Polri dan Kebebasan Pers: Tiga Bulan, Dua Kali Terjerembab ke Lubang yang Sama

Heditia Damanik
Binokular
Published in
10 min readApr 8, 2021

Berawal dari status Whatsapp seorang teman wartawan Selasa (6/4), saya jadi tahu ada ribut-ribut di lingkaran pewarta yang dipantik oleh Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Menurut si kawan, isi telegram itu adalah bentuk pembatasan gerak pers.

Surat Telegram Kapolri Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan ditandatangani oleh Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Indonesia (Kadiv Humas Polri) Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 5 April 2021. Surat telegram ditujukan kepada kepala kepolisian daerah (kapolda) serta kepala bidang humas (kabid humas) kepolisian.

Ada 11 poin yang termuat di dalamnya. Poin pertama dari surat telegram tersebut adalah yang dirasa menggangu media. Bunyinya sebagai berikut; “media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas dan humanis”.

Suara publik soal isu ini hampir senada. Seperti teman wartawan saya tadi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim juga melihat surat telegram ini membatasi kerja jurnalistik. Bahkan, kata Sasmito kepada tirto.id, polisi terkesan ingin menutupi aksi kekerasan mereka dari publik dan media. Padahal selama ini polisi dinilai sebagai aktor paling banyak melakukan kekerasan dan telah bertahun-tahun dilabeli AJI sebagai musuh kebebasan pers.

Dewan Pers menuntut penjelasan perihal isi telegram itu dan meminta Polri untuk berhati-hati mengeluarkan kebijakan yang menyangkut media. Padahal selama ini Dewan Pers dan Polri telah menyepakati Memorendum of Understanding (MoU) terkait penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers yang diperbaharui secara berkala. MoU teranyar ditandatangi pada tahun 2017. Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menilai Kapolri tidak bisa atur-atur media dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Kapolri untuk merevisi surat telegram tersebut terutama poin yang kontroversial. Kritik ini belum lagi ditambah komentar-komentar netizen yang kadar sarkasmenya sangat tinggi.

Tekanan publik membuat Kapolri Sigit mencabut surat telegram tersebut sehari setelah penerbitan (6/4). Sigit mengatakan surat telegram itu sedianya untuk internal kepolisian. Nawaitu-nya adalah supaya polisi-polisi tidak bertindak arogan, sebab Sigit masih sering melihat pemberitaan media yang bersentimen negatif terhadap polisi. Ia pun meminta anggota kepolisian agar tak pamer kekerasan sebab tingkah pola mereka selalu jadi sorotan masyarakat. Tak lupa Sigit meminta maaf kepada media dan publik akibat multitafsir surat telegram tersebut. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini pun menekankan bahwa institusinya selalu butuh koreksi dari media dan masyarakat untuk membangun Polri yang lebih baik.

Pergeseran Pola Komunikasi Polri ke Media

Hubungan yang sempat memanas antara polisi dan media membuat saya ingin tahu sebenarnya bagaimana pola komunikasi dua aktor ini. Keduanya penting dalam kehidupan berdemokrasi. Polisi adalah penyelenggara fungsi yuridiksi, sementara media sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Saya coba bertanya perihal pola komunikasi ke dosen ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Frizki Yulianti Nurnisya. Anti, begitu ia biasa disapa, tengah melakukan riset tentang komunikasi publik Polri. Menurutnya, memang ada pergeseran pola komunikasi Polri dengan media setelah Boy Rafli Amar menjadi Kepala Divisi Hubungan Masyarakat/Kadivhumas Polri (2016–2017). Sebelum era Boy, komunikasi Polri ke media relatif kaku. Biasanya Polri akan kontak media jika memang butuh publikasi. Relatif satu arah, begitulah kira-kira.

Beberapa tahun terakhir, Polri terkesan lebih dekat dengan media, terutama saat Kadivhumas Polri dipegang oleh Muhammad Iqbal (2018–2020). Hal itu bisa dilihat dari upaya-upaya seperti menjadi narasumber dalam acara talkshow media, membeli space iklan, membeli slot program acara, dan melakukan media visit. Lewat upaya itu, Polri membangun komunikasi yang tidak kaku dengan media.

Ngadain media visit jadi lebih luwes ngobrolnya. Pas media visit mereka (Polri) bisa cerita santai. Misalnya pas pemilu enaknnya gimana ya, atau kalau demo butuhnya apa, jadi lebih two ways communication,” urai dosen yang tengah menempuh S3 di Universitas Sains Malaysia ini pada Rabu lalu (7/4).

