Simalakama Wisata Jogja

Heditia Damanik
Binokular
Published in
8 min readMay 11, 2021

Beberapa bulan terakhir saya rutin mengikuti forum diskusi pemulihan pariwisata yang digelar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Bakesbangpol Pemprov DIY). Di forum itu saya bertatap muka dengan banyak representasi pentahelix pariwisata di provinsi ini, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis wisata, komunitas, akademisi, hingga media.

Dari situ saya jadi tahu bagaimana sektor wisata terbabat habis-habisan karena pandemi. Lokasi wisata sepi, pekerja terpaksa tak digaji. Di DIY terkhusus, pandemi telah menyebabkan angka kemiskinan meroket dari 1,36 persen di empat kabupaten dan satu kota. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS), persentase naik dari 11,44 persen/440.890 jiwa (September 2019) menjadi 12,80 persen/503.140 jiwa (September 2020).

Meski sedih, tapi angka ini tak membuat saya terkejut, sebab industri yang paling terdampak pandemi yakni pariwisata dan pendidikan adalah salah dua lokomotif utama perekonomian Yogyakarta. Kedua sektor ini pun sangat tergenggam erat mengingat mahasiswa adalah pelancong tetap di Jogja. Para mahasiswa pula biasanya jadi duta promosi nomor wahid lewat sosial media mereka. Ketika kampus ditutup dan para mahasiswa pulang kampung, sektor wisata pun kehilangan ceruk pasarnya. Orang-orang tak plesir, mahasiswa pun tak hadir. Tak ayal kondisi ini memukul telak perekonomian Yogyakarta.

Grafik 1. Perbandingan Tahunan Jumlah Wisatawan DIY 2017–2020 (Sumber: Dinas Pariwisata DIY)
Grafik 2. Perbandingan PDBR 2019 dan PDBR 2020. Akomodasi & makan minum sebagai salah satu representasi industri pariwisata (Sumber: BPS)

Soal bersiasat untuk bertahan kala pandemi, kegigihan pelaku wisata tidak usah dipertanyakan lagi. Berdasarkan pengakuan mereka di forum tersebut, pelaku wisata sudah menerapkan protokol kesehatan. Beberapa bahkan sudah mendapatkan sertifikat CHSE (clean, health, safety, environment sustainability) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Yang lain, ada yang mencoba model bisnis baru seperti virtual tourism maupun private tour.

Berbicara wisata pun tak bisa dilepaskan dari branding. Pemberitaan media soal wisata Jogja setahun pandemi juga cukup bagus. Berdasarkan pantauan Newstensity dalam kurun waktu monitoring 1 Maret 2020–31 Maret 2021, pariwisata DIY diwarnai konten positif. Umumnya memang didominasi statement dari pejabat daerah maupun pelaku wisata seperti Kepala Dinas Pariwisata Singgih Raharja, Gubernur DIY Hamengku Bowono X, dan Wakil Walikota Jogja Heroe Poerwadi.

Grafik 3. Linimasa Pemberitaan Pariwisata Jogjakarta 1 Maret 2020–31 Maret 2021 (Sumber: Newstensity)
Grafik 4. Sentimen Pembertaan Pariwisata Jogjakarta 1 Maret 2020–31 Maret 2021 (Sumber: Newstensity)
Grafik 5. Nama yang Paling Sering Disebut Dalam Pemberitaan 1 Maret 2020- 31 Maret 2021 (Sumber: Newstensity)

Namun, upaya maksimal itu tak lantas membuat pariwisata kembali terkayuh rodanya. Regulasi pembatasan gerak masyarakat yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus corona seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, ataupun larangan mudik membuat pelaku wisata tak bisa bernafas. Keluhan atas regulasi pembatasan ini terus muncul di tiap kesempatan diskusi seperti kicauan yang berulang. Pelaku wisata bilang tak bisa bergerak, pemerintah daerah pun tak bisa berbuat banyak. Mentok!

Piknik Lebaran, Bisa Po?

Wisata di hari raya selalu membawa ingatan saya terbang ke beberapa tahun lalu saat saya masih menjadi wartawan di salah satu koran lokal Jogja. Biasanya ketika liputan tentang wisata lebaran, saya akan ke Malioboro lewat Jln Mataram. Di hari normal, untuk bisa sampai ke tujuan hanya butuh waktu 3–5 menit. Namun ketika Lebaran, saya pernah stuck hingga 45 menit padahal naik motor.

Plat-plat luar di jalanan Jogja sudah bukan pemandangan asing ketika libur panjang. Namun sejak mudik dilarang, kini hal itu cuma kenangan. Malioboro bersih dari mobil-mobil pendatang, begitu yang dilaporkan mediaindonesia.com.

Meski mudik nasional dilarang, mudik di dalam provisi atau mudik lokal tetap diperbolehkan. Namun dengan catatan, jika hendak bersilaturahmi warga diwajibkan untuk tes Covid-19.

