Polemik Omnibus Law, Aliansi Rakyat Bergerak: Gejayan Is Calling Kembali

Fajar Yudha
Binokular
Published in
5 min readAug 20, 2020

Melalui tagar #GejayanIsCalling yang sempat masuk papan trending Twitter Indonesia untuk beberapa saat, aksi Gejayan Memanggil pada 14 Agustus 2020 kembali digaungkan. Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) sepakat menggelar aksi gagalkan Omnibus Law di Jalan Gejayan, Yogyakarta. Aksi ini digaungkan kembali karena pemerintah tidak menggubris keresahan rakyat di aksi sebelumnya perihal kebijakan RUU Omnibus Law. Sekaligus menjadi respons terhadap DPR yang mengingkari janji tidak melanjutkan pembahasan Omnibus Law selama masa reses — masa pemberhentian sidang (parlemen).

Omnibus Law merupakan aturan yang memayungi beberapa hal dalam satu undang-undang. Kehadirannya akan menggantikan undang-undang yang lama. Dalam perjalanannya RUU, ini digencarkan pemerintah sebagai upaya meningkatkan investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Namun, niat pemerintah melalui RUU Omnibus Law itu ramai menuai kritikan. Misalnya, perihal potensi RUU ini mengurangi hak pekerja; penggajian yang boleh tidak mematuhi ketentuan upah minimum. Hal ini karena pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus dalam RUU Omnibus Law, padahal terdapat sanksi bagi pengusaha yang melanggar penggajian upah minimum di sana. Selain itu cuti berbayar juga turut dihapus. Tidak ada lagi cuti menikah, cuti anggota keluarga meninggal, sampai cuti istri melahirkan atau keguguran. Juga soal pekerja asing yang tidak perlu syarat izin kerja.

Aksi Gejayan Is Calling

Aksi Aliansi Rakyat Bergerak di jalan Gejayan Yogyakarta atau yang lebih akrab dengan nama Aksi Gejayan Memanggil (GM) kembali digelar. Mengusung tema “Pandemi Dibajak Oligarki: Lawan Rezim Rakus, Gagalkan Omnibus,” ini berlangsung damai. Walaupun pada akhirnya dibubarkan dengan kericuhan tepat di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, jalan Solo-Yogya.

Massa aksi mulanya kondusif berjalan dari Bunderan UGM hingga memenuhi pertigaan jalan Gejayan. Di Gejayan massa mendengar berbagai orasi yang dikumandangkan melalui toa mobil komando (mokom) dan melakukan konferensi pers. Menjelang sore massa kemudian kembali berjalan menuju pertigaan jalan Solo-Yogya (pertigaan UIN). Sesampainya di pertigaan UIN, mokom kembali mengumandangkan suara orang-orang yang berorasi.

Saat petang, polisi yang mengawal jalannya aksi meminta kepada massa aksi untuk membubarkan diri. Tetapi setelah didiskusikan, massa memutuskan untuk tetap tinggal di tempat (pertigaan UIN). Massa menjadikan pilihan ini sebagai ekspresi keresahan terhadap respon pemerintah menanggapi berbagai aksi gagalkan Omnibus Law di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta yang dinilai sengaja diabaikan.

Seusai salat magrib massa aksi menyalakan api di tengah jalan raya pertigaan UIN. Aksi masih berjalan dengan damai saat api sudah dinyalakan. Namun tiba-tiba terdapat gerombolan pemuda yang datang menyerang dengan melempar batu, membawa kayu dan parang. Massa aksi lantas kabur terpecah dengan lari ke arah selatan (masuk ke UIN) dan ke barat (menuju Gejayan).

Anehnya kelompok penyerang massa aksi berasal dari arah gerombolan polisi. Selain itu polisi yang menjaga keamanan aksi tiba-tiba tidak berada di tempat. Sedangkan polisi yang masih terlihat membiarkan penyerangan tersebut. Akibatnya salah seorang massa aksi mengalami pendarahan di kepala akibat terkena lemparan batu. Situasi akhirnya menjadi mencekam karena penyerangan tersebut.

Setelah massa mengalami dekonsentrasi kabur ke arah selatan dan barat, polisi justru membuka akses jalan dan memaksa massa untuk membubarkan diri. Massa aksi sempat saling dorong dengan polisi dari satuan Sabhara yang baru datang saat petang lengkap dengan helm dan tongkat. Hingga akhirnya massa dapat dibubarkan dan kembali ke Bunderan UGM. Di Bunderan UGM mereka membacakan pernyataan sikap dan segera mengeluarkan press rilis.

