Royalti Musik, Berkah Bagi Musisi Kala Pandemi

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
7 min readApr 13, 2021

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani peraturan pemerintah (PP) yang mengatur royalti hak cipta lagu dan musisi pada 30 Maret 2021 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 31 Maret 2021. Dalam salinan yang diunggah situs Sekretaris Kabinet, PP tersebut mengatur royalti penggunaan lagu dan musik dalam acara publik yang bersifat komersial.

Dalam salinan serupa, definisi royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Pencipta lagu dan pemegang hak ciptalah yang berhak menerima royalti tersebut. Siapa saja pihak layanan publik yang dimaksud dalam PP ini? Pasal 3 ayat 2 menyebutkan:

1. Seminar dan konferensi komersial;
2. Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
3. Konser musik;
4. Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
5. Pameran dan bazar
6. Bioskop.
7. Nada tunggu telepon;
8. Bank dan kantor;
9. Pertokoan;
10. Pusat rekreasi;
11. Lembaga penyiaran televisi;
12. Lembaga penyiaran radio;
13. Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
14. Usaha karaoke.

Lalu bagaimana proses pembayaran royaltinya? Secara sederhana, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menjadi institusi nirlaba berbentuk badan hukum yang ditunjuk pemegang hak cipta untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Beberapa anggota LMK yang sudah berizin tergabung dalam Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebuah lembaga negara non APBN yang memiliki kewenangan menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada LMK-LMK.

Besaran royalti pun berbeda-beda untuk setiap layanan yang terdampak PP ini. Saya mengambil contoh besaran royalti untuk restoran dan kafe yang terkena wajib bayar royalti untuk pencipta lagu dan royalti hak terkait, masing-masing dihitung Rp 60.000 per kursi per tahun atau totalnya Rp 120.000/kursi/tahun. Misal saja sebuah restoran berkapasitas 100 kursi, formulasi penghitungannya adalah 60.000x2x100, maka setiap tahun restoran dan kafe tersebut wajib membayar royalti Rp 12.000.000 kepada LMK.

Didukung Musisi, Ditolak Pengusaha

Kabar pengesahan royalti musik bagi tempat usaha ini mendapat dukungan dari musisi dan pemegang hak cipta lagu, salah satunya adalah Iwan Fals. Musisi senior tersebut mengaku bersyukur dengan adanya PP ini. Dukungan lain juga datang dari musisi Anji dan Anang Hermansyah. Anang berharap penandatanganan PP tersebut bisa membawa angin segar bagi ekosistem musik nasional, sedangkan Anji dalam unggahan Instagramnya mengucapkan terima kasih pada pemerintah atas kepedulian pada musisi.

Sumber: Instagram @duniamanji

Dukungan juga datang dari Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Candra Darusman. Dia menilai PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Maret 2021 itu memiliki terobosan yaitu dengan dibangunnya pusat data lagu dan musik nasional.

Tetapi tidak semua musisi setuju dengan PP yang dianggap menjamin hak-hak musisi ini. Salah satunya adalah Julian Jacob. Dalam sebuah kicauan Twitter yang sudah dihapusnya, Julian mengatakan bagi siapapun termasuk supermarket, hotel, toko kecil, warung, dan kuli bangunan bebas mendengarkan lagunya tanpa perlu membayarkan royalti. Namun kicauan itu sudah diluruskan oleh Anji. Dirinya khawatir komentar Julian bisa menyesatkan masyarakat dan rekan musisi seprofesinya.

Sumber: Unggahan Twitter Julian Jacob yang sudah dihapus

Di sisi lain, PP ini mendapat penolakan dari pihak-pihak yang jenis usahanya tercantum dalam PP untuk wajib membayar royalti. Seperti pengelola Radio Suara Morowali, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Ipul. Menurutnya, pemberlakuan PP ini kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi setelah diterpa badai Covid-19.

Hal serupa disampaikan General Manager Visi Radio Medan, Wisdawati Margaret atau akrab disapa Wiski yang menyebut aturan itu akan menyulitkan industri radio. Menurutnya, kondisi industri radio di Medan sedang kritis akibat Covid-19. Penerbitan PP ini dinilai akan semakin memberatkan industri radio di Medan. Wiski pun meminta pemerintah memikirkan kembali peraturan ini.

Sementara itu, Sekretaris umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M Rafiq mengatakan, aturan yang diterbitkan presiden ini bukan hal baru. Sejak puluhan tahun lalu radio sudah membayar royalti melalui lembaga Karya Cipta Indonesia, namun sekarang dialihkan ke LMKN. Hal yang dipermasalahkan adalah momentum perilisan PP ini di tengah pandemi yang tentunya menyulitkan stasiun radio saat pemasukan tidak sebesar biasanya.

Sektor lain yang menyuarakan keberatannya adalah pengusaha hotel. Sekjen Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut hotel dan restoran keberatan penerapan royalti lagu mengingat tidak adanya nilai komersial dari pemutaran lagu. Menurut Maulana pemutaran lagu di hotel adalah sebagai latar musik dan pembentuk suasana, sehingga tidak memiliki nilai komersil. Hal itu berbeda dengan karaoke yang menjadikan lagu sebagai alat jualannya.

