#PolriSesuaiProsedur, Benar atau Tidak?

Indra Buwana
Binokular
Published in
7 min readOct 13, 2021

Tanggal 6 Oktober 2021, media jurnalisme publik Project Multatuli merilis reportase yang berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”. Artikel itu menitikberatkan pada upaya Lydia, nama samaran ibu tunggal yang merawat ketiga orang anak itu, untuk mendapatkan keadilan bagi ketiga anaknya yang menjadi korban pemerkosaan ayahnya sendiri. Sayangnya, upaya Lydia terhambat di kepolisian.

Upaya Lydia dimulai pada Oktober 2019, ketika ia mengadu kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPTPPA), Dinas Sosial Luwu Timur untuk mendapat perlindungan. Sialnya, Lydia tidak mendapatkan hal itu dan malah semakin terpojok lantaran ada hubungan relasi pekerjaan antara Kepala Bidang Pusat Pelayanan, Firawati dengan terduga pelaku pemerkosaan serta inkompetensi petugas dinas tersebut.

Laporan Lydia ke Polres Luwu Timur pun dilakukan tanpa pendampingan, dari proses visum hingga pengambilan keterangan. Lydia lagi-lagi dikecewakan karena proses visum “tidak menemukan apa-apa”. Pemeriksaan lanjutan ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Sulawesi Selatan di Makassar pun menghasilkan hal yang sama.

Pada 19 Desember, Kepolisian Luwu Timur lantas menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan. Surat itu memberitahukan bahwa proses penyelidikan dihentikan pada tanggal 10 Desember 2019. Sayangnya, surat tersebut tidak mencantumkan keterangan detail mengapa penyelidikan berhenti.

Lydia akhirnya meminta bantuan ke PPTPPA Kota Makassar. Mendapat perlakuan yang lebih baik, Lydia diberi tembusan kepada LBH Makassar agar mendapatkan bantuan hukum yang lebih baik. Bantuan dari LBH Makassar berujung permintaan untuk mengadakan gelar perkara khusus kepada Polda Sulsel. Namun, jadwal gelar perkara yang diberitahukan Polda Sulsel membuat tim LBH Makassar kurang persiapan. Dari hasil gelar perkara dadakan itu, Polda Sulsel tetap merekomendasikan Polres Luwu Timur untuk menghentikan penyelidikan.

Mengutip dari reportase Project Multatuli tersebut, Rezky Pratiwi dari LBH Makassar mengatakan bahwa ada kecacatan dalam proses penyelidikan Polres Luwu Timur sejak visum pertama hingga pengambilan keterangan terhadap anak. Anak-anak yang terlibat dalam proses penyelidikan seharusnya diberi pendampingan orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial atau pendamping lain sebagaimana mandat dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pratiwi pun menyayangkan sikap kepolisian yang malah fokus ke Lydia sampai perlu diperiksa psikiater, alih-alih mendalami keterangan anak. Penyelidikan yang dilakukan Polres Luwu Timur yang tidak berpihak kepada korban dan tidak berupaya untuk menemukan petunjuk baru menandakan bahwa mereka sangat tidak profesional.

Republikasi Berantai dan Ramai di Twitter

Sesaat setelah artikel Project Multatuli itu rilis, tautan artikel tersebut susah diakses. Project Multatuli melalui akun Twitter @projectm_org memberi keterangan bahwa situs sedang tidak bisa diakses karena terkena serangan DDoS sejak tanggal 6 Oktober 2021.

Sementara perbaikan sedang berlangsung, Project Multatuli mempersilakan media atau siapapun pihak yang berminat merepublikasi (memuat ulang) tulisan tersebut untuk berkontak via surel. Beberapa media didapati melakukan republikasi, seperti Tempo.co, Tirto.id, dan Kompas.com. Dengan kata lain, kabar kasus pemerkosaan yang diiringi inkompetensi pihak kepolisian dalam penyelidikan sudah diangkat ke ranah nasional.

Pantauan Newstensity terhadap kata kunci “project multatuli” di media pada tanggal 6–12 Oktober 2021 menangkap ada 288 artikel. Volume pemberitaan tertinggi terjadi pada tanggal 8 Oktober 2021 dengan 115 berita. Tentu yang terpantau tidak hanya republikasi artikel Project Multatuli, tetapi juga mengenai perkembangan isu itu sendiri.

Linimasa volume pemberitaan tentang Project Multatuli di media.

