Nurhadi-Aldo, Bukti Anak Muda Tidak Apolitis

Ann Putri
Binokular
Published in
7 min readJul 27, 2020
Pak Nurhadi & Pak Aldo

Pemilu 2019 sudah berlalu, tapi efeknya tetap terasa hingga sekarang. Salah satu faktor yang mengejutkan dari pemilu tahun lalu adalah kemunculan paslon fiktif. Paslon tersebut adalah Nurhadi-Aldo, bernomor urut 10, dan masuk sirkuit pemilu lewat “jalur prestasi”.

Paslon ini pertama kali hadir di Facebook pada 18 Desember 2018, beberapa bulan sebelum pemilu diselenggarakan. Beratribut peci hitam dan baju koko merah-putih, paslon ber-tagline #TronjalTronjolMahaAsyik ini mengklaim berasal dari Partai Untuk Kebutuhan Iman (PUKI) dan diusung oleh Koalisi Tronjal-Tronjol Maha Asyik (KONTOLMAS).

Sekilas, paslon fiktif ini memang terlihat seperti paslon serius. Poster-poster program kerja dan kata mutiara didesain secara profesional dan artistik. Namun yang membedakan adalah isi program yang bersifat nyeleneh dan mengandung kata-kata vulgar, kotor, dan rendahan. Mereka juga kerap menggunakan simbolisme subversif seperti jargon politik kiri dan parodi Nurhadi berjenggot Karl Marx.

Formula Nurhadi-Aldo yang berhasil membaurkan kritik dengan meme terbukti sukses. Dalam seminggu, pengikut mereka — yang mayoritas adalah anak muda — di Facebook mencapai puluhan ribu. Mereka secara antusias menyukai, membagikan, hingga “mencalonkan diri” sebagai caleg Nurhadi-Aldo, lengkap dengan janji-janji politik yang diplesetkan di media sosial.

Ketertarikan masif anak muda — yang acap kali dianggap apolitis — terhadap Nurhadi-Aldo langsung mendapatkan banyak perhatian dari media dan timses pendukung kedua kubu. Salah satu pihak yang tidak senang akan kehadiran Nurhadi-Aldo adalah timses Jokowi, yang menganggap mereka sebagai biang peningkat angka golput dan apatisme anak muda terhadap politik. Timses Jokowi beralasan kampanye Nurhadi-Aldo sama dengan kampanye pemilu Donald Trump yang ramai troll dan hoaks.

Meme Sebagai Respons Virtual Terhadap Kondisi Politik Nyata

Namun apakah ketakutan timses Jokowi (pada saat itu) benar-benar terbukti? Apakah benar bahwa meme (dan media sosial pada umumnya) memiliki kekuatan yang memadai untuk menciptakan atau bahkan berhasil menumbangkan persepsi masyarakat terhadap program dan janji paslon? Pertanyaan-pertanyaan ini akan saya coba jawab di bawah ini.

Internet berperan besar dalam kehidupan manusia modern, dengan produk terpopulernya, media sosial, merevolusi cara komunikasi manusia. Banyaknya interaksi sosial di media sosial menciptakan kultur baru yang begitu spesifik. Manifestasi dari kultur ini adalah meme.

Istilah “meme” pertama kali dikoinkan oleh Richard Dawkins pada akhir 1970-an, kemudian diadopsi oleh internet untuk merujuk ke gambar berteks dengan fokus terletak di pesannya alih-alih estetikanya (Knobel & Lankshear 2005; Börzsei 2013). Seiring waktu, definisinya bergeser menjadi “medium apa saja yang membawa pesan dan bersifat humoris, satire, dan parodi”.

Obsesi internet terhadap meme berkontribusi melahirkan banyak genre meme yang berimbas pada semakin pendeknya umur meme. Meski terus bermutasi dan viral, komponen meme tetaplah sama: humor, satire, dan parodi. Fungsinya pun tak lagi terbatas di hiburan niche internet; ia berkembang menjadi respons standar internet terhadap kejadian dunia nyata. Genre meme yang kerap dijadikan respons terhadap kejadian dunia nyata adalah meme politik. Meme genre ini mengungkapkan dan menyebarkan ide dan opini satire serta parodi dari kejadian-kejadian atau hal-hal politis, seperti ideologi, status quo, dan aktor politik.

Penggarisan Politik Anak Muda

Penggunaan dan persebaran masif meme politik di internet setidaknya sudah dimulai sejak pemilu 2014. Di masa ini, respons masyarakat akan pesta demokrasi terasa lebih riuh berkat meluasnya pengguna internet di Indonesia. Keriuhan ini pun tidak sepenuhnya positif karena justru media sosial mengamplifikasi pecahnya masyarakat lewat perbedaan pilihan paslon.

