita yang bersentimen negatif. Sementara, di media cetak ada 175 (29%) dan di media elektronik ada 4 (12%).

Pertumbuhan berita Pilkada Serentak 2020 dalam sepekan terakhir.
Sentimen pemberitaan Pilkada Serentak 2020.

Berita-berita bersentimen negatif yang muncul soal Pilkada ini tidak semuanya mengenai pandemi tetapi juga hal-hal seperti hoaks, politik uang, kerusakan surat suara, pelanggaran-pelanggaran kampanye, sampai kesulitan petugas melewati medan sulit.

Variatifnya pemberitaan mengenai Pilkada Serentak 2020 ini menunjukkan bahwa selama ini hajatan tersebut tidak terlalu terpengaruh oleh pandemi. Kampanye masih jalan, begitu pula dengan persiapan-persiapan lain. Menyiapkan protokol kesehatan pun jadi semacam pekerjaan tambahan saja.

Secara umum, berita yang bersentimen positif memang jauh lebih banyak. Jika ditotal ada 2.980. Dari jumlah sekian, 85 persennya merupakan berita daring. Berita-berita positif ini antara lain membahas pengamanan Pilkada, pesan untuk menerapkan prokes, netralitas ASN, mekanisme pencoblosan, sampai rekapitulasi suara.

Pencoblosan di Pilkada Serentak 2020 ini memang cuma akan digelar selama satu hari, yaitu Rabu (9/12), tetapi prosesnya tentu tak berhenti di situ. Pengumuman hasil penghitungan suara akan disampaikan mulai 9 sampai 15 Desember 2020. Setelah itu, rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan tingkat provinsi untuk pilgub bakal dilakukan 16–20 Desember 2020.

Perkiraan kami, berita-berita mengenai Pilkada 2020 bakal terus mewarnai media massa setidaknya sampai akhir Desember nanti. Apalagi, potensi perkembangan isu dari Pilkada sangatlah banyak. Misalnya, bagaimana jika ada kotak kosong yang menang, ada kericuhan akibat ketidakpuasan, serta ada klaster-klaster penyebaran virus baru yang muncul.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.