THR Berujung Pemecatan

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
5 min readMay 17, 2021

Seperti biasa setiap lebaran tiba muncul istilah THR atau Tunjangan Hari Raya. Biasanya, THR diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya menjelang hari raya. Mungkin, karena tidak mendapat THR, tiga lurah di Medan, Solo, dan Jombang ini meminta-minta THR kepada masyarakat. Akibatnya, ketiga oknum lurah tersebut dicopot kepala daerah masing-masing.

Peristiwa lurah melakukan pungli berkedok THR di Medan, Sumatera Utara, terjadi pada 23 April 2021. Saat itu Walikota Medan, Bobby Nasution melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kantor Kelurahan Sidorame Timur setelah mendengar keluhan warga tentang adanya pungli oleh oknum lurah setempat. Bobby yang datang bersama rombongan langsung menanyakan kebenaran peristiwa kepada Lurah Sidorame Timur, Hermanto dan Kepala Seksi (Kasi) Pembangunan Dina Simanjuntak.

Awalnya, Hermanto menyangkal kejadian tersebut. Saat Bobby menunjukkan video sebagai bukti pungli, Hermanto menyebut itu bukan pungli, namun jika ada warga yang memberi ia tidak menolak dan tidak memberi patokan harga. Akibat pungli tersebut, Bobby langsung menelepon Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan meminta Hermanto untuk dipecat.

“Ini luar biasa loh ini. Lurahnya menyatakan langsung enggak minta (uang), tapi ternyata minta. Itu mana boleh kita sebagai pelayan. Sudah jelas semua ada peraturannya,” kata Bobby pada CNN Indonesia.

Kasus pungli oleh oknum lurah selanjutnya terjadi di Solo. Modusnya, para linmas berkeliling ke toko-toko di sekitar Kelurahan Gajahan dengan kedok meminta zakat. Petugas tersebut membawa tanda tangan lurah Gajahan saat menjalankan aksinya. Nominal yang diminta bervariasi mulai dari 50 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah. Dari aksi ini, total uang yang dikumpulkan mencapi Rp 11,5 juta.

Kasus tersebut langsung ditangani Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka begitu mendengar keluhan masyarakat melalui media sosial. Pada Sabtu (1/5), Gibran berkeliling di Gajahan mengembalikan uang kepada para pemilik toko dan meminta maaf kepada publik atas pungli ini. Sedangkan Lurah Gajahan, Suparno, dicopot dari jabatannya sebagai lurah.

Pencopotan Lurah Gajahan ini mendapat resistensi dari para pendukungnya. Mereka beranggapan bahwa Suparno adalah lurah yang baik dan tidak layak dipecat. Namun, Gibran tetap kukuh pada pendirian dengan mencopot Suparno. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahab menyatakan langkah Gibran dalam mengembalikan uang langsung kepada pedagang bisa menambah popularitasnya.

Sumber: Twitter

Berikutnya, kasus pungli oleh lurah terjadi di Jombang. Sebelumnya, beredar surat bertanda tangan Lurah Jombatan yang ditandatangani Lurah Kislan meminta THR kepada warga untuk 16 pegawai kelurahan termasuk dirinya sendiri. Surat itu diketahui pertama kali beredar pada 28 April 2021.

Setelah pungli tersebut viral, Kislan langsung dicopot oleh Bupati Jombang, Mundjidah Wahab karena dianggap tidak sesuai sumpah jabatan dan digantikan dengan lurah yang baru.

Ketiga peristiwa tersebut menggambarkan pola kejadian yang sama. Oknum lurah minta pungli dengan dalih THR, viral, lalu diberhentikan kepala daerahnya masing-masing. Sebenarnya ada satu kasus lagi dari Kelurahan Muktiharjo Kidul, Kecamatan Pedurungan, Semarang, namun pungli itu dilakukan oleh pegawai kelurahan. Dalihnya, pungli senilai Rp 300 ribu dilakukan atas biaya jasa pengetikan dan kas kelurahan. Namun saya akan berfokus pada kasus tiga lurah diatas.