Namun Anti menegaskan, program kehumasan di Polri biasanya tidak bisa lepas dari kebijakan Kapolri. Sebab corak organisasi institusi ini sangat hirarkis. Pada era Kapolri Tito Karnavian misalnya, program kehumasan adalah prioritas. “Mau sehebat apapun strategi PR (public relations) yang dibuat, kalau pimpinannya gak setuju pasti gak akan jalan,” imbuhnya.

Strategi merangkul media yang sudah dilancarkan beberapa tahun terakhir tampaknya harus terganjal kerikil-kerikil komunikasi. Redaksional kebijakan jadi persoalan. Dari data yang saya himpun, di tahun ini saja sudah dua kali kebijakan Polri menuai tanda tanya awak media karena dinilai mengganjal kebebasan pers yaitu Maklumat Kapolri tentang Larangan Kegiatan Forum Pembela Islam (FPI) yang dikeluarkan pada Januari 2021 dan di awal April 2021 muncul sengkarut Surat Telegram Kapolri seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Melihat Siasat Polri Melepas Diri dari Blunder

Pada bagian ini, saya ingin mengulas bagaimana cara Polri menghadapi krisis komunikasi yang terjadi selama tiga bulan terakhir. Hal ini menarik karena dua kasus yang akan dielaborasi sama-sama berawal dari kebijakan, namun ternyata cara Polri menangananinya relatif berbeda. Bagaimana bisa? Mari kita coba pindai satu per satu.

· Maklumat Kapolri tentang Larangan Kegiatan FPI (Kasus Pertama)

Di awal tahun baru, Polri mengeluarkan Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2020 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Maklumat ini terbit pada 1 Januari 2021. Perihal yang dinilai mengusik kebebasan pers adalah poin 2d yang berbunyi “Masyarakat dilarang mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial”. Kala itu respon media langsung ramai. Dewan Pers bahkan meminta poin 2d dalam maklumat tersebut dicabut.

Berdasarkan arsip data Newstensity, ada 1.669 pemberitaan terkait kasus Maklumat Polri pada 1–7 Januari 2021 dan didominasi sentimen negatif.

Grafik 1. Linimasa Pemberitaan terkait Maklumat Kapolri tentang FPI (1–7 Januari 2021)

Kegaduhan di media akhirnya membuat Polri mengeluarkan Surat Telegram Kapolri Nomor ST 1/I/HUM.3.4.5/2021 tertanggal 4 Januari 2021 yang menegaskan bahwa Maklumat Kapolri poin 2d tidak ditujukan untuk media massa selama pemberitaannya sesuai Kode Etik Jurnalistik. Dalam surat telegram itu juga ditegaskan bahwa Polri selalu aktif mendukung kebebasan pers.

Top 3 nama yang disebut dalam pemberitaan berasal dari pihak Polri yakni Mantan Kapolri Idham Azis dan Kadivhumas Polri Argo Yuwono. Mantan Ketua AJI Abdul Manan juga masuk ke dalam jajaran tiga besar.

Gambar 1. Top 3 Nama yang Disebut Dalam Pemberitaan Maklumat Polri tentang FPI

Dari keseluruhan pemberitaan tentang Maklumat Polri, sebenarnya kebebasan pers hanyalah salah satu isu yang berkembang. Hal ini bisa dilihat dari hasil olah data Newstensity yang menunjukkan bahwa dari total 1.669 berita terkait Maklumat Kapolri tentang FPI pada 1–7 Januari 2021, hanya 27 persen yang membahas tentang kebebasan pers. Sementara isu lainnya meliputi reaksi elemen masyarakat tentang pembubaran FPI, penertiban atribut FPI, maupun isu pelanggaran HAM tentang kebebasan berpendapat masyarakat umum.

Grafik 2. Topik Pemberitaan terkait Maklumat Kapolri tentang FPI

· Surat Telegram Kapolri tentang Peliputan Media tentang Kekerasan dan Arogansi Polisi (Kasus Kedua)

Berdasarkan data Newstensity, pemberitaan terkait Surat Telegram Kapolri mencapai 1.265 berita dan puncaknya adalah sehari setelah telegram dikeluarkan atau 6 April 2021. Pada hari itu juga Polri mencabut surat telegram tersebut. Sentimen negatif jelas mendominasi pemberitaan. Namun, pemberitaan positif naik seiring dengan pemberitaan permintaan maaf Kapolri.

