Pemberitaan Isu Merger Grab dan Gojek Masih Sepi

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
6 min readDec 3, 2020

Pada suatu masa yang belum lama berlalu, orang-orang Indonesia memiliki tiga pilihan utama ketika hendak mencari tumpangan untuk pergi ke suatu tempat, mengantar barang, maupun membeli makanan tanpa harus bangkit dari tempat duduk. Tak lama lagi, pilihan yang ada bisa jadi tinggal satu.

Gojek, Grab, dan Uber, itulah tiga pilihan utama yang dimaksud. Pada dasarnya, tiga perusahaan itu merupakan pemberi layanan untuk mencari tumpangan (ride-hailing), tetapi kemudian mereka berevolusi. Makin lama fungsi mereka bertambah sehingga mampu melayani banyak sekali kebutuhan.

Gojek mulai beroperasi di Indonesia pada 2010 sebagai call-center untuk pemesanan ojek. Lima tahun kemudian barulah mereka meluncurkan aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk memesan tumpangan dan makanan serta berbelanja.

Peluncuran aplikasi Gojek itu terjadi di tahun yang sama dengan masuknya Grab ke Indonesia. Grab sendiri didirikan di Singapura pada 2012 dan langsung berwujud aplikasi. Namun, setahun sebelum itu, Uber yang berdiri di Amerika Serikat pada 2009 sebetulnya sudah masuk terlebih dahulu ke pasar Indonesia.

Selama kurang lebih tiga tahun terjadilah perang memperebutkan pasar antara Gojek, Grab, dan Uber. Beragam cara mereka kerahkan mulai dari membuat iklan yang menarik sampai memberikan promo-promo menggiurkan. Promo yang dimaksud biasanya berbentuk kortingan harga untuk layanan yang mereka berikan.

Aliksah pada suatu masa.

Namun, pada 2018, Uber tumbang. Perusahaan itu memang masih eksis dan memberikan layanan di banyak negara Eropa serta Amerika, tetapi di Asia Tenggara mereka berhenti beroperasi setelah layanannya diambil alih oleh Grab.

Semenjak itu, duopoli pun terjadi. Tinggallah Grab dan Gojek sebagai dua pemain utama. Sebetulnya, ada perusahaan serupa dari Rusia bernama Maxim. Akan tetapi, jangkauan Maxim tidaklah seluas Grab dan Gojek. Oleh karenanya, Maxim tidak bisa disebut sebagai pemain utama.

Apalagi, Maxim hanya memfokuskan diri pada layanan transportasi. Layanan-layanan ekstra mereka pun masih berbau transportasi, seperti layanan derek serta starter aki. Sementara itu, Gojek dan Grab telah berevolusi menjadi super app.

Gojek bahkan sempat memiliki dua aplikasi, yaitu Gojek dan GoLife. Aplikasi yang disebut belakangan mengkhususkan diri pada layanan-layanan yang tidak melibatkan kendaraan bermotor seperti layanan pijat (GoMassage) serta pembersihan rumah (GoClean).

Pada akhirnya, GoLife tidak bertahan lama. Adalah pandemi virus corona yang menjadi musabab kematiannya. Keengganan konsumen untuk menggunakan jasa yang menggunakan kontak fisik membuat GoLife mengalami kerugian besar hingga akhirnya ditutup.

Meski demikian, bukan berarti Gojek kehilangan tajinya. Layanan inti Gojek masih berjalan sampai sekarang dan dompet digital mereka, GoPay, memiliki pengguna bulanan aktif (monthly active users/MAU) terbanyak di Indonesia. Setidaknya, begitulah hasil riset iPrice yang dirilis Agustus lalu.

OVO vs GoPay

Sejauh ini, Grab memang tidak pernah melakukan ekspansi semasif Gojek. Akan tetapi, mereka tetap mampu mengimbangi Gojek dalam layanan inti: transportasi dan pemesanan makanan. Untuk dompet digital, Grab (serta Tokopedia) memilih bermitra dengan OVO yang punya MAU terbanyak kedua setelah GoPay.

Ketatnya persaingan Grab dengan Gojek bisa dilihat dari data yang dirilis Katadata pada 2019. Di situ terlihat aplikasi Gojek sudah diunduh 142 juta orang Indonesia, sementara Grab 144 juta. Kontribusi para mitra Grab dan Gojek untuk perekonomian negara juga tak berbeda jauh.

Contohnya: Menurut survei FEB UI, GoFood berkontribusi sebesar Rp18 triliun terhadap produk domestik bruto Indonesia. Sementara itu, menurut survei CSIS dan Tenggara, GrabFood memiliki kontribusi Rp20.8 triliun. Jika ditotal, kontribusi Gojek Rp44,2 triliun, sementara Grab Rp48,9 triliun.