Artikel Project Multatuli memantik satu pembicaraan di Twitter yang didasari oleh satu masalah pelik, kekecewaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Tagar #PercumaLaporPolisi yang digaungkan awak Project Multatuli menjadi santer dibicarakan di Twitter.

Topik pembicaraan yang mengekor tagar itu tidak jauh-jauh dari ungkapan kekecewaan warga yang sempat berurusan dengan kepolisian. Beberapa contoh yang kami tangkap adalah cuitan dari @dadaniwan tentang razia ilegal, @raviopatra yang ditahan secara ilegal oleh polisi, @roythaniago yang tidak mendapat perlindungan polisi setelah menerima tindakan rasis orang lain, dan @triaaprr yang kecewa dengan layanan digital kepolisian karena tidak bisa diakses untuk mengetahui perkembangan kasusnya.

Tangkapan layar contoh pengalaman publik dengan polisi.

Tagar #PercumaLaporPolisi naik secara organik yang dapat dilihat dari beragamnya testimoni pengguna Twitter tentang pelayanan kepolisian. Ada pula yang tidak mencuitkan pengalamannya, tetapi momentum tersebut juga digunakan untuk melempar kritik terhadap kinerja kepolisian, seperti utas yang dibuat @KontraS dan @ICJRid. Efeknya, tagar #PercumaLaporPolisi sempat menempati daftar trending.

Tangkapan layar contoh cuitan kritik #PercumaLaporPolisi.

Retaliasi Polisi

Melihat namanya tercoreng, kepolisian tidak tinggal diam. Tindak balasan yang pertama kali dilancarkan oleh kepolisian adalah melabeli rilisan Project Multatuli sebagai hoaks. Tindakan tersebut dilakukan oleh akun Instagram Polres Luwu Timur humasreslutim melalui kiriman cerita Instagram. Kiriman itu sempat ditangkap dan diunggah ulang oleh akun @evimsofian.

Dilaporkan Tempo.co, tindakan kelewat batas Polres Luwu Timur bertambah ketika akun humasreslutim mencantumkan nama asli pelapor dengan dalih klarifikasi di kolom komentar kiriman Instagram Project Multatuli terkait. Ada pula laporan bahwa akun humasreslutim mengirim pesan pribadi kepada beberapa akun pembaca dan membuat mereka tidak nyaman.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam label hoaks yang disematkan oleh Polres Luwu Timur itu. Dari laporan Tirto.id, Ketua Umum AJI Sasmito Madrim mengatakan bahwa label hoaks terhadap berita yang sudah terkonfirmasi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik. Sasmito juga mengecam serangan terhadap situs Project Multatuli.

Naiknya tagar #PercumaLaporPolisi tampaknya membuat Polri gerah karena turut menyeret institusi Polri secara keseluruhan. Dilansir CNNIndonesia.com, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Rusdi Hartono kepada wartawan tanggal 8 Oktober 2021 malah mempertanyakan dari mana data pengabaian laporan masyarakat pada kepolisian. Lantas Rusdi meyakinkan setiap laporan pasti akan ditindaklanjuti, tergantung bukti-bukti yang mendukung.

Setelah muncul berbagai desakan, Polri akhirnya turun gunung menangani kasus pemerkosaan kepada ketiga anak Lydia. Dari laporan Liputan6.com, melalui keterangan pers Karopenmas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri tanggal 10 Oktober 2021, Polri sudah menurunkan tim ke Polres Luwu Timur untuk melakukan audit terhadap penanganan kasus tersebut oleh kepolisian. Jika memang dibuka kembali, Mabes Polri akan menurunkan penyidik dari Bareskrim Polri, tidak untuk mengambil alih, tetapi untuk memberikan asistensi kepada Polres Luwu Timur. Rusdi juga menjamin akan melakukan pendalaman terhadap bukti-bukti baru. Baru pernyataan saja sih ini.

Damage Control Citra Polisi

Mabes Polri sudah menyatakan untuk melihat secara langsung kasus pemerkosaan terhadap anak-anak Lydia. Namun, ekses yang diterima Polri akibat langkah yang diambil Polres Luwu Timur cukup besar. Polri terseret dalam krisis citra dengan tagar #PercumaLaporPolisi.

