Modal Dengkul Bagyo Wahyono Hadapi Anak Presiden

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
8 min readOct 2, 2020

Sejarah baru tercipta di rezim Joko Widodo periode kedua ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, ada anak presiden yang mencalonkan diri jadi kepala daerah. Tak cuma anak, bahkan, tetapi juga menantu. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Putra Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti, memang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Akan tetapi, Agus maju dalam kontestasi yang digelar tahun 2017. Pada waktu itu SBY sudah tidak lagi menjadi presiden karena masa jabatannya telah habis tiga tahun sebelumnya.

Jadi, Gibran Rakabuming Raka benar-benar anak presiden pertama yang mencalonkan diri jadi kepala daerah ketika sang ayah masih aktif menjabat. Gibran mencalonkan diri di Surakarta; kota yang dulu pernah dipimpin Jokowi sebagai wali kota; kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan.

Pencalonan Gibran menjadi wali kota Surakarta, sayangnya, tidak berjalan mulus. Ketika Jokowi dulu mencalonkan diri jadi wali kota Surakarta pada 2005, sama sekali tidak ada protes. Justru, ada optimisme yang tumbuh lantaran warga Surakarta menilai wali kota sebelumnya, Slamet Suryanto, tidak terlalu oke performanya.

Slamet sendiri terpilih sebagai wali kota sebagai calon dari PDI Perjuangan. Namun, pada 2004 itu, PDIP tak lagi mau mengusungnya. PDIP berpaling pada sosok Jokowi yang didampingi oleh FX Hadi Rudyatmo. Slamet akhirnya kembali mencalonkan diri tetapi sebagai kandidat independen.

Hasilnya mudah ditebak. Di Surakarta, calon dari PDIP selalu punya kans menang terbesar karena kota itu merupakan salah satu basis terkuat mereka. Jokowi-Rudy berhadapan dengan Achmad Purnomo-Istar Yuliadi, Hardono-Gusti Dipo, dan Slamet-Hengky Nartosabdo. Di akhir cerita, Jokowi-Rudy menang dengan persentase 36,62 persen.

Joko Widodo bersama Hadi Rudyatmo.

Jokowi-Rudy terpilih dan dengan cepat mampu memajukan kota Surakarta. Pembangunan digalakkan di mana-mana. Berbagai fasilitas umum dibenahi, mulai dari jalan raya, trotoar, sampai lapak pedagang kaki lima. Di bawah Jokowi, tiba-tiba Surakarta berada di trek yang tepat untuk menjadi salah satu kota termaju di Indonesia.

Keberhasilan Jokowi-Rudy di periode pertama itu membuat pasangan tersebut menang mutlak pada pilkada berikutnya. Berhadapan dengan calon dari Partai Demokrat, Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi, Jokowi-Rudy berhasil meraup suara sampai 90,09 persen. Artinya, nyaris tidak ada keraguan sedikit pun di benak masyarakat Surakarta akan kemampuan Jokowi.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak Jokowi memenangi pilkada keduanya di Surakarta. Sudah banyak pula yang berubah. Kini Jokowi bukan cuma tokoh daerah. Dia sudah menjadin pemimpin tertinggi Republik Indonesia yang rezimnya telah memasuki periode kedua. Sayangnya, nama Jokowi pun sekarang tak seharum dulu.

Selama menjadi presiden, sudah sangat banyak kritikan yang diterima oleh Jokowi. Pembangunan-pembangunan yang dia lakukan dinilai tak terlalu memihak rakyat, kemudian ada sejumlah undang-undang yang dianggap mencederai kepercayaan rakyat seperti UU Minerba, UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU KPK.

Belum lagi pada 2020 ini Jokowi dihadapkan pada pekerjaan super berat bernama penanganan pandemi virus corona. Salah satu kritik tajam yang dialamatkan kepada Jokowi di tengah pandemi ini adalah bagaimana dia tetap mempertahankan Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan.

Di tengah badai kritikan itu, kontroversi kembali berpusar di sekitar Jokowi dengan pencalonan Gibran menjadi wali kota Surakarta dan Bobby Nasution, sang menantu, sebagai wali kota Medan. Namun, karena Gibran adalah anak kandung, kontroversi yang muncul darinya pun lebih besar pula.

Gibran Rakabuming Raka jadi calon wali kota Surakarta.