Kondisi panas ini melahirkan banyak meme-meme politik, tapi yang sukses bertahan sampai sekarang hanyalah “cebong” dan “kampret”. Maju ke masa sebelum kampanye pemilu 2019, pertengkaran pendukung kedua paslon kembali muncul dan bahkan berhasil melahirkan berjilid-jilid demo berbasis politik dan agama. Di tengah naiknya ketegangan SARA, internet menyindir dan memparodikan kegelisahan dan ketegangan ini menjadi meme, melahirkan istilah-istilah meme baru karya netizen.

Siklus meme politik ini terus berlanjut hingga masuk ke masa kampanye. Namun, apabila di masa pemilu 2014 didominasi oleh cebong dan kampret, pada pemilu 2019 ditambah dengan kubu ketiga yang mayoritasnya diisi oleh orang-orang yang kecewa atas pemerintahan Jokowi.

Kubu ini mayoritasnya adalah anak-anak muda perkotaan dan berpendidikan tinggi yang tak jarang memegang pandangan politik yang tidak diakui dan diakomodasi oleh negara. Mereka getol menyuarakan kekecewaan dan kritikan mereka terhadap status quo di media sosial, tapi di saat yang bersamaan enggan mendukung Prabowo karena track record-nya buruk. Tak jarang golongan ini disebut sebagai kubu SJW atau golput karena garis politik mereka. Semakin mendekatnya masa coblos, intensitas perdebatan dan pertengkaran segitiga antara cebong, kampret, dan SJW/golput semakin tinggi dan panas.

Cuitan, status, foto, dan meme bernada sindiran dan hinaan semakin deras mengalir di linimasa sebelum perhatian mereka sebagian teralihkan ke Nurhadi-Aldo. Paslon fiktif ini dijalankan oleh 8 pemuda (kemudian disebut timses) yang hanya pernah bertemu di internet. Nurhadi merupakan orang nyata dan sebelum nyambi menjadi capres adalah ikon meme di kalangan niche shitposting Facebook, sedangkan Aldo adalah tokoh fiktif yang dibuat dengan sihir Photoshop.

Memahami Nurhadi-Aldo sekilas terasa seperti memahami humor “orang dalam”. Tentu ini karena humornya penuh dengan referensi skena meme lokal yang memiliki berlapis-lapis ironi, satire, dan tren kultur pop. Meski begitu, meme mereka masih bisa dinikmati oleh banyak orang karena universalitas topik yang mereka bawa.

Contoh program yang mereka usung adalah “Jalan Terang Buruh” (JALANG) yang menawarkan kenaikan 60 persen UMP buruh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, merujuk pada demo-demo kesejahteraan buruh yang sering digaungkan selama pemerintahan Jokowi. Lalu ada “Program Legalisasi Ganja Halal” (PELI GAJAH), untuk melegalisasi ganja demi kesehatan masyarakat, meningkatkan pendapatan pajak, serta sindiran terhadap industri kelapa sawit — karena Nurhadi-Aldo berjanji akan menggantikan lahan sawit dengan ganja.

Di awal-awal kemunculannya, Nurhadi-Aldo berhasil menjaring banyak pengikut muda, seolah memvalidasi dugaan generasi yang lebih tua bahwa anak muda Indonesia apolitis terhadap politik. Dalam wawancara dengan Vice, anak-anak muda yang mendaftarkan diri sebagai caleg Nurhadi-Aldo menyatakan bahwa Nurhadi-Aldo membawa kritik-kriti valid terhadap pemerintah dan politikus, terutama di bidang lingkungan, HAM, dan agraria. Opini bahwa dua pilihan presiden tidak cukup juga diungkapkan, dengan alasan keduanya kurang mewakili aspirasi kawula muda.

Namun popularitasnya justru membuat para politikus generasi tua mempertanyakan motif dari dibuatnya Nurhadi-Aldo. Mereka menuding Nurhadi-Aldo dibuat untuk meningkatkan angka golput dan antipati masyarakat muda terhadap pemilu karena konten-konten satirenya. Walau begitu, ada juga yang menganggap (dan bahkan mengapresiasi) Nurhadi-Aldo sebagai hiburan di tengah kepenatan dan pertengkaran politik.

Nurhadi-Aldo, Katalis Golput?

Tudingan bahwa Nurhadi-Aldo berpotensi meningkatkan angka golput semakin tervalidasi sejak diundangnya Nurhadi dan Edwin, salah satu timses Nurhadi-Aldo ke telewicara Rossi. Di acara tersebut, Edwin yang dihubungi lewat telepon, secara spontan mengimplikasikan bahwa Nurhadi-Aldo mengajak masyarakat untuk golput saja.

Respons netizen terhadap pernyataan Edwin bermacam-macam: ada yang mengkritik dan mengecam Edwin karena mengajak masyarakat golput; ada yang ketakutan dan khawatir terhadap keselamatan Nurhadi karena wajahnya dipakai sebagai simbol gerakan golput; ada juga yang senang karena Nurhadi-Aldo memperkenalkan mosi bahwa golput adalah pilihan valid.