Penyerang Massa Aksi Bukan Warga

Sempat dikabarkan bahwa penyerang massa aksi yang menduduki pertigaan UIN merupakan warga daerah Papringan — padukuhan daerah pertigaan UIN. Pasalnya ditemukan beberapa unggahan video di internet mengenai penyerangan massa yang mengindikasikan penyerang merupakan warga Papringan. Dalam unggahan video bahkan terdengar teriakan “Papringan bersatu ora iso dikalahne (Papringan bersatu tidak bisa dikalahkan)”.

Namun, pengakuan yang berbeda datang dari dukuh dan ketua RW Papringan. Ketua dukuh meragukan kalau penyerang aksi merupakan warga Papringan. Sebab ketua dukuh tidak mendapat kabar apa pun tentang keterlibatan warganya dalam aksi yang berakhir ricuh dari RT RW ataupun kepolisian. Ia baru diberitahu pukul 10 malam bahwa aksi sempat ricuh.

Pengakuan lain datang dari ketua RW 01 Papringan. Ketua RW, Untung Wahyono, bahkan berani menjamin bahwa warganya tidak terlibat dalam penyerangan aksi tersebut. Beliau mengaku sudah hafal betul dengan warganya yang enggan ikut bersentuhan dengan aksi tersebut. Warga juga meminta akses jalan RW 01 yang langsung bersinggungan dengan lokasi aksi ditutup. Jadi tidak mungkin ada kericuhan yang melibatkan warganya tanpa Untung ketahui. Seperti dalam laporan Kumparan.

Alasan di Balik Aksi Gejayan Is Calling

Aksi Gejayan Memanggil 14 Agustus lalu merupakan aksi yang monumental. Dari sekian aksi yang digelar ARB terhitung September 2019 hingga Agustus 2020, hanya aksi ini yang berakhir dengan kericuhan. ARB sendiri menyatakan dalam setiap aksi yang mereka lakukan selalu diusung secara damai dan mengedepankan nilai kemanusiaan.

Bukan hanya aksi yang berakhir dengan kericuhan. Aksi GM 14 Agustus lalu juga monumental karena bertepatan dengan sidang tahunan MPR dan pidato presiden. Selain itu, aksi ini juga menjadi puncak ekspresi keresahan terhadap DPR yang tetap melanjutkan bahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Seperti dalam laporan Tempo pada 22 Juli 2020 lalu. DPR kembali melakukan pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja meskipun dalam kondisi pandemi dan masa reses. Padahal sesuai dengan hasil audiensi yang dilakukan oleh massa aksi pada 16 Juli, DPR berjanji tidak akan melakukan pembahasan Omnibus Law selama masa reses. Seperti dicuitkan oleh akun @FraksiRakyat_ID sebagai berikut.

Melihat respons pemerintah yang selau acuh dengan aksi protes yang pernah dilakukan ARB di Yogya dan banyak kota di Indonesia. Juga momen rapat tahunan MPR dan pidato presiden. Akhirnya diambil sebagai momentum pergerakan aksi yang kembali digaungkan oleh ARB.

Sentimen bahasan Omnibus Law di Media Sosial

Merujuk pada data socindex mengenai topik Omnibus Law dengan keyword omnibuslaw dan taggar #omnibuslaw selama tiga puluh hari ke belakang sejak 16 Agustus 2020. Terdapat 78.658 ketercapaian (komentar dan suka) topik Omnibus Law di Twitter.

Socindex menangkap respon negatif sebesar 37,38% berjumlah 8.911 tulisan. Sedang untuk respon positif hanya sebanyak 21,26% dengan total sebanyak 5.068 tulisan. Sisanya merespon netral.

socindex: twitter talk sentiment

Lalu di media sosial YouTube sentimen negatif juga muncul lebih tinggi pada 37,5% sedangkan sentimen positif 17,5% dan sisanya netral. Di Facebook bahkan sentiment negatif mencapai 53,03% mengalahkan jauh sentiment positif yang hanya 6,06% untuk topik ini.

Socindex: YouTube & Facebook talk sentiment

Dengan respon sentimen negatif yang tinggi di media sosial, seharusnya dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk mengambil tindakan. Sayangya, terlepas dari data sentimen yang cenderung negatif di media sosial. Pemerintah tetap memiliki keinginan agar RUU ini cepat deselesaikan. Bahkan ditargetkan akan rampung pada Oktober mendatang.

Sementara itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuntut DPR agar menghentikan Omnibus Law. Komnas HAM menilai pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja banyak menimbulkan kekecewaan di masyarakat. Selain itu, pembahasan dinilai cenderung tergesa-gesa dan tidak banyak melibatkan partisipasi masyarakat.

--

--