Itu baru di Indonesia, belum di Asia Tenggara secara keseluruhan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah medan kunci pertempuran Grab dan Gojek. Namun, bukan berarti Indonesia jadi front satu-satunya.

Menurut data yang disampaikan CNBC Indonesia pada 2019, Grab telah hadir di 339 kota di delapan negara, 224 di antaranya di Indonesia. Gojek, sementara itu, sudah eksis di 207 kota di empat negara Asia Tenggara, dengan 203 di antaranya di Indonesia.

Dari situ bisa tergambar betapa ketatnya persaingan Grab dan Gojek. Dari situ pula bisa dipahami mengapa CEO SoftBank menjadi sangat khawatir dengan persaingan yang ada. Bagi kedua perusahaan tersebut, merger menjadi sesuatu yang masuk akal, terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang.

CEO SoftBank, Masayoshi Son, orang yang getol mendorong merger Grab & Gojek.

Yang jadi persoalan, merger tersebut bisa jadi takkan terlaksana karena bakal ada hambatan dari regulator. Analis Fitch Solutions, Kenny Liew, menyatakan bahwa merger Grab dan Gojek bisa berujung pada PHK massal, sehingga regulator kemungkinan takkan menyetujuinya. Belum lagi jika kita bicara soal monopoli.

Secara teknis, apabila Gojek dan Grab bergabung, monopoli memang tidak akan terjadi. Akan tetapi, karena mereka berdua adalah pemain terbesar, layanan ojek daring akan terasa seperti monopoli. Konsumen berpotensi menjadi korban dari merger tersebut.

Info merger Grab dan Gojek ini sebenarnya belum mendapat porsi pemberitaan yang cukup besar. Terbukti, sejak Bloomberg mengabarkan merger keduanya takkan lama lagi terwujud, baru ada 28 pemberitaan yang muncul. Ke-28 berita itu muncul pada 2 dan 3 Desember 2020.

Dalam sepekan terakhir pun Grab dan Gojek tidak terlalu sering diberitakan (98 kali). Dari sana, 37 berita berasal dari keberhasilan BNI Application Programming Interfaces (API) ikut serta dalam ajang DevPortal Awards. Nama Gojek dan Grab disebut di sana karena mereka termasuk dalam deretan rekanan BNI.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kabar merger Grab dan Gojek ini telah mulai berembus sejak awal tahun. Hanya, karena memang belum ada realisasi apa pun, berita tentang isu ini pun datang dan pergi dengan cepat. Sebelum ini, berita merger tersebut sempat kencang terdengar pada Oktober tetapi tak bertahan lama.

Dari 28 berita yang muncul dalam dua hari terakhir, 24 di antaranya menghasilkan sentimen positif dan 4 lainnya negatif. Tidak ada berita bersentimen netral satu pun. Semua berita mengenai merger pun baru muncul di media daring.

Berita Grab dan Gojek dalam sepekan terakhir.
Berita Grab dan Gojek dalam dua hari terakhir, ketika isu merger kembali berembus.

Dari empat berita bersentimen negatif, tiga di antarnya memiliki sumber yang sama, yaitu pemberitaan Reuters berjudul “Grab tells staff it’s ‘in a position to acquire’ after Gojek merger report”. Dari Reuters, berita ini diteruskan oleh The Edge Markets dan The Star. Sementara, satu berita bersentimen negatif lainnya berasal dari Detik dengan titel “Awal Mula Berhembus Isu Gojek dan Grab ‘Kawin’”.

Selain empat berita itu, yang ada cuma sentimen positif. Pemberitaan pun tidak cuma muncul dari media-media Indonesia tetapi juga media asing seperti The Straits Times (Singapura) maupun South China Morning Post (Hong Kong). Maklum saja, Grab dan Gojek memang perusahaan berkelas regional, bukan lagi nasional.

Meski demikian, isi pemberitaan yang ada masih seragam karena media-media baru memiliki satu sumber, yaitu dari Bloomberg. Sejauh ini, baru Detik yang berusaha menjelaskan secara khusus duduk perkara di balik berembusnya rumor merger tersebut. Namun, info yang dimuat di Detik itu pun sesungguhnya bisa ditemukan di media lain.

Sejauh ini, perkembangan isu bisa dibilang lambat. Dalam beberapa jam terakhir sampai artikel ini ditulis, baru ada dua perkembangan. Pertama, bahwa Gojek kabarnya sempat ditawari jatah saham 30 persen. Kedua, bahwa Gojek dan Grab secara resmi masih belum mau menanggapi rumor yang ada.

Artinya, merger Gojek dan Grab ini bisa jadi belum akan terwujud dalam waktu dekat. Ada banyak sekali hal yang harus dipikirkan dan, bisa jadi, rencana ini bahkan takkan terwujud sama sekali lantaran terbentur regulasi. So, let us just wait and see.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.