Cornelis Lay yang Tak Pernah Berhenti Peduli

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
6 min readAug 7, 2020

Suatu hari di awal 2010-an seorang kawan mengajak saya mampir ke sebuah rumah yang terdapat di bilangan Condongcatur, Sleman. Rumah itu tidak besar tetapi cukup nyaman. Lingkungan sekitarnya tenang meskipun letaknya tak jauh dari jalan besar.

Rumah itu adalah tempat Perpustakaan Literati berada. Kata kawan saya yang bernama Dipa Raditya itu, Perpustakaan Literati bermula dari keresahan dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang mulai kesulitan mencari tempat untuk menyimpan buku-buku bacaannya.

Singkat cerita, Perpustakaan Literati pun lahir. Ia menjadi sebuah perpustakaan kolektif di mana semua orang bisa menyumbangkan buku-buku. Namun buku tidak menjadi satu-satunya karya yang bisa dinikmati di Literati. Di sana, pemutaran film rutin pula digelar.

Saya hadir di salah satu acara pemutaran film tersebut. Ketika itu yang diputar adalah film Norwegian Wood, yang merupakan adaptasi dari novel sastrawan Jepang Haruki Murakami.

Jika ditanya nama tokoh-tokohnya atau plot ceritanya, jujur saja saya sudah tidak ingat. Yang saya ingat, judul “Norwegian Wood” ini berasal dari lagu The Beatles dengan judul yang sama. Saking buramnya memori soal ini, saya bahkan harus menelepon Dipa terlebih dahulu untuk menyegarkan ingatan.

Hanya sekali itu saya bersentuhan dengan Literati. Apalagi, tak lama sesudah itu mereka bubar jalan karena para pengurusnya sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Meski begitu, kenangan berkunjung ke rumah itu tak pernah lenyap dari benak.

Bertahun-tahun kemudian barulah saya mengetahui bahwa rumah yang digunakan Literati itu adalah milik seorang guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM. Profesor Cornelis Lay namanya. Dia biasa disapa Mas Conny.

Rabu (5/8/2020), Mas Conny meninggal dunia dalam usia 61 tahun di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Keesokan harinya Mas Conny dikebumikan di Pemakaman Sawitsari UGM.

Mas Conny lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 6 September 1959. Dia merantau ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM (sekarang Jurusan Politik & Pemerintahan). Studi itu dirampungkan Mas Conny pada 1987.

Setelah mendapat gelar sarjana, Mas Conny langsung menjadi staf pengajar di Ilmu Pemerintahan serta peneliti di Pusat Antar Universitas (PAU). Tak lama kemudian, dia melanjutkan studinya ke jenjang S2 di St Mary’s University, Halifax, Nova Scotia, Kanada.

Cornelis Lay. (Foto: UGM)

Karier akademiknya melejit setelah itu. Pada 1995, misalnya, Mas Conny mendapat penghargaan Dosen Teladan II dari UGM. Meski demikian, menyebut Mas Conny hanya sebagai akademisi tidaklah cukup untuk menggambarkan sosoknya.

Selain di dunia akademik, Mas Conny turut aktif di jagat perpolitikan Indonesia. Saat duduk di bangku kuliah, dia tergabung dalam organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Selanjutnya, dia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Mas Conny dikenal sebagai orang kepercayaan dan penasihat politik Megawati Sukarnoputri. Meski begitu, namanya tidak ada dalam struktur kepengurusan partai. Mas Conny lebih banyak bergerak dari balik layar.

Keberhasilan Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014 tak lepas dari kontribusi Mas Conny yang kala itu ditunjuk sebagai Ketua Tim Ahli dan Pakar Politik Tim Pemenangan dan Perumus Joko Widodo-Jusuf Kalla. Setelah Jokowi menjadi presiden, Mas Conny-lah yang menulis naskah pidato kemenangannya.

Sebelum itu Mas Conny juga sempat terlibat dalam pemerintahan Megawati, tepatnya pada 2000 sampai 2004. Jabatannya kala itu adalah Kepala Biro Pemerintahan dan Politik Dalam Negeri, pada Deputi Bidang Politik, Sekretariat Wakil Presiden.

Di tengah kesibukan-kesibukannya itu, Mas Conny tak pernah berhenti peduli pada berbagai kegiatan mahasiswa. Kesediaan Mas Conny meminjamkan rumahnya untuk Literati tadi hanyalah satu dari sekian banyak bentuk kepeduliannya.

Cornelis Lay, bukan akademisi biasa. (Foto: UGM)

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, juga pernah merasakan kepedulian Mas Conny sebagai dosen. Pada 1993, Anies yang masih berkuliah di UGM dan menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa memimpin demonstrasi menuntut pembubaran SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah).

