Menilik Sentimen Pencalonan Gibran Rakabuming di Solo

Ann Putri
Binokular
Published in
5 min readJul 22, 2020

Konstelasi calon kepala daerah untuk pilkada 2020 diramaikan oleh kerabat para penguasa dan politikus. Calon yang paling banyak disorot adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Solo. Gibran bukan satu-satunya anak penguasa yang dijagokan untuk maju pilkada; ada Siti Nur Azizah, putri Ma’aruf Amin, yang maju sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan, Muhammad Bobby Afif Nasution, menantu presiden Joko Widodo, sebagai calon Wali Kota Medan; dan masih banyak lagi.

Sorotan media terhadap Gibran bukan tanpa alasan; masalahnya, pengusaha muda ini mengalahkan Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo dalam mendapatkan surat rekomendasi PDI-P sebagai calon Wali Kota Solo. Pemberian rekomendasi partai ini dianggap mencurigakan karena Gibran sendiri tidak punya pengalaman berpolitik, ditambah statusnya sebagai anak Presiden memunculkan dugaan praktek politik dinasti.

Pencalonan Gibran dan kerabat-kerabat penguasa serta politikus merupakan kelanjutan dari sejarah panjang politik dinasti Indonesia. Pionir politik dinasti adalah Presiden Soeharto yang mengangkat anaknya Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial. Ketika Orde Baru runtuh, politik dinasti semakin menyubur di tingkat lokal, dengan dinasti Chasan Sochib sebagai dinasti politik paling besar dan berpengaruh di Banten.

Meskipun di permukaan terlihat tidak bermasalah, politik dinasti sebetulnya membawa segudang permasalahan. Hubungan kekerabatan yang dibawa politik dinasti melanggengkan KKN karena mengaburkan fungsi check and balance yang penting dalam urusan pemerintahan dan politik. Tak hanya itu, kemunculan politik dinasti ini juga menunjukkan buruknya kaderisasi partai yang hanya memberikan kursi legislatif dan eksekutif ke trah politikus yang sudah ada. Tak hanya itu, partai-partai yang melanggengkan ini dinilai ikut memperburuk kondisi demokrasi karena rawan memajukan kepentingan golongan tertentu alih-alih kepentingan publik.

Tentunya Gibran paham akan hal ini karena pada tahun 2018, ia menyatakan tidak akan terjun ke dunia politik. Alasannya ia kasihan pada rakyat apabila ada dinasti politik, ditambah ia tidak memiliki kemampuan berpolitik. Sebuah ucapan yang ironis karena dua tahun setelahnya, ia justru maju sebagai calon Wali Kota Solo disponsori oleh partai pengusung ayahnya.

Apa Pantauan Binokular Terhadap Pencalonan Gibran?

Pencalonan kontroversial Gibran mendapatkan reaksi yang bermacam-macam. Untuk mendapatkan gambarannya, Binokular menggunakan sistem pemantauan big data yang dilakukan terhadap media daring, cetak, TV, dan juga media sosial. Pemantauan ini dilakukan dengan memantau beberapa kata kunci, yaitu “Gibran Rakabuming Raka”, “Gibran Rakabuming”, “Gibran Solo”, dan “Gibran dinasti politik”. Periode pemantauan dilakukan sejak tanggal 14 Juli 2020 hingga 20 Juli 2020

Sentimen media cetak dan daring cenderung positif, bahkan jauh melampaui sentimen berita negatif dan netral. Pun berita negatif isinya lebih banyak memberitakan anggota parpol pendukung Gibran yang dikeroyok setelah rapat konsolidasi partai.

Namun hal yang menarik bisa dilihat dari analisis sentimen TV yang lebih banyak berisi berita yang bersentimen negatif. Kebanyakan berita negatif ini adalah kekecewaan Achmad Purnomo yang tidak mendapatkan rekomendasi PDI-P sebagai partai pengusungnya. Berita negatif lainnya menunjukkan potensi besar Gibran sebagai calon tunggal di pilkada Solo nanti, mengimplikasikan pencalonan tunggal Gibran sebagai ancaman terhadap demokrasi.

Sedangkan untuk sentimen pembicaraan media sosial, trennya lebih condong ke arah netral dan negatif. Seperti yang bisa dilihat di grafik sentimen percakapan Twitter, sentimen pembicaraan positif dan negatif berbalap-balapan di angka 24% dan 25%, tapi mayoritas pembicaraan bernada netral. Percakapan Twitter didominasi oleh tudingan pelanggengan politik dinasti oleh Jokowi dan keraguan masyarakat terhadap langkah politik serta kompetensi Gibran sebagai aktor politik. Sedangkan percakapan positif didominasi oleh politikus dan aktor politik lainnya yang menyatakan dukungan terhadap pencalonan Gibran.

Sedangkan Facebook jauh lebih kritis dan pesimis terhadap pencalonan Gibran, dibuktikan lewat tingginya angka sentimen pemberitaan dan komentar negatif dan netral. Pesimisme ini datang dari status Gibran sebagai anak presiden Jokowi dan ketiadaan pengalaman Gibran di bidang politik. Sentimen netral juga menyuarakan sedikit pesimisme dan kesangsian akan kompetensi Gibran apabila terpilih sebagai Wali Kota Solo.

Hal yang menarik justru datang dari Youtube; meskipun tidak memiliki postingan soal pencalonan Gibran, ada banyak komentar soal hal ini. Kemungkinan komentar-komentar ini berasal dari cuplikan berita soal pencalonan Gibran di kanal-kanal berita nasional. Sentimennya pun hampir sama dengan Facebook, komentar negatif dan netral saling berbalap-balapan.

Hubungan masing-masing entitas tidak lepas dari pemberitaan mereka. Empat entitas utama adalah Gibran, Jokowi, Teguh Prakosa, dan PDI-P sebagai sorotan utama dalam pemberitaan pencalonan Gibran. Entitas-entitas lainnya seperti Achmad Purnomo, Hasto Kristiyanto, Fx Hadi Rudyatmo, Puan Maharani, dan Megawati Sukarnoputri kerap disebut karena memiliki hubungan sebagai anggota dari partai yang sama dan memiliki peran terhadap pencalonan Gibran. Kemunculan Puan dan Megawati di sini berkaitan dengan mereka sebagai bukti adanya politik dinasti di tubuh PDI-P.

Konklusi

Apa yang bisa kita tarik dari perbedaan sentimen media dan media sosial? Media cenderung memberitakan dukungan terhadap pencalonan Gibran. Dukungan-dukungan ini pun mayoritas datang dari politikus dan partai pengusung Gibran dan ayahnya, PDI-P.

Sedangkan suara masyarakat lebih banyak diutarakan lewat media sosial. Nada pendapat dari masyarakat pun bervariasi, tapi bisa dibilang suara mereka condong ke tidak menyetujui naiknya Gibran sebagai calon Wali Kota. Kemungkinan besar ketidaksetujuan ini datang dari pengalaman dan pengetahuan politik bahwa dinasti politik tidak akan adil dan demokratis.

--

--

Ann Putri
Binokular

Another writer in the sea of talented authors. Open for freelance work.