Problema Klasik Kenaikan Cukai Rokok: Kesehatan VS Ekonomi

Indra Buwana
Binokular
Published in
6 min readDec 11, 2020

Tanggal 10 Desember 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui konferensi pers virtual menetapkan bahwa cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok untuk tahun 2021 akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 12,5%. Kebijakan ini efektif mulai Februari 2021. Kenaikan cukai rokok tidak diikuti dengan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok. Sebagai perbandingan, cukai rokok untuk tahun 2020 sendiri telah dinaikkan sebesar 23% dan HJE naik 35% setelah pada tahun 2019 tidak ada kenaikan.

Dasar alasannya adalah komitmen pemerintah yang untuk terus mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan komoditas satu ini. Ada lima aspek yang disorot Sri Mulyani, yaitu: penurunan prevalensi merokok terkhusus untuk anak usia 10–18 tahun, tenaga kerja di industri tembakau, petani tembakau, rokok ilegal, dan penerimaan dari cukai. Sri Mulyani mengelaborasi bahwa kenaikan ini menyeimbangkan kondisi ekonomi dan aspek kesehatan yang melihat situasi pandemi Covid-19 yang masih berjalan.

Kenaikan cukai diberlakukan untuk beberapa golongan hasil tembakau. Sigaret Putih Mesin (SPM) I dinaikkan 18,4% dari Rp 790/batang jadi Rp 935/batang. SPM IIA naik 16,5% dari Rp 485/batang jadi Rp 565/batang. SPM IIB naik 18,1% dari Rp 470/batang jadi Rp 555/batang.

Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) I naik 16,9% dari Rp 740/batang jadi Rp 865/batang. SKM IIA naik 13,8% dari Rp 470/batang jadi Rp 535/batang. Sedangkan, SKM IIB naik 15.4% dari Rp 455/batang jadi Rp 525/batang.

Sedangkan untuk rokok golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan cukai. Cukai rokok golongan SKT IA tetap Rp 425/batang, SKT IB Rp 330/batang, SKT II Rp 200/batang, dan SKT III Rp 110/batang. Sri Mulyani menambahkan bahwa jenis industri ini memiliki unsur tenaga kerja terbesar yang menyerap 158.552 orang.

Kenaikan cukai rokok pasti akan berhadapan dengan masalah klasik faktor kesehatan ditarungkan dengan keberlangsungan industri udud. Menekan prevalensi rokok, terutama dari kalangan perkokok anak dan remaja, menjadi salah satu alasan yang sering digaungkan pemerintah.

Mengutip dari Atlas Tembakau Indonesia 2020 terbitan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, prevalensi perokok usia di atas 15 tahun pada tahun 2018 berada di kisaran 32,2% secara nasional.

Masih dari sumber yang sama, ada peningkatan perokok usia muda dari tahun 2013 hingga 2018 pada rentang usia 10–14 tahun sebesar 0,7% dan usia 15–19 tahun sebesar 1,4%. Angka penambahan tersebut terlihat hanya sekelumit. Namun, untuk usia anak-anak tetap saja mengkhawatirkan karena menunjukkan tren kenaikan.

Sri Mulyani memproyeksikan bahwa affordability index terhadap rokok bisa naik dari 12,2% di 2020, jadi sekitar 13,7% hingga 14% di tahun 2021. Sehingga rokok menjadi makin susah dijangkau. Jadi, pilihan menaikkan cukai menjadi jalan keluar logis untuk mengurangi para perokok usia muda berkantong cekak ini.

Kita tahu lah pengaruh merokok kepada anak bisa muncul dari beberapa hal seperti pengaruh keluarga, teman sebaya, dan harga rokok yang masih bisa dijangkau anak. Jelas-jelas negara tidak bisa mengontrol kehidupan sosial anak.

WHO pun pernah memberikan pernyataan bahwa merokok memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit Covid-19 yang lebih parah. Rokok menjadi salah satu faktor risiko yang merusak fungsi paru-paru dan bisa memunculkan penyakit-penyakit lain seperti penyakit jantung dan kanker. Penyakit-penyakit komorbid ini menaikkan risiko kematian akibat Covid-19.

Apesnya, naiknya cukai rokok bisa jadi menambah beban pengeluaran bagi perokok di kalangan masyarakat miskin. BPS pernah mencatat bahwa pengeluaran untuk rokok, terutama rokok kretek filter, menjadi penyumbang kemiskinan terbesar kedua setelah makanan. Kontribusi rokok ada di angka 11,17% di perkotaan dan 10,37% di desa. Artinya perokok dari masyarakat miskin dipaksa untuk mengurangi konsumsi rokok jika tidak ingin menambah beban ekonomi.

Dari sisi industri rokok, naiknya cukai rokok berpengaruh kepada diproyeksikan berpengaruh pada menurunnya produksi rokok. Dari laporan Bisnis, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar menyatakan bahwa produsen rokok sudah digempur kenaikan cukai sebesar 23%, kenaikan HJE sebesar 35%, dan Covid-19 menyerang pada tahun 2020. Kondisi itu membuat pengusaha rokok kesusahan untuk mengambil margin.