Sedari awal pencalonan Gibran sudah mengundang protes, bahkan dari internal PDIP sendiri. Pasalnya, Dewan Pimpinan Cabang PDIP Jawa Tengah sesungguhnya telah memiliki calon untuk diajukan di Pilkada 2020 ini, yaitu Achmad Purnomo. Rencananya, Pak Pur bakal dipasangkan dengan Teguh Prakosa.

Akan tetapi, paslon yang diajukan oleh DPC itu tak mendapat restu dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Gibran yang mendaftarkan diri sebagai calon wali kota ke DPP-lah yang akhirnya terpilih. Rekomendasi DPC yang dipakai hanyalah untuk wakil wali kota, yaitu Teguh. Jadilah kemudian Gibran dan Teguh berpasangan.

Pemilihan Gibran ini sempat tak disetujui oleh Rudy, wali kota Surakarta yang kebetulan juga menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Jawa Tengah. Namun, Rudy akhirnya mau bekerja sama. Bahkan, Rudy sudah sudi datang di acara-acara yang digelar oleh tim pemenangan Gibran.

Protes tak berakhir sampai di situ. Sebab, sejumlah masyarakat Surakarta pun nyatanya kurang menyukai pencalonan Gibran tersebut. Argumen utama mereka, Gibran sama sekali tak memiliki pengalaman di pemerintahan. Bahkan, ketika Gibran belum memiliki lawan di Pilkada Surakarta, kampanye mencoblos kotak kosong cukup ramai terdengar.

Gibran sendiri didukung oleh hampir semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD Surakarta. Inilah mengapa kemungkinan Gibran bakal melawan kotak kosong di Pilkada sempat cukup besar. Namun, pada akhir Juli 2020, muncullah nama Bagyo Wahyono sebagai penantang. Pria yang berprofesi sebagai penjahit itu menggandeng FX Supardjo sebagai wakilnya.

Bagyo-Supardjo, alias Bajo, maju sebagai paslon independen. Bagyo mengaku tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk maju sebagai wali kota. Untuk bisa maju, cara pertama yang ditempuh Bagyo adalah mengumpulkan KTP warga secara sukarela. Dari sana terkumpul 38.831 dukungan untuknya. Jumlah itu melebihi syarat minimum dari KPUD yaitu 35.870 dukungan.

Bagyo Wahyono dan FX Supardjo.

Meski merupakan calon independen, Bagyo bukannya tak memiliki basis massa. Adalah ormas Tikus Pithi Hanata Baris yang selama kurang lebih dua bulan ini membantu pencalonan Bagyo sebagai wali kota Surakarta. Ormas ini didirikan Tuntas Subagyo pada 2014 dan Bagyo terlibat dalam pendiriannya.

Dalam perjalanannya sebagai calon wali kota, Bagyo sempat mendapatkan tuduhan bahwa dirinya hanyalah boneka. Artinya, Bagyo maju sebagai calon wali kota semata-mata agar Gibran tidak melawan kotak kosong. Namun, anggapan itu dibantah keras oleh Tuntas.

“Karena untuk menyampaikan ke masyarakat bahwa kita bukan setingan, kita bukan boneka. Karena ini sangat merugikan kita. Ini mencederai perjuangan selama ini,” tutur Tuntas, dilansir Kompas.

Bahkan, kata Tuntas, rencana mengusung Bagyo sebagai wali kota sudah dibicarakan di kalangannya sejak tahun lalu, jauh sebelum Gibran maju sebagai wali kota. Tikus Pithi sendiri sebenarnya ikut mengusung calon kepala daerah di 25 kota/kabupaten lainnya. Akan tetapi, hanya Bagyo-lah yang dinyatakan lolos oleh KPUD.

Dalam Pilkada Surakarta 2020, bisa dibilang Bagyo merupakan kuda hitam dan pihaknya tahu persis akan hal itu. Namun, status kuda hitam tak membuat mereka gentar. Malah, status itu mereka rangkul erat-erat. Saat mendaftar secara resmi ke KPUD, paslon Bajo datang dengan kereta yang ditarik oleh kuda hitam.

Pencalonan Bagyo ini memang wujud gerakan bawah tanah sejati. Modal yang mereka tak miliki tidak besar. Bahkan, dalam pelaporan dana kampanye terakhir, saldo di rekening Bajo masih nol rupiah. Sebenarnya, ada dana sebesar Rp1,5 juta yang sudah terkumpul tetapi karena rekening itu baru belum ada dana yang masuk lagi.

Pendiri Tikus Pithi, Tuntas Subagyo.