Hal senada diutarakan Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin yang menyebut aturan ini bukanlah hal baru di industri bioskop. Selama ini menurutnya pengusaha bioskop sudah membayarkan royalti musik. Namun, ketidakjelasan aturan membuat upaya itu kurang optimal. Terkait implementasi PP yang baru, Djonny meminta aturan tersebut untuk dimatangkan lagi karena tidak menjelaskan jenis musik apa yang terdampak royalti. Sebab, biasanya di bioskop hanya memutar lagu instrumental.

Tanggapan Publik

Seperti biasa, setiap kebijakan pemerintah kita pasti menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat. Apalagi ini menyangkut musik, hiburan yang paling dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagian menafsirkan segala bentuk pemutaran musik akan dikenai royalti, seperti menyanyi di kamar mandi misalnya. Masyarakat juga tidak perlu khawatir saat berjalan di mall lalu mendengar musik yang diputar pihak mall karena urusan royalti menjadi tanggung jawab pengelola mall. Tafsiran-tafsiran itu muncul karena mereka belum memahami batasan-batasan dalam PP tersebut. Sayangnya, belum ada juga sosialisasi dari pemerintah yang bisa memberi jawaban kepada publik.

Dari pantauan saya, akun Instagram Anji yang paling banyak menjadi sasaran pendengar yang marah. Anji beberapa kali meluruskan salah persepsi dari sesama musisi dan pendengar musik. Seperti yang diutarakan Andi Malewa, salah seorang musisi tanah air. Melalui komentarnya di akun Instagram Anji, Andi meminta semua ekosistem musik untuk duduk bersama karena ketiadaan edukasi publik membuat penafsiran PP ini menjadi beragam yang dikhawatirkan membawa memicu persepsi negatif.

Sumber: Unggahan Instagram Dunia Manji

Poin lain yang banyak menjadi pertanyaan adalah bagaimana royalti untuk pemutar musik streaming seperti Spotify dan Joox? Dalam syarat dan kondisi Spotify misalnya, penggunaan adalah untuk konsumsi pribadi dan jika digunakan untuk acara komersil (misal di kafe) maka akan dikenakan royalti tambahan.

Kemudian, saya juga memantau isu ini di Twitter melalui mesin Socindex. Dari pantauan kami selama Selasa (6/4) sampai Jumat (9/4), isu ini dibicarakan sebanyak 9,124 kali dan meraih total 47,654 audience. Ada 839 unggahan dibuat terkait isu royalti musik selama rentang waktu tersebut.

Sumber: Socindex

Tercatat, isu ini mulai banyak dibicarakan sejak Selasa (6/4) dan mencapai puncaknya pada Rabu keesokan hari. Mayoritas sentimen bernada netral karena publik masih bertanya-tanya bagaimana implementasi dan batasan apa saja yang menjadi objek royalti seperti yang tampak pada diagram dan tangkapan layar berikut.

Sumber: Socindex
Sumber: Unggahan Twitter @Muhidiastu

Pantauan Media

Berbeda dengan perdebatan di media sosial, polemik di media massa terkait isu royalti musik cenderung lebih datar. Melalui Newstensity kami menangkap 238 pemberitaan sejak Selasa (6/4) hingga Jumat (9/4). Pembicaraan mencapai puncaknya pada Rabu (7/4) dengan total 100 berita yang didominasi berita positif.

Sumber: Newstensity

Adapun pemberitaan di media massa tentang royalti musik dibanjiri oleh sentimen positif dengan 197 berita atau mencapai 83 persen dari total pemberitaan. Mayoritas sentimen positif berisi apresiasi pengesahan PP Royalti Musik yang mendapat dukungan dari seniman, seperti berita dari pikiran-rakyat.com berjudul “Apresiasi Keputusan Jokowi Teken Aturan Royalti Lagu, Ernest Prakasa: Langkah Positif dari Pemerintah.”

Sumber: Newstensity

Lantas bagaimana dengan pemberitaan sentimen negatif? Dari hasil pantauan, pemberitaan negatif didominasi berita penolakan dari dunia usaha seperti berita dari radarlombok.co.id berjudul “Kini Giliran PHRI Menolak PP Royalti Lagu” dan juga penolakan dari pengusaha hotel seperti berita dari cnbcindonesia.com berjudul “Polemik Royalti Musik, Pengusaha: Kita Nggak Putar, So What?”.

Kemudian, tiga figur teratas yang paling banyak disebutkan dalam pemberitaan ini adalah Presiden Joko Widodo, diikuti musisi Anang Hermansyah yang juga anggota DPR RI, dan terakhir adalah Anji, salah satu musisi yang paling kritis dalam meluruskan persepsi publik terkait isu ini.

Sumber: Newstensity

Sebenarnya, aturan tentang royalti musik sudah ada sejak dekade 1990-an dan menurut LMKN para pengusaha sudah membayar royalti pemutaran musik sejak tahun 2016. Hanya saja, dalam PP yang baru, para pengusaha keberatan jika ‘level komersial’ penggunaan musik disamakan dengan bisnis karaoke sampai konser musik. Di sisi lain, para musisi mendukung adanya aturan ini namun perlu dipertegas lagi transparansi pemungutan royalti dan tata kelola database lagu nasional agar implementasi PP Royalti Musik bisa berjalan maksimal. Semoga upaya perlindungan hak para musisi bisa berjalan lancar tanpa menganggu kenikmatan kita untuk mendengar musik!

--

--