Pernyataan Edwin juga menyalakan perdebatan soal golput. Di awal, pernyataan bahwa mengajak golput bisa dipidanakan banyak beredar tapi kemudian ditepis bahwa yang dilarang oleh UU adalah menghalangi seseorang untuk memilih sehingga ia kehilangan hak pilihnya. Namun ketakutan masyarakat muda akan dipidana membuat banyak orang mencabut “dukungan” mereka terhadap Nurhadi-Aldo.

Cepat berubahnya dukungan terhadap Nurhadi-Aldo adalah hal yang tidak dapat dielakkan mengingat betapa cepatnya informasi (baik yang salah maupun benar) dan kepanikan yang dibawanya menyebar. Untuk menanggulangi hal ini, Edwin menyatakan permintaan maaf dan mengklarifikasi bahwa Nurhadi-Aldo bukan untuk mengajak golput. Tentu saja hal ini gagal — netizen sudah kehilangan kepercayaan terhadap Nurhadi-Aldo; ada pula yang menganggap karena blunder Edwin, meme-memenya tidak lagi lucu.

Menurut pengamat politik, blunder Edwin ini justru menguntungkan pasangan Jokowi-Ma’aruf Amin. Dalam artikel Tirto, hasil survei indEX Jokowi-Ma’aruf Amin naik ke 55,6% dibandingkan dengan Prabowo-Sandiaga yang hanya 32,3%. Tidak disebutkan alasan mengapa Jokowi-Ma’aruf bisa diuntungkan oleh hal ini, tapi kemungkinan besar disebabkan oleh propaganda anti-golput yang naik di media sosial dan ketakutan Prabowo-Sandiaga akan memenangkan pemilu 2019 apabila gerakan golput terus membesar.

Pengaruh Nurhadi-Aldo dalam Pemilu

Semenjak kejadian tersebut, Nurhadi-Aldo kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sayangnya, pengaruh mereka di media sosial sudah tidak sebesar sebelum blunder publik mereka terjadi, diikuti dengan penurunan kualitas konten. Hingga pada akhirnya, sehari sebelum pemilu, Nurhadi-Aldo menyatakan undur diri dari kampanye. Namun mereka kembali dengan branding baru, Negara Kesatuan Republik Internet dengan Aldo sebagai presidennya dan Nurhadi mundur dari posisinya sebagai capres.

Setelah pemilu dilaksanakan, hasil KPU menunjukkan bahwa Jokowi-Ma’aruf Amin memenangi pemilu 2019 dengan jumlah golput jauh lebih rendah dari pemilu-pemilu sebelumnya. Tentu ini merupakan pertanda jelas bahwa pergerakan yang muncul di media sosial — tanpa diikuti dengan aksi langsung — seringkali tidak berhasil.

Hal yang sama sebetulnya sudah ditunjukkan oleh penelitian Lim (2013). Menggunakan contoh aktivisme media sosial Indonesia yang sukses dan tidak sukses, Lim menyimpulkan untuk aktivisme media sosial bisa sukses, mereka perlu menggunakan prinsip-prinsip konsumsi kultur kontemporer, yaitu dikemas ringan, judul yang menggugah, dan gambaran singkat. Untuk menjaring pengikut, aktivisme sosial juga harus membuat naratif yang singkat, diasosiasikan dengan aksi rendah resiko, dan setidaknya sejalan dengan narasi meta-dominan, seperti nasionalisme dan keagamaan.

Dilihat menggunakan lensa ini, gerakan Nurhadi-Aldo belum memiliki tujuan yang jelas selain mengkritik status-quo dan janji-janji politik para paslon. Ketika blunder Edwin terjadi, barulah intensi asli dari Nurhadi-Aldo terlihat dan itu pun langsung mendapatkan feedback negatif. Sebagian penyebab hal ini adalah karena beberapa media menyatakan bahwa Nurhadi-Aldo mendukung golput dan menggulirkan pernyataan bahwa golput bisa membuat paslon menang/kalah.

Setelahnya, gaung Nurhadi-Aldo hampir tidak terdengar lagi, seolah keberadaannya sudah menghilang dari kesadaran netizen. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa meme atau gerakan sosial di internet tidak akan berhasil selama tidak ada gerakan luring yang menyertainya. Namun Nurhadi-Aldo setidaknya menunjukkan bahwa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah memang benar adanya. Hal yang kurang dari ini adalah pergerakan luring untuk melawan status quo. Hal ini mungkin tidak begitu terasa mengingat Jokowi memenangkan pemilu lagi, tapi harus diakui bahwa peran Nurhadi-Aldo dengan program-program memenya efektif dalam menyampaikan kritik dan ketidakpuasan anak muda terhadap negara.

Tak hanya itu, mereka juga berhasil menunjukkan bahwa generasi muda sekarang tidak seapolitis yang diduga. Mereka peduli isu-isu politik, tapi dengan cara mereka sendiri.

--

--

Binokular
Binokular

Published in Binokular

Publikasi artikel-artikel tentang riset mutakhir Binokular

Ann Putri
Ann Putri

Written by Ann Putri

Another writer in the sea of talented authors. Open for freelance work.