Situs Tempo.co dan Tirto.id Diretas, Mengapa?

Ann Putri
Binokular
Published in
5 min readAug 25, 2020

Jumat, 21 Agustus 2020 dini hari, situs Tempo.co dilaporkan tidak bisa diakses. Selang 15 menit setelah situs tak bisa diakses, lagu “Gugur Bunga” bermain dan layar Tempo berubah warna menjadi hitam.

“Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok.”

Apabila diklik, laman akan beralih ke akun Twitter @xdigeeembok. Sebelum situs Tempo diretas, akun anonim dengan 465 ribu pengikut itu mencuitkan “#KodeEtikJurnalistikHargaMati” dan ”Malam Jumat ada yg lembur. Mampus… db bye… bye… bye…”

Sumber: https://cyberthreat.id/read/8084/Situs-Tempo-Diretas-Akun-Anonim-Pendukung-RUU-Cipta-Kerja-Mengaku-Pelakunya

Selang situs Tempo.co diretas, situs Tirto.id juga ikut mengalami hal yang sama. Tanggal peretasan situs Tirto.id dan Tempo.co terjadi di waktu yang hampir sama. Bedanya para peretas mengusik situs Tirto.id dengan cara yang lebih halus: menghapus serta mengacak-acak artikel yang diunggah ulang.

Melalui penelusuran tim IT Tirto.id, diketahui ada tujuh artikel yang dihapus. Dua diantaranya merupakan artikel yang mengkritik klaim pembuatan obat corona hasil kolaborasi UNAIR, TNI-AD, dan BIN yang dianggap melangkahi sains. Lima tulisan lainnya nampaknya dihapus secara acak oleh peretas untuk menutupi jejaknya.

Setelah tim IT Tirto.id mengunggah ulang artikel yang dihapus, keesokan paginya (22/8) dua artikel yang sama kembali dihapus. Setelah diunggah ulang lagi, alih-alih dihapus artikel tersebut malah diacak isinya dan diganti sampulnya.

Sebelum Tempo.co dan Tirto.id diretas, situs organisasi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) mengalami hal serupa. Peretasan terjadi tiga hari sebelumnya (18/8) dan situs baru bisa dipulihkan tiga hari setelahnya (21/8). Kerugian yang dialami CISDI bukan hanya situs rusak, tapi juga dokumen-dokumen penting hilang. Sampai hari ini (24/8) beberapa laman CISDI masih belum bisa diakses dengan laman menunjukkan “522: Gateway timed out”.

Ada kesamaan benang dari tiga kasus peretasan ini. Pertama, ketiganya mengkritik kebijakan pemerintah. Tempo beberapa kali menuliskan artikel tentang penggunaan influencer oleh pemerintah untuk mendorong agenda Omnibus Law. Ketika kasus influencer ini naik, Koran Tempo adalah media pertama yang mewawancarai beberapa influencer yang terlibat, seperti Ardhito Pramono. Tirto.id sejak awal memang kritis dengan agenda pemerintahan, tapi kritikan terhadap penemuan obat COVID19 mungkin dianggap sensitif, mengingat obat anti-COVID19 sedang digebu-gebu untuk sukses. Sedangkan CISDI mengawal penanganan kasus COVID19 dari awal kasus masuk ke Indonesia dan sempat mengkritik bagaimana pemerintah menangani pandemi.

Sapto Anggoro, pemimpin redaksi Tirto.id menyatakan peretasan ini harus ditanggapi secara serius. Kasus ini menunjukkan media tidak aman dalam mempraktekkan upaya demokratisasi. Sentimen yang serupa juga diekspresikan oleh Setri Yasa, Pemimpin Redaksi Tempo.co. Ia menyatakan aksi peretasan ini merupakan bentuk pembungkaman dan intimidasi bagi pers untuk “tidak macam-macam”.

Segera setelah kasus peretasan terjadi, Tirto.id dan Tempo.co segera mengkonsultasikan kasus ini ke LBH Pers dan Dewan Pers. Didampingi oleh LBH Pers, kedua media ini berencana untuk melaporkan kasus ini ke kepolisian. Ini karena kasus peretasan melanggar UU Pers No. 40 tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers adalah hak asasi warga negara.

LBH Pers juga menyatakan ada empat media massa lainnya yang mengalami peretasan, tapi masih menunggu kronologi sebelum kasusnya dibuka ke publik.

Rentetan kasus pembungkaman media harus ditanggapi dengan sangat serius. Pertama, media memiliki hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang menjamin tugas media untuk menyampaikan pemberitaan sesuai fakta yang didapat. Kalaupun ada persengketaan dan pertanggungjawaban, semuanya diselesaikan lewat mekanisme Dewan Pers. Peretasan yang dilakukan oleh pihak anonim dengan alasan yang kabur jelas melangkahi mekanisme ini.

Kedua, peretasan merupakan aksi ilegal yang melanggar pasal 30 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut mengatur perlindungan terhadap serangan siber. Aksi peretasan yang menghapus data juga melanggar pasal 32 ayat (2) UU ITE yang mengatur pengambilan, pemindahan, dan penghapusan data milik pribadi dan publik. Jadi meskipun Indonesia belum memiliki UU yang membahas perlindugan data pribadi, aksi peretasan bisa dihukum menggunakan UU ITE.

Ketiga, aksi peretasan pers ini mirip dengan aksi pembredelan pers yang dilakukan selama masa Orde Baru. Di masanya, Orde Baru menganggap kebebasan pers mengganggu kestabilan iklim politik dan sosial Indonesia.

Tempo, yang saat itu masih berbentuk majalah, juga ikut dibredel oleh Orde Baru karena memberitakan indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur yang dianggap bisa membahayakan stabilitas nasional. Pembredelan Tempo terjadi pada tanggal 21 Juni 1994, diumumkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Selain tempo, Detik dan Editor juga ikut ditutup oleh pemerintah.

Sebelum Tempo, Detik, dan Editor, sudah ada puluhan koran dan majalah yang ditutup oleh pemerintah sejak 1949. Gelombang penutupan pers terus dilakukan hingga Reformasi 1998, dimana pemerintah akhirnya mengabulkan permintaan wartawan untuk menjamin kebebasan pers. Penjaminan kebebasan pers akhirnya dituangkan pada UU Pers No. 40 tahun 1999 yang menggantikan UU No. 11 tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1967, lalu terakhir diubah menjadi UU No. 21 Tahun 1982.

Meskipun kebebasan pers sudah diatur dalam UU yang baru, banyak media yang mengeluhkan kebebasan ini masih belum ditegakkan. Kekerasan terhadap jurnalis kerap terjadi dan angkanya terus naik setiap tahunnya. Ancaman tersebut rasanya semakin nyata melihat peretasan enam media yang baru terjadi.

Lalu bagaimana respons masyarakat dan media soal peretasan ini?

Dari sisi media banyak yang menunjukkan sentimen negatif, terutama media daring. Ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya liputan peretasan Tempo.co dan Tirto.id oleh media-media daring lainnya. Sentimen negatif yang ditunjukkan media daring bisa juga diartikan sebagai penolakan keras terhadap kasus pembungkaman media ini. Tak hanya media daring yang menunjukkan sentimen negatif, Twitter pun juga. Sentimen negatif ini tak hanya datang dari kecaman orang-orang terhadap kasus peretasan, tapi juga sindiran terhadap Tempo.co dan Tirto.id yang dianggap “radikal”.

--

--

Ann Putri
Binokular

Another writer in the sea of talented authors. Open for freelance work.