Sejauh ini, bantuan yang diterima paslon Bajo memang kebanyakan tak berwujud uang, melainkan barang. Misalnya, ada orang-orang yang membantu mereka membuat pamflet dan umbul-umbul. Cara berkampanye mereka pun bisa dipastikan bakal lebih membumi lantaran dilakukan dengan cara door-to-door. Kabarnya, 5.000 rumah warga siap didatangi.

Kemudian, soal juru kampanye, tidak ada nama tenar yang akan dikerahkan oleh Bajo. Jika Gibran bakal mengerahkan nama sekelas Megawati, Bajo hanya akan mengerahkan rakyat jelata macam pedagang angkringan dan tukang batu. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Kira-kira begitulah pesan yang ingin disampaikan oleh Bajo.

Kendati begitu, tetap ada cara kampanye “konvensional” yang dilakukan oleh Bajo. Yakni, sowan ke tokoh-tokoh agama. Rasa-rasanya, semua calon pemimpin di negeri ini selalu berkunjung ke tokoh agama ketika sedang bertarung dalam pemilihan. Pada Selasa (29/9/2020), Supardjo berkunjung ke Gereja Santo Paulus, Kleco, dan tokoh agama Budha.

Oh, satu cara konvensional lain yang dilakukan Bagyo adalah mengumbar janji. Ya, namanya juga calon pemimpin. Masa tidak ada program yang dijual? Nah, dari Bagyo-Supardjo ini, salah satu janji besar yang sudah diumbar adalah penanganan banjir. Kata Bagyo, dia bakal mengatasi banjir di Surakarta dengan sungai bawah tanah.

Jadi, sejauh ini upaya-upaya demikianlah yang telah dilakukan Bajo untuk melawan Gibran-Teguh. Berhasil atau tidaknya usaha ini tentu baru akan bisa dilihat setelah pencoblosan digelar 9 Desember mendatang. Yang jelas, Bagyo-Supardjo berani menargetkan perolehan suara 81 persen.

Sebagai sosok yang relatif tidak punya profil tinggi, Bagyo nyatanya mampu menerima cukup banyak perhatian publik. Sejak mendeklarasikan diri jadi calon wali kota Surakarta pada 23 Juli, Bagyo sudah diberitakan sebanyak 1.128 kali.

Pertumbuhan berita Bagyo Wahyono sejak mencalonkan diri jadi wali kota Surakarta pada 23 Juli 2020.
Sentimen pemberitaan-pemberitaan Bagyo Wahyono di media daring, cetak, dan elektronik.

Kebanyakan, sentimen pemberitaan tentang Bagyo di media daring dan cetak positif, masing-masing dengan persentase 67 dan 71 persen. Akan tetapi, di media elektronik, sentimen negatif jadi yang terbesar di angka 45 persen.

Dua hal yang menjadi penyumbang sentimen negatif terbesar bagi Bagyo adalah tatkala dia, bersama Gibran, kena semprot Bawaslu akibat pelanggaran protokol kesehatan dan ketika harta kekayaannya diumumkan. Di situ terlihat bahwa Bagyo punya modal yang jauh lebih sedikit dibandingkan rivalnya.

Pemberitaan soal Bagyo ini mengalami 3 spike (kenaikan signifikan) dalam kurun 23 Juli-30 September. Pertama, pada 21 Agustus ketika dirinya dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon wali kota. Kedua, pada 6 September ketika mendaftarkan diri sekaligus mendapat teguran dari Bawaslu. Ketiga, pada 25 September ketika harta kekayaannya diumumkan.

Status sebagai penantang Gibran ini menaikkan profil Bagyo secara nasional. Buktinya, berita-berita tentangnya muncul dari 17 provinsi berbeda, dari Sumatera hingga Papua. Cuma Kalimantan pulau besar yang belum memberitakan soal Bagyo sejauh ini.

Artinya, Bagyo saat ini bukanlah seorang nobody. Memang, dia bukan Gibran yang punya mesin politik dan modal besar. Akan tetapi, karena berhadapan dengan lawan yang punya mesin politik dan modal besar itu Bagyo jadi ikut populer. Bagyo, dengan “modal dengkulnya”, berhasil jadi somebody.

Soal kans, harus diakui bahwa Bagyo adalah underdog. Namun, bukan berarti kansnya tidak ada. Buktinya, ada warga yang dengan sukarela menyerahkan KTP untuk mendukungnya. Sejak 26 September lalu masa kampanye sudah dimulai. Inilah waktu bagi Bagyo untuk meningkatkan dukungan dari 30 ribuan menjadi, setidaknya, seratusan ribu.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.