Grafik 3. Linimasa Pemberitaan terkait Surat Telegram Kapolri tentang Peliputan Media (2–8 April 2021)

Sementara top 3 nama yang disebut dalam pemberitaan semuanya berasal dari pihak Polri yakni Kapolri Sigit, Kadivhumas Argo Yuwono, dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas Divhumas) Rusdi Hartono.

Gambar 2. Top 3 Nama yang Disebut Dalam Pemberitaan terkait Surat Telegram Kapolri tentang Peliputan Media

Berbeda dari sebelumnya, isu yang muncul di kasus surat telegram sepenuhnya berkaitan dengan media dan kebebasan pers.

· Perbedaan Penanganan Krisis

Pada bagian ini saya akan mencoba mengurai perbedaan penanganan krisis pertama dan kedua dari segi waktu dan bentuk respon. Disertai pula ulasan tentang kemungkinan alasan yang melatarbelakanginya.

Pertama dari segi waktu. Berdasarkan analisis kuantitatif pemberitaan dua kasus di atas bisa diketahui bahwa Polri lebih cepat merespon kasus kedua. Dari grafik linimasa pemberitaan tergambar untuk kasus kedua butuh waktu tiga hari untuk pemberitaan bisa mereda (Grafik 3). Sementara pada kasus pertama butuh tujuh hari (Grafik 1).

Perbedaan ini disebabkan oleh kecepatan respon Polri. Untuk kasus pertama, Polri mengambil waktu 3 hari untuk mengeluarkan respon. Sementara untuk kasus kedua hanya butuh 1 hari.

Kedua dari segi bentuk respon. Untuk kasus pertama, Polri merespon dengan cara memberikan penjelasan lebih lanjut lewat Surat Telegram Kapolri tentang poin 2d di dalam Maklumat Kapolri tentang FPI. Sedangkan untuk kasus kedua, Polri langsung mencabut Surat Telegram Kapolri tentang peliputan media.

Hal ini kemungkinan dilatarbelakangi dengan melihat ragam isu yang berkembang di media. Dari analisis pemberitaan sebelumnya diketahui bahwa dalam kasus pertama, isu yang berkembang bermacam-macam dan kebebasan pers hanya salah satu di antaranya. Sementara di kasus kedua, kebebasan pers jadi isu tunggal.

Selain itu, dalam kasus kedua terkesan kebijakannya langsung “menembak” pers karena ada kata media. Sementara pada kasus pertama keterikatannya dengan media tidak langsung karena yang disebut pada maklumat poin 2d adalah masyarakat, di mana media masuk ke dalam kelompok masyarakat.

Respon kepolisian pada kasus kedua juga disertai dengan permintaan maaf Kapolri atas multitafsir Surat Telegram Kapolri. Sedangkan pada kasus pertama tidak ada perkataan maaf yang disampaikan dan Polri hanya memberikan penjelasan tambahan atas poin 2d yang dinilai menimbulkan polemik bagi awak media. Permintaan maaf tersebut seolah menunjukkan pada kasus kedua Polri mengaku keliru. Sementara pada kasus pertama Polri menegaskan bahwa pihaknya tidak keliru, hanya perlu memberi penjelasan. Kata maaf mungkin tidak keluar di kasus pertama sebab maklumat tersebut utamanya berkaitan langsung dengan isu lain di luar kebebasan pers, yakni isu larangan kegiatan FPI.

Efektivitas Minta Maaf

Apakah permintaan maaf selalu diperlukan dalam menyelesaikan setiap krisis komunikasi? Jawabannya, tidak. Barbara Kellerman dalam Harvard Business Review menyampaikan strategi minta maaf kepada publik memiliki resiko tinggi, terutama bila disampaikan oleh pemimpin. Sebab permintaan publik dari seorang pemimpin punya implikasi yang luas, tidak hanya untuk dirinya namun juga pengikut/bawahan/anggota maupun organisasi yang ia wakili. Pun, harus dianalisis dulu apakah krisis tersebut memang cukup fatal untuk diselesaikan dengan minta maaf.