#PercumaLaporPolisi mengangkat kekecewaan publik di Twitter ke permukaan. Kekecewaan ini tidak muncul begitu saja, tapi timbul dari akumulasi dari pengalaman-pengalaman publik terhadap kinerja kepolisian yang tidak baik. Jika kinerja buruk polisi menjadi masalah utama naiknya tagar #PercumaLaporPolisi, maka akan susah mengembalikan citra polisi yang sudah terlanjur jatuh.

Meskipun demikian, citra baik tetaplah hal yang didambakan kepolisian. Nah, ada hal yang menarik yang ditemukan Binokular, yaitu naiknya tagar #PolriSesuaiProsedur. Secara sekilas, tagar tersebut mempromosikan narasi bahwa polisi sudah melakukan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, apakah benar demikian?

Pantauan Socindex pada tagar #PolriSesuaiProsedur tanggal 9–12 Oktober menangkap ada 6.378 cuitan unik, mendapat 14.496 likes, dan memicu pembicaraan sebanyak 12.298 kali retweet dan replies. Total, tagar tersebut berhasil meraup 26.794 audiens.

Statistik tagar #PolriSesuaiProsedur 9–12 Oktober 2021.

Grafik linimasa tagar #PolriSesuaiProsedur memperlihatkan tipe pembicaraan yang terjadi secara singkat. Tidak ada percakapan sama sekali pada tanggal 9–10 Oktober dan sekalinya muncul ke permukaan, percakapan langsung memuncak hingga 11.722 kali pada tanggal 11 Oktober. Angka menukik tajam pada hari berikutnya.

Linimasa percakapan #PolriSesuaiProsedur di Twitter.

Socindex menangkap ada unggahan serentak oleh akun-akun yang berafiliasi dengan kepolisian yang dimulai pada sekitar pukul 09.00 pada tanggal 11 Oktober. Cuitan akun humas kepolisian seperti @1trenggalek, @HumasPolresTem1, dan @HumasPoldaJatim menjadi inisiator tagar #PolriSesuaiProsedur agar bisa dibicarakan lebih luas. Konten cuitan akun-akun tersebut secara khusus menekankan penanganan kasus pemerkosaan ketiga anak Lydia di Luwu Timur berjalan sesuai prosedur.

Akun-akun kepolisian mengunggah tagar #PolriSesuaiProsedur.

Uniknya, akun yang me-retweet kiriman @1trenggalek tersebut cenderung memiliki keberpihakan kepada pemerintah. Itu dilihat dari tendensi akun-akun tersebut menampilkan simbol bendera merah putih atau klaim NKRI di deskripsi profilnya.

Tangkapan layar akun pe-retweet cuitan @1trenggalek

Itu memunculkan kecurigaan bahwa naiknya #PolriSesuaiProsedur tidaklah organik. Tagar tersebut dinaikkan secara serentak dan sistematis agar orang-orang turut membicarakannya untuk menutupi tagar #PercumaLaporPolisi dan kasus pemerkosaan anak Lydia di Luwu Timur. Dalam hal ini, akun-akun kepolisian dan propemerintah itu bertindak sebagai pendengung bagi tagar #PolriSesuaiProsedur

Tujuan tagar #PolriSesuaiProsedur agar dibicarakan secara luas tercapai. Namun, alur pembicaraan tampaknya tidak seperti yang diharapkan pihak kepolisian. Cuitan top post untuk tagar tersebut tidak muncul dari akun polisi, tapi dari akun @mardiasih yang mempertanyakan keabsahan tagar tersebut dengan tuntutan masyarakat, @ilhambala yang mengunggah video kekerasan yang dilakukan polisi, dan @fahrisalam yang memberitahukan naiknya tagar #PolriSesuaiProsedur dimotori oleh akun-akun kepolisian. Dampaknya, tagar #PolriSesuaiProsedur malah rentan berbalik menyerang pihak kepolisian karena tidak sesuai dengan narasi yang lebih besar.

Daftar cuitan teratas tagar #PolriSesuaiProsedur

Alih-alih melakukan evaluasi, pihak kepolisian malah menaikkan narasi yang berujung pada perang tagar. Alangkah baiknya jika kepolisian menunggu tagar #PercumaLaporPolisi surut terlebih dahulu. Dan lebih baik lagi jika tidak memancing publik dengan tagar tandingan yang dinaikkan secara sistematis. Semoga momentum ini digunakan kepolisian untuk menjadi lebih profesional dan humanis. Tidak hanya sebagai polesan citra, tapi direfeleksikan melalui kinerja. Semoga.

--

--