Lalu bagaimana dengan wisata? Pemprov DIY pun tetap memperbolehkan warga lokal untuk berwisata namun dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Ada sekitar 127 destinasi wisata yang buka saat lebaran. Kapolri meminta daerah untuk menutup lokasi wisata di zona merah dan oranye, akan tetapi hingga saat ini di Yogyakarta tidak ada destinasi wisata yang berada di zona tersebut. Wisatawan lokal juga dikatakan tidak perlu membawa surat negatif Covid-19.

Hal ini terdengar rancu ya, silaturahmi harus tes tapi wisata tidak. Namun, kita juga harus memahami niat pemerintah daerah untuk membantu pelaku wisata yang kembali harus terkungkung karena aturan mudik. Di tengah simalakama wisata ini, memang harus ada kompromi-kompromi yang dibuat. Tapi sekali lagi, wajib hukumnya berpegang pada protokol kesehatan. Pemerintah daerah juga meningkatkan pengamanan di lokasi wisata, termasuk untuk memberi peringatan untuk social distancing dan mencegah kerumunan.

Menteri Pariwisata Sandiaga Uno misalnya meminta pelaku wisata untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan melakukan sertifikasi CHSE. Selain itu beberapa lokasi wisata di Yogyakarta juga akan menggunakan pembayaran retribusi dengan cara non tunai untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.

Di sisi lain, aturan mudik dan penyelenggaraan wisata lebaran di Yogyakarta banyak mendapat sorotan media. Melalui pantauan Newstensity pada tanggal 4–10 Mei 2021 dengan menggunakan keyword “Pariwisata” “Wisata” “Yogyakarta” “Jogja, terjaring 431 pemberitaaan tentang dua isu tersebut. Pemberitaan pun semakin masif menjelang hari H lebaran.

Grafik 6. Linimasa Pemberitaan Mudik dan Wisata Lebaran di DIY periode 4–10 Mei 2021
Grafik 7. Top Newstrend Pemberitaan Mudik dan Wisata Lebaran di DIY periode 4–10 Mei 2021

Asa Melangkah Bersama

Seberapa pahit pun kenyataan industri wisata kini, mengeluhkan keadaan tentu bukan jalan keluar. Dari forum Bakesbangpol yang saya ikuti itu, setidaknya semua pihak bersepakat bahwa terobosan harus hadir agar secara perlahan pariwisata Yogyakarta bisa melangkah.

Ada tiga prinsip utama yang diyakini penting dalam membangun kerangka menyeluruh strategi pemulihan pariwisata Yogyakarta selama pandemi yakni adaptasi, inovasi, dan kolaborasi. Adaptasi perlu dilakukan guna mencegah penyebaran virus corona, inovasi bertujuan memberikan celah-celah baru bisnis wisata, serta kolaborasi pentahelix yang memberi ruang bagi seluruh stakeholder untuk turun tangan. Muara dari strategi ini adalah gerak ekonomi masyarakat wisata.

Saya mencoba untuk menangkap ide-ide yang mengemuka selama diskusi dan menyusunnya ke dalam diagram di bawah. Harapannya, poin-poin tersebut bisa dikembangkan menjadi sebuah strategi holistik dan dilakukan secara beriringan lewat kolaborasi aktor pentahelix pariwisata di Yogyakarta.

Gambar 1. Model Penyelenggaran Wisata di Era Pandemi Berdasarkan Prinsip Adaptasi, Inovasi, dan Kolaborasi dan Kolaborasi Pentahelix (Sumber: Analisis penulis atas hasil diskusi Pemulihan Wisata di Bakesbangpol DIY Februari-April 2021)

Adaptasi

Seluruh lini kehidupan kita dewasa ini harus beradaptasi dengan pandemi. Dalam kasus penyelanggaraan wisata, adaptasi tidak berhenti sampai penerapan protokol kesehatan di destinasi wisata saja. Namun ada juga sertifikasi wisata aman guna memberi rasa tenang bagi para wisatawan. Hal ini harus dilakukan oleh pelaku atau asosiasi wisata dan dibimbing oleh dinas terkait di antaranya Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata. Harus ada komunikasi antar ketiga pihak untuk memastikan mayoritas pelaku wisata sudah melaksanakan poin-poin ini.

Tidak cukup sampai di situ, adaptasi juga harus meliputi vaksinasi pelaku wisata dan penyediaan alat tes covid yang terjangkau. Di DIY saat ini tengah didorong prioritas vaksinasi untuk pelaku industri pariwisata yang bekerjasama dengan Traveloka. Namun Pemprov DIY mengakui bahwa vaksinasi pelaku wisata masih belum merata. Saat ini vaksinasi pelaku bisnis perhotelan dan restaurant masih lebih dominan dibandingkan pelaku desa wisata. Penyediaan alat tes Covid yang terjangkau juga didorong agar pelancong bisa mendapatkan tes dengan harga yang lebih terjangkau. Kini pintu masuk wisatawan ke Jogja yakni Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) dan Stasiun Tugu sudah menggunakan GeNose yang relatif lebih ramah kantong berkisar Rp 40 ribu.