Namun, masih kata Barbara, belakangan frekuensi permintaah maaf dari pemimpin memang semakin meningkat. Walau meminta maaf adalah pilihan yang membuat seseorang tampak rentan, namun efektivitasinya bisa jadi cukup manjur untuk mengurangi dampak krisis. Terutama apabila media mulai mengutip permintaan maaf tersebut.

Kembali ke soal minta maaf Kapolri Sigit, seberapa jauh media menjadikannya sebagai sajian utama dan seperti apa respon publik?

Berdasarkan olah data Newstensity diketahui bahwa pemberitaan yang menyoroti permintaan maaf Kapolri mencapai 14 persen dari total coverage. Sorotan ini bisa diidentifikasi dari positioning di dalam berita yakni di judul dan lead paragraph. Berita permintaan maaf ini muncul mulai tanggal 6 April hingga 8 April 2021.

Grafik 4. Highlight Judul Pemberitaan tentang Surat Telegram Kapolri

Menilik dari segi konten, secara umum permintaan maaf Kapolri diterima baik bahkan diapresiasi oleh sejumlah pihak diantaranya DPR, Kompolnas, dan Dewan Pers. Kompolnas meminta Polri untuk berdiskusi terlebih dahulu dengan berbagai pihak sebelum mengeluarkan kebijakan, sedangkan Dewan Pers meminta Polri untuk berhati-hati dalam mengeluarkan aturan yang menyinggung kepentingan pers.

Permintaan maaf dalam kasus kedua efektif untuk meredamkan isu dari segi durasi. Hal ini bisa dibuktikan dari grafik linimasa pemberitaan. Kasus kedua hanya mendapatkan atensi dari media selama tiga hari (lihat grafik 3).

Di lain sisi, kami merekam perbincangan terkait kasus Surat Telegram Kapolri terkait peliputan media di Twitter dengan Socindex. Dibandingkan media massa, durasi perbincangan relatif di media sosial lebih singkat. Bisa dibilang, isu ini ramai dibicarakan di media sosial hanya pada tanggal 6 April. Sentimen pembicaraan antara yang negatif dan netral cukup berimbang dengan detil 2.508 percakapan negatif (55,22 persen), 2.288 percakapan netral (47,64 persen), dan 7 percakapan positif (0,14 persen).

Grafik 5. Data Percakapan Twitter terkait Surat Telegram Kapolri (2–8 April 2021)
Grafik 6. Sentimen Percakapan Twitter tentang Surat Telegram Kapolri

Dari segi konten, netizen di Twitter ternyata lebih banyak membahas tentang pencabutan surat telegram dibandingkan permintaan maaf Kapolri. Tanggapan netizen mengenai pencabutan pun beragam. Ada yang apresiatif namun ada juga yang melihatnya sebagai tanda ketidakberesan tata kelola di tubuh Polri.

Sebagai kesimpulan, dari segi durasi pencabutan surat telegram yang disertai permintaan maaf Kapolri memang berhasil meredam isu baik di media massa maupun media sosial. Krisis ini tidak dibicarakan lebih dari tiga hari. Namun dari segi isi respon cukup berbeda. Permintaan maaf di media massa relatif disambut positif, sementara di media sosial, netizen, khususnya twit yang masuk dalam top posts (post dengan jumlah retweet terbanyak) lebih merespon pada pencabutan surat telegram dibandingkan permintaan maafnya.

Lessons Learned

Dua kali mengalami krisis komunikasi serupa harusnya bisa membuat Polri lebih berhati-hati untuk mengeluarkan kebijakan maupun pernyataan serta menghindari redaksional yang samar nan ambigu, terkhusus bila menyangkut kebebasan pers. Bisa dibilang hubungan polisi dan media sangat mudah tergesek apabila komunikasi antar keduanya tidak terbangun dengan baik. Seperti kasus surat telegram ini, alih-alih dinilai humanis, Polri malah dipandang arogan. Padahal arogansi adalah image yang tengah dihindari Polri. Dus, perlu strategi komunikasi yang lebih tepat dari kepolisian baik kepada media maupun publik, sehingga harapannya kesan masyarakat terhadap Polri bisa seperti yang diharapkan dan tidak lagi jadi blunder.

Permintaan maaf Kapolri pun menjadi alarm penting bagi institusi ini. Sebab kalau hal yang sama terjadi berulang di masa depan bisa-bisa publik malah melihat permintaan maaf itu tidak sungguh-sungguh dan obral kata semata.

--

--