Pertamina Rugi, Ahok Diserang Bertubi-tubi

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readAug 26, 2020

Sudah hampir setahun Mulan Jameela dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetapi namanya terbilang amat jarang menghiasi berita-berita politik. Sejak sah menjadi wakil rakyat, Mulan baru sekali muncul di media massa dalam kapasitas tersebut, yaitu pada November 2019 tatkala dia mempertanyakan kinerja PLN.

Pada Agustus 2019, mati listrik massal terjadi di Pulau Jawa. Kejadian itulah yang membuat Mulan, sebagai anggota Komisi VII DPR RI, mempertanyakan kinerja PLN. Dia menagih janji PLN untuk memberikan kompensasi terhadap konsumen yang terkena dampak mati listrik massal tersebut.

Melompat ke Agustus 2020, nama Mulan akhirnya hadir kembali ke berita politik. Lagi-lagi, PLN yang jadi sasaran tembaknya. Kali ini, yang menjadi sorotan Mulan adalah kabar bahwa perusahaan tersebut memiliki utang sampai Rp694,79 triliun.

“Dengan kondisi keuangan seperti ini tentu saja cukup mengagetkan dan tidak sehat,” tutur Mulan saat Rapat Dengar Pendapat dengan PLN di Komisi VII DPR RI, Selasa (25/08/2020), dikutip dari CNBC Indonesia.

“Apa langkah yang dilakukan PLN untuk mengatasi dan membayar utang tersebut?” sambung Mulan.

Utang PLN tersebut bersumber dari ketidakmampuan mereka membiayai pembangunan infrastruktur kelistrikan secara mandiri, termasuk proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Lantaran besar pasak daripada tiang, PLN pun terpaksa berutang untuk merampungkan proyek-proyek itu. Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, menyatakan bahwa sudah lima tahun perusahaan pimpinannya membiayai proyek dengan jalan demikian.

Tingginya besaran utang PLN itu sudah sampai ke telinga publik sejak akhir 2019 silam dan kabar buruk seperti itu telah menjadi tren di kalangan BUMN. Ya, PLN bukan satu-satunya perusahaan pelat merah yang keuangannya bermasalah pada 2020 ini.

Kumparan mencatat, pada 2020 ada empat BUMN yang mencatatkan kerugian. Yakni, Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Garuda Indonesia, dan Pertamina. Pandemi virus corona membuat sektor industri perusahaan-perusahaan tersebut terpukul.

Angkasa Pura I & II, sepanjang semester I 2020, mencatatkan kerugian masing-masing Rp1,16 triliun dan Rp838 miliar. Sementara, Garuda Indonesia rugi Rp10,40 triliun. Padahal, pada semester yang sama di 2019, semua perusahaan ini menorehkan laba. Minimnya jumlah penerbangan jadi musabab utama di balik anjloknya pendapatan tiga BUMN tersebut.

Lalu bagaimana dengan Pertamina? Sebesar apa sebenarnya efek pandemi terhadap mereka?

Senin (24/8) silam Pertamina merilis laporan keuangan semester I 2020 dan dari situ diketahui bahwa mereka mengalami kerugian hingga Rp11,13 triliun atau US$767,91 juta. Sebagai pembanding, pada periode yang sama tahun lalu, Pertamina mendapat laba US$659,95 juta, atau Rp9,56 triliun.

CNN Indonesia mencatat ada beberapa faktor yang membuat Pertamina bisa sampai mengalami kerugian. Pertama, turunnya penjualan yang mencapai 24,71 persen. Jika tahun lalu Pertamina bisa mendapatkan US$25,54 miliar dari penjualan, tahun ini nilainya turun ke angka US$20,48 miliar.

Penurunan pendapatan disumbang oleh penurunan penjualan minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak dalam negeri dari US$20,94 miliar menjadi US$16,56 miliar. Tak cuma itu, Pertamina juga mengalami penurunan pendapatan dari aktivitas operasi lainnya, dari US$497,23 juta menjadi US$424,80 juta.

Faktor kedua yang membuat Pertamina merugi adalah turunnya subsidi dari pemerintah. Tahun lalu mereka mendapatkan US$2,5 miliar tetapi tahun ini angka yang didapat cuma mencapai US$1,73 miliar.

Ketiga, ada penghasilan lain yang hilang dari imbalan jasa pemasaran. Tahun lalu Pertamina berhasil mengantongi US$6,42 juta dari sini tetapi pada tahun ini tak ada sepeser pun pendapatan dari sektor ini.

Terakhir, ada persoalan kurs. Naiknya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah membuat Pertamina mengalami kerugian selisih kurs. Kerugian yang mereka dapatkan dari sini mencapai US$211,83 juta. Padahal, tahun lalu Pertamina mendapat untung selisih kurs US$64,59 juta.

Meski demikian, tak semua kinerja Pertamina layak diberi rapor merah. Sebab, mereka sukses menaikkan penghasilan ekspor minyak mentah, gas alam, dan produk minyak ekspor. Jika sebelumnya nilai penjualan “cuma” US$1,6 miliar, kali ini nilainya naik ke angka US$1,76 miliar dolar.

Selain itu, Pertamina juga berhasil menekan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya dari US$21,98 miliar menjadi US$18,87 miliar. Mereka pun mampu mengerek tipis jumlah aset dari US$67,08 miliar di Desember 2019 menjadi US$70,22 miliar di semester I 2020.