Selain itu, adaptasi juga harus menggunakan teknologi. Salah satunya mendorong adanya aplikasi social distancing yang bisa mengingatkan wisatawan bila jarak terlalu berdekatan dan juga memuat informasi soal perkembangan Covid-19 di Yogyakarta maupun di lokasi wisata. Pemprov DIY saat ini memiliki aplikasi bernama Jogja Pass yang digunakan untuk proses screening Covid-19 sekaligus identitas digital bagi warga DIY maupun pendatang dari luar daerah. Aplikasi ini sudah diinisiasi untuk tracing kasus di destinasi wisata seperti Malioboro. Jogja Pass sedianya bisa lebih didayagunakan untuk kegiatan pariwisata yang lebih luas.

Inovasi

Inovasi jadi kunci penting juga untuk pariwisata bisa mencari ceruk di tengah pandemi. Pandemi juga mengubah jumlah wisatawan dari yang sebelumnya dalam rombongan besar menjadi lebih sedikit dan privat. Pengembangan ide-ide bisnis baru perlu terus dipupuk. Di antaranya virtual tourism, private tourism, road trip tourism, sport tourism, staycation baik hotel maupun desa wisata, dsb. Pengembangan model bisnis sedianya tidak hanya dilakukan oleh pelaku wisata tapi juga bisa berkolaborasi dengan pihak kampus atau akademisi.

Perluasan pembayaran digital juga perlu dilakukan di destinasi wisata. Selain pembayaran digital kerap memberikan diskon, cara transaksi ini juga bisa mengurangi resiko penularan Covid-19. Tentu saja dalam hal ini bisa melibatkan perusahaan-perusahaan dompet digital yang sudah banyak bermunculan. Masih berbicara tentang aktivitas digital, layanan provider di tempat wisata pun butuh jadi perhatian. Selain bisa mempermudah pelancong untuk berbagi pengalaman berwisata di sosial media mereka, jaringan yang kuat juga bisa mendorong model bisnis baru seperti virtual tour.

Selanjutnya inovasi yang perlu dapat perhatian ada pada bagian promosi atau branding. Salah satu narasi penting yang harus dibangun adalah wisata aman. Hal ini berkaitan dengan poin adaptasi. Bila sudah banyak pelaku wisata yang mendapatkan sertifikat CHSE, kabar tersebut bisa diamplifikasi lewat media baik konvensional maupun sosial dengan membangun narasi wisata aman. Sehingga hal itu bisa mengurangi kewaswasan wisatawan terkait penyebaran virus. Pada bagian ini, media sebagai aktor pentahelix bisa ambil bagian. Begitu juga para influencer sosial media.

Kolaborasi

Pola kerja kolaborasi sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis seperti ini. Para pemangku kepentingan mesti duduk bersama untuk membicarakan di mana posisi mereka dan apa yang tiap-tiap mereka bisa lakukan.

Selain yang disebutkan dalam poin sebelumnya, ada juga beberapa kerja kolaborasi yang memungkinkan digencarkan. Pertama, penguatan kondisi ekonomi pelaku wisata yang terpukul ekonominya. Pada bagian ini Dinas Sosial bekerjasama dengan asosiasi wisata sedianya bisa masuk untuk mendata para pelaku wisata yang kehilangan pekerjaan seperti guide, pekerja hotel, supir travel, karyawan biro perjalanan, dan lainnya. Harapannya ada bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau jenis bantuan sosial lain yang bisa disalurkan untuk pelaku wisata tersebut.

Kedua, penguatan modal/insentif atau keringanan bunga kredit untuk pelaku wisata yang memiliki usaha misalnya UMKM merchandise, tempat kuliner, dan sebagainya. Dinas Koperasi dan UMKM pun diharapkan kehadirannya.

Ketiga, penguatan sumber daya manusia (SDM). Dari pandemi ini kita belajar bahwa para pelaku wisata harus pandai banting setir saat krisis menerpa. Misalnya membuat model bisnis baru, berjualan digital, dsb. Pada ceruk ini, komunitas dan pengabdian masyarakat dari universitas bisa memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan.

Keempat, mencari pasar baru untuk produk-produk wisata lewat kerjasama dengan e-commerce dan marketplace.

Poin-poin di atas kiranya bisa semakin memperkuat pelaku wisata baik dari segi ekonomi, modal kerja, keahlian, hingga perluasan market.

Epilog

Selama lebaran, wisata di Yogyakarta tetap digelar dengan memperhatikan protokol kesehatan. Menutup pariwisata secara keseluruhan selama libur panjang ini memang berat dilakukan karena sudah lebih dari setahun industri ini terpaksa sesak nafas. Semoga saja ada strategi pemulihan wisata yang holistik dan kolaboratif yang bisa dilahirkan untuk membantu industri pariwisata bertahan.

--

--