SDSB, bersama Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan), merupakan cara pemerintah Orde Baru mengumpulkan dana dari masyarakat. Supaya banyak peminatnya, kupon-kupon pembelian itu diundi dan pemenang undian bisa mendapatkan hadiah uang dalam jumlah besar.

Dengan kata lain, SDSB dan Porkas adalah bentuk judi terselubung. Pada medio 1980-an, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengecam program ini. Porkas pun akhirnya tiarap pada 1987, tapi SDSB tidak ikut dibubarkan.

Memasuki awal 1990-an, demonstrasi menentang SDSB dan rezim Orde Baru semakin gencar dilakukan di kampus-kampus. Usaha itu akhirnya berbuah manis.

Biasanya, demonstrasi-demonstrasi menentang SDSB bisa diredam ketika Laksamana Sudomo turun tangan. Itulah mengapa SDSB kemudian dipelesetkan kepanjangannya menjadi “Sudomo Datang Semua Beres”. Namun, pada 1993 itu, Sudomo akhirnya menyerah. Dia sendirilah yang mengumumkan pembubaran SDSB.

Kupon SDSB (atas) dan Porkas. (Foto: Tokopedia)

Ketika memimpin demonstrasi, Anies tidak tahu bahwa Laksamana Sudomo sudah mengumumkan pembubaran demonstrasi. Sampai akhirnya, dengan teriakan lantangnya, Mas Conny memberi tahu Anies bahwa misinya sudah berhasil.

Rekam jejak Mas Conny selama hidup itu membuat namanya tetap harum. Para pembesar negeri pun datang langsung ke pemakamannya untuk memberikan penghormatan terakhir.

Bukti harumnya nama Mas Conny salah satunya bisa ditengok dari dominasi sentimen positif di pemberitaan serta perbincangan mengenai kematiannya. Newstensity mencatat, sejak Rabu (5/8) sampai hari ini, Jumat (7/8), ada 146 berita tentang Mas Conny. Dari situ, 136 di antaranya bersentimen positif, enam bersentimen negatif, satu bersentimen netral.

Namun, sentimen negatif di situ bukan berarti suara miring untuk Mas Conny. Sentimen negatif yang dicatat Newstensity adalah berita-berita yang menunjukkan duka seperti “Prof Cornelis Lay Berpulang, UGM Berduka” dari Republika.co.id atau “Jokowi Kirim Karangan Bunga atas Meninggalnya Prof Cornelis Lay” dari kumparan.com.

Bahkan, di media cetak, yang ada cuma sentimen positif. Sama sekali tak ada berita bersentimen negatif maupun netral. Salah satu contoh berita yang dimaksud berjudul “Egaliter, Lebih Senang Dipanggil Mas oleh Mahasiswanya” dari Radar Jogja.

Pertumbuhan jumlah berita kematian Prof. Cornelis Lay. (Foto: Newstensity)
Ontologi pemberitaan kematian Prof. Cornelis Lay. (Foto: Newstensity)

Sementara itu, sentimen dari pernyataan perorangan terpantau cukup variatif. Ada 53% sentimen positif, 43% sentimen netral, dan 4% sentimen negatif. AKan tetapi, sentimen negatif di sini juga tidak benar-benar negatif.
Misalnya, ada pernyataan dari mantan Rektor UGM, Profesor Pratikno, yang banyak menggunakan kata “tidak” sehingga terbaca sebagai sentimen negatif.

“Mas Conny yang saya kenal adalah seorang akademisi, pemikir, dan selalu kritis, tidak tergiur dengan gemerlap jabatan, tidak terseret oleh arus kekuasaan, dan selalu berjuang untuk kemanusiaan,” tutur Pratikno, dilansir Suara Pembaruan (7/8).

Di media sosial Twitter, sentimen positif mendominasi dengan persentase 84%. Salah satu sentimen itu terlihat dalam unggahan berita dari Tempo.co yang berbunyi: “Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya, mengatakan mendiang Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, merupakan sosok nasionalis yang patut diteladani generasi bangsa. #ugm #CornelisLay”

Adapun rekam jejak Mas Conny sebagai politisi dan akademisi bisa juga terlacak melalui ontologi pemberitaan yang dicatat Newstensity. Dari data itu terlihat bagaimana berita soal Mas Conny turut membawa nama Megawati, Jokowi, serta Erwan Agus Purwanto (Dekan FISIPOL UGM).

Artinya, baik sebagai politisi dan akademisi, Mas Conny benar-benar sudah berhasil karena pada akhirnya dua hal itulah yang diingat publik Indonesia dari sosoknya.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.