Dalih THR

THR menjadi alasan utama mengapa ketiga lurah diatas melakukan pungli kepada warga yang seharusnya dilindungi oleh mereka. Budaya mengenai pemberian THR dapat dirunut kebelakang hingga masa pemerintahan Perdana Menteri Sukiman Wiryosandjojo. Pada 1951 setelah dilantik Presiden Soekarno, Sukiman lantas membuat beberapa program untuk kesejahteraan Pamong Praja, sebutan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di awal masa kemerdekaan. Sesuai aturan pemerintah, THR hanya diberikan kepada para pamong praja.

Aturan itu dikritik kaum buruh, menurut kaum buruh mereka juga sama-sama bekerja sehingga layak mendapatkan THR serupa. Pada 1954 melalui Menteri Perburuhan S.M. Abidin, keluarlah Surat Edaran “Hadiah Lebaran” bagi kaum buruh. Namun upaya itu hanya untuk menenangkan kaum buruh saja karena tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Barulah pada 1961, melalui Menteri Perburuhan Ahem, THR menjadi wajib dibayarkan oleh perusahaan meski nominalnya belum sebulan gaji kotor.

Lantas, bagaimana posisi Lurah dan staf kelurahan dalam daftar penerima THR yang wajib dibayarkan negara? Saya mengamati Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 42/PMK.05/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberian THR dan Gaji ke-13 Kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2021 yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam aturan tersebut, lurah dan staf kelurahan tidak berada dalam daftar penerima THR oleh negara. Mengingat sumber pendanaan untuk desa berasal dari pendapatan asli desa (dan transfer dari pemerintah pusat), maka THR menjadi kebijakan oleh lurah setempat jika anggaran tersedia. Tentunya, tanpa meminta-minta pada masyarakat dan jika yang terjadi demikian maka sudah masuk kategori pungutan liar.

Pantauan Media

Menggunakan Newstensity kami memantau pemberitaan tentang aksi pungli ketiga lurah tersebut. Tampak dalam chart dibawah, berita mulai bermunculan pada 23 April 2021 saat ramai pemberitaan pencopotan Lurah Sidorame Timur Hermanto oleh Walikota Medan, Bobby Nasution. Kemudian berita sempat relatif sepi sebelum muncul pemberitaan pungli oleh lurah di Solo dan Jombang pada 3 Mei 2021. Puncak pemberitaan juga terjadi pada tanggal tersebut dengan 34 berita yang didominasi oleh berita negatif hingga 29 berita. Dari periode 23 April 2021 hingga 5 Mei 2021, kami mencatat ada 115 pemberitaan terkait.

Sumber: Newstensity

Dari sisi persebaran jenis media, media daring mendominasi pemberitaan dengan 107 pemberitaan, diikuti media cetak dengan 2 pemberitaan, dan media elektronik dengan 5 pemberitaan. Sentimen negatif sendiri mendominasi hingga 81 pemberitaan.

Sumber: Newstensity

Sementara itu dari platform Twitter, tampak bahwa sentimen negatif juga mendominasi isu ini. Dari pantauan kami, sentimen negatif mencapai 94 persen berbanding 6 persen sentiment positif.

Sumber: Newstensity

Penutup

Tindakan ketiga oknum lurah di Medan, Solo, dan Jombang saat meminta THR kepada warganya tidak bisa dibenarkan. Untungnya, para pemimpin daerah bertindak cepat dengan mencopot lurah dan mengembalikan uang yang sudah ditarik seperti yang dilakukan Gibran sebagai Walikota Solo. Di sisi lain, kelakuan para oknum lurah adalah wajah yang kerap kita jumpai menjelang Lebaran. Berkedok anggota ormas dan LSM lalu meminta jatah THR pada masyarakat adalah fenomena biasa. Semoga saja langkah tegas yang diambil para pemimpin daerah diatas bisa memberantas budaya pungli berkedok THR ini di tahun-tahun mendatang.

--

--