Iklim industri rokok yang serba berat di 2020 pun membuat produksi rokok jadi anjlok 30–35 persen menjadi sekitar 240 miliar batang. Sebagai informasi, menurut data Kemenperin, produksi rokok nasional tahun 2019 mencapai 357 miliar batang. Sulami memperkirakan tren penurunan produksi rokok akan terjadi lagi di tahun 2021 akibat kenaikan cukai rokok.

Dari lansiran Tempo, Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati pesimis bahwa naiknya cukai rokok akan mengurangi prevalensi perokok. Ia mengkritisi bahwa kenaikan cukai rokok menjadi hal aneh karena diterapkan pada situasi ekonomi pandemi yang serba lesu. Ia menilai bahwa naiknya cukai rokok malah bisa berujung pada berpindahnya perokok ke rokok ilegal.

Peredaran rokok ilegal ini pun disadari oleh Menkeu jika cukai rokok dinaikkan. Dari grafik yang dipaparkan Kemenkeu melalui rilis kebijakan cukai rokoknya, peredaran ilegal ini memiliki tren yang meningkat sejak tahun 2016. Pada tahun 2020 saja, Kemenkeu sudah menindak 384 juta batang rokok ilegal dan menyelamatkan pendapatan negara sebesar 339 miliar rupiah. Dengan menaikkan cukai rokok, Kemenkeu berpotensi akan menghadapi tantangan peredaran rokok ilegal yang makin meningkat.

Pemantauan Media Massa

Perkembangan soal kebijakan kenaikan cukai rokok ini dipantau oleh Binokular. Newstensity berhasil menangkap total 760 berita dalam kurun waktu dari tanggal 9 Desember 2020 hingga 11 Desember 2020 pukul 10.00.

Tren pemberitaan pun terlihat memuncak pada tanggal 10 Desember, hari yang sama ketika kebijakan tersebut diketok palu. Berita di hari itu dipenuhi oleh media daring yang selalu menjadi yang tercepat dalam memberitakan suatu isu dengan 519 berita yang terbit pada tanggal 10 Desember saja. Total media daring menerbitkan 667 berita soal isu cukai rokok. Media cetak baru menyusul di hari berikutnya dengan ulasan yang lebih rinci. Total media cetak menerbitkan 82 berita soal isu cukai rokok. Sedangkan dari TV ada 11 berita soal cukai rokok.

Sentimen kenaikan cukai rokok mendapat banyak sorot negatif dari Newstensty. Di media online, 59% persen atau 395 berita ditandai dengan warna merah. Sedangkan sentimen positif mendapat porsi 28% atau 190 berita dan netral 12% atau 82 berita.

Tren serupa terjadi di media cetak, malah proporsi berita negatif lebih tinggi dengan 70% atau 57 berita. Berita positif mendapat bagian 26% atau 21 berita dan netral 5% dengan 4 berita. Untuk TV, ada 6 berita netral (55%), 4 berita negatif (36%), dan 1 berita positif (9%).

Secara general, berita soal naiknya cukai rokok mendapat sorot negatif. Utamanya berita soal efek kenaikan cukai rokok yang membuat harga rokok makin mahal. Naiknya cukai rokok dipersepsikan layaknya kenaikan harga BBM yang makin membebani biaya hidup.

Contohnya dari koran Republika terbitan 11 Desember dengan judul “Menkeu: Rokok Makin Tak Terbeli” yang mendapat sentimen negatif. Konten berita artikel itu lebih banyak merinci paparan Menkeu Sri Mulyani saat melakukan video konferensi pers.

Selain itu dampak kenaikan cukai rokok yang memberatkan industri rokok pun turut berkontribusi menambah berita negatif dalam pemantauan Newstensity. Seperti artikel dari CNN Indonesia dengan judul “Cukai Naik, Asosiasi Ramal Perusahaan Rokok Banyak Tumbang” yang memuat sikap keberatan pengusaha rokok atas naiknya cukai rokok.

Sedangkan sentimen positif berasal dari artikel yang memuat produk turunan dari naiknya cukai rokok, seperti pengendalian prevalensi perokok, utilisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, dan pemberantasan rokok ilegal. Contohnya artikel Medcom.id yang berjudul “Cara Pemerintah Jamin Kesejahteraan Petani dan Buruh Meski Tarif Cukai Naik” yang membahas rencana penggunaan Dana Bagi Hasil.

Berita netral lebih diwarnai oleh dampak kenaikan cukai rokok ke pasar modal. Maklum saja, kebijakan cukai rokok ini menyasar langsung ke hampir seluruh perusahaan rokok, termasuk perusahaan rokok yang melantai di Bursa Efek Indonesia seperti Gudang Garam (GGRM), Wismilak (WIIM), dan Bentoel (RMBA).

--

--