Pertamina juga optimistis pendapatannya meningkat di semester II seiring dengan diterapkannya Adaptasi Kebiasaan Baru alias New Normal. Dikutip dari Kompas, Wapres Komunikasi Korporat Pertamina, Fajriyah Usman, menjelaskan bahwa konsumsi BBM sepanjang New Normal mengalami kenaikan dari masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kantor Pertamina Pusat. (Foto: Suara Merdeka)

Mulanya, konsumsi BBM dalam negeri sepanjang New Normal diprediksi akan turun sampai 20 persen. Namun, kata Fajriyah, penurunannya cuma sampai 12 persen. Inilah yang menjadi dasar di balik optimisme Pertamina.

Kerugian Pertamina tampak masuk akal. PSBB membuat konsumsi BBM menurun karena mobilitas warga tidak seperti sebelum pandemi melanda. Dari situ, wajar jika penjualan produk-produk Pertamina mengalami penurunan. Kerugian pun jadi konsekuensi tak terhindarkan.

Akan tetapi, situasi ini kemudian diwarnai oleh serangan-serangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Oleh sejumlah pihak, mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai tak bisa memenuhi janji.

Tatkala ditunjuk menjadi Komisaris Utama Pertamina pada Januari 2020, Ahok sempat berikrar untuk menyelamatkan uang perusahaan. Kerugian ini membuat Ahok jadi sasaran tembak. Bahkan, seorang anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pria kelahiran Manggar, Bangka-Belitung, itu dicopot dari jabatannya.

“Jika memang tidak mampu, pecat saja. Waktu itu Ahok bilang, merem saja Pertamina sudah untung, asal diawasi. Nah, kalau sekarang Pertamina rugi, artinya apa? Apa Ahok tidak mengawasi? Kok, nyatanya Pertamina bisa rugi?” kata Mulyanto, anggota Komisi Energi DPR RI dari Fraksi PKS, dilansir Tempo.

Faktanya, Pertamina bukanlah satu-satunya perusahaan energi yang merugi selama pandemi. Petronas, perusahaan energi milik Malaysia, tercatat mengalami penurunan profit hingga 68 persen. Penurunan ini terjadi di kuartal pertama 2020.

Indian Oil setali tiga uang. Di kuartal pertama 2020, mereka mencatatkan penurunan profit sebesar lebih dari 35 persen. Pada kuartal pertama 2019, profit Indian Oil tercatat di angka 36,24 miliar rupee. Sementara, pada kuartal pertama 2020, profit mereka “hanya” 23,50 miliar rupee.

Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama. (Foto: Era)

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa kerugian Pertamina itu masih masuk di akal. Sebab, musuh terberat Pertamina di sini adalah pandemi yang belum diketahui kapan bakal berakhir.

Lantas, bagaimanakah sentimen media dalam mengaver berita kerugian Pertamina ini? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya mudah ditebak. Berdasarkan data Newstensity, sentimen negatif mendominasi. Di media daring, 68 persen pemberitaan punya sentimen negatif.

Salah satu angle yang menghasilkan sentimen negatif adalah pernyataan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno. Kepada pewarta, Eddy menyatakan bakal memanggil Ahok cs. untuk memberi penjelasan dalam rapat dengar pendapat.

Yang menarik, dari media elektronik, sama sekali tak ada sentimen negatif. Dari tiga berita yang sudah disiarkan (dua via CNN Indonesia dan satu lewat Kompas TV), dua di antaranya bersentimen positif, sementara satu lagi bersentimen netral (milik CNN).

Variasi baru tampak betul dalam pernyataan perorangan. Dari Eddy, misalnya, sebenarnya ada sejumlah pernyataan yang memuat sentimen positif seperti penjelasan mengenai rapat dengar pendapat. Eddy juga mengakui bahwa kinerja Pertamina tergantung pada penanganan pandemi.

“Kembali lagi, ini tergantung pada penanganan Covid-19 secara keseluruhan. Sekarang ini kita lihat masyarakat sudah berani beraktivitas. Tetapi, tidak semuanya berani beraktivitas secara normal,” tutur Eddy, dilansir rmol.com. Pernyataan bersentimen positif ini sendiri muncul di pemberitaan yang bersentimen negatif.

Tren pertumbuhan berita soal Pertamina rugi Rp11 triliun dan sentimennya. (Foto: Newstensity)

Menurut data Newstensity, pernyataan perorangan bersentimen positif mencapai 52 persen, atau dua kali lipat dibanding pernyataan bersentimen negatif. Artinya, pemilihan judul punya andil dalam menentukan sentimen sebuah berita.

Sementara itu, di media sosial Twitter, perbincangan mengenai kerugian Pertamian didominasi sentimen negatif. Salah satu sentimen negatif muncul dari pernyataan yang mempermasalahkan mengapa Pertamina masih rugi padahal harga BBM tidak turun.

Secara garis besar, Newstensity mencatat bahwa nama Ahok memang paling kerap disebut dalam perbincangan soal Pertamina ini. Setidaknya, 53 persen perbincangan menyatut nama Ahok. Nama kedua yang paling kerap dibicarakan adalah Fajriyah Usman.

Dengan begitu, pernyataan pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, terbukti. Pertengahan Juni 2020, kepada Detik, Komaidi berucap bahwa keberadaan Ahok bakal lebih meningkatkan sorotan publik kepada Pertamina.

“Mungkin karena ada perhatian khusus terhadap Pak Ahok, sampai-sampai, dalam pengambilan kebijakan, beliau yang lebih banyak diberitakan, bukan dirutnya,” kata Komaidi kala itu.

Sekarang, Pertamina tengah merugi. Ahok, sebagai figur paling tenar di sana, pun mau tidak mau harus menerima serangan bertubi-tubi. Seperti halnya penurunan penjualan BBM di masa pandemi, disorotnya Ahok secara berlebihan ini pun bisa dipandang sebagai sebuah konsekuensi logis.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.