UMP 2021: Naik Salah, Tidak Naik Juga Salah

Indra Buwana
Binokular
Published in
6 min readNov 3, 2020

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menerbitkan Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minum Tahun 2021 Pada Masa Pandmi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). SE yang diteken langsung oleh Menaker tanggal 26 Oktober 2020 ini ditujukan kepada para gubernur seluruh Indonesia.

Latar belakangnya, pandemi Covid-19 berdampak pada perekonomian dan kemampuan perusahaan untuk membayar upah pekerja. Sehingga untuk memberikan perlindungan dan kelangsungan bekerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha, perlu dilakukan penyesuaian terhadap upah minum pada situasi pemulihan di masa pandemi.

Dengan pertimbangan demikian, SE tersebut meminta gubernur seluruh Indonesia untuk:

1. Melakukan penyesuaian penetapan nilai Upah Minum Tahun 2021 sama dengan nilai Upah Minimum Tahun 2020;

2. Melaksanakan penetapan Upah Minum setelah Tahun 2021 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Menetapkan dan mengumumkan Upah Minimum Provinsi Tahun 2021 pada tanggal 31 Oktober 2020.

Singkatnya, SE Menaker itu menghimbau para gubernur untuk tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 demi pemulihan ekonomi di masa pandemi.

Kompas dalam wawancaranya dengan Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Dinar Titus Jogaswitani melaporkan sudah ada 28 provinsi yang mengikuti SE tersebut. Tidak semua provinsi menurut dengan SE tersebut. Provinsi-provinsi yang mbalelo tersebut antara lain DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan.

UMP 2021 DKI Jakarta naik 3,27% dari Rp 4.276.349 jadi Rp 4.416.186 dengan catatan boleh naik jika tidak terdampak pandemi Covid-19. Jawa Tengah naik dengan presentase yang sama dengan DKI Jakarta 3,27% dari Rp 1.742.015 jadi Rp 1.798.979. Jawa Timur menjadi provinsi dengan presentase kenaikan UMP paling tinggi 5,65% dari Rp 1.768.000 jadi Rp 1.868.777. Lalu Yogyakarta naik 3,54% dari Rp 1.704.608 jadi Rp 1.765.000, yang ironisnya meskipun sudah naik, masih menjadi UMP terendah se-Indonesia. Kemudian dari luar Jawa ada Sulawesi Selatan yang naik 2% saja dari Rp 3.103.800 jadi Rp 3.165.876.

Keputusan tidak populer ini terang saja memicu protes dari pihak buruh. Para buruh turun ke jalan tanggal 2 November 2020 di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Dalam demonstrasi itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal berorasi mengancam akan melakukan mogok kerja nasional.

“Bilamana pemerintah tetap tidak menaikkan upah minimum para buruh di tahun 2021 dan tidak membatalkan omnibus law UU Ciptaker, saya ingin menyampaikan dengan sekeras-kerasnya supaya Anda yang hadir dan tentunya melalui siaran langsung social media atau melalui kawan-kawan media yang hadir, online, cetak maupun elektronik, saya ingin mengumumkan dengan sekeras-kerasnya mogok kerja nasional akan kita lakukan di seluruh Indonesia,” seru Said Iqbal dalam orasinya.

Ancaman mogok itu baru akan diinstruksikan KSPI jika setelah 3 kali perundingan tidak tercapai kesepakatan. Barisan buruh membubarkan diri dengan tertib setelah perwakilan buruh diterima oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Guntur Hamzah.

Demonstrasi terpantau tidak hanya terjadi di Jakarta. Di hari yang sama, buruh di Batam juga melakukan penolakan terhadap UMP Kepulauan Riau yang tidak naik. Demo serupa juga terjadi di Cirebon. Demonstrasi pun terjadi di Yogyakarta yang notabene tetap menaikkan UMP. Aksi di Yogyakarta dilancarkan oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DI Yogyakarta dilakukan dengan cara topo pepe yaitu dengan berdiam diri di tempat terbuka. MPBI DIY meminta evaluasi terhadap kenaikan UMP yang hanya 3,54% dan menuntut penetapan upah minimum Kabupaten/Kota di atas Rp 3 juta.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil sempat memberikan pernyataan mengenai Jawa Barat yang menuruti himbauan SE Menaker tersebut. “Itu kan sesuai dengan surat edaran, kenapa (UMP Jabar 2021 tidak naik), karena 60 persen industri di Indonesia ada di Jawa Barat dan saat (pandemi) COVID-19 yang paling terdampak itu adalah manufaktur,” kata Ridwan Kamil dalam pernyataannya di Bandung, 2 November 2020.

Alasan Kang Emil masuk akal. Ia tidak ingin membuat industri manufaktur yang sudah merugi karena dampak pandemi, makin terpuruk karena harus membayar gaji buruh yang naik. Lebih lanjut, ia pun meminta agar Jawa Barat tidak dibandingkan dengan daerah lain yang jumlah industrinya lebih sedikit.

Masalah pun muncul dari keputusan yang diambil Anies Baswedan yang tetap menaikkan UMP. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mempertanyakan kenaikan UMP DKI Jakarta yang hanya berlaku pada perusahaan yang tidak terkena dampak pandemi. Ia menganggap penentuan kenaikan upah akan bermasalah ketika diterapkan di lapangan. Bisa jadi akan terjadi perbedaan persepsi antara pengusaha dan buruh dalam melihat apakah perusahaan terkena imbas pandemi atau tidak. “Ini menyulitkan karena pada saat menentukan mana yang terdampak atau tidak terdampak, ini pasti akan ramai. Karena nanti yang akan melakukan justifikasi seperti apa,” kata Hariyadi mewanti-wanti dalam konferensi pers Apindo, 2 November 2020.

Di Jawa Tengah, DPP Apindo Jateng bahkan menyatakan akan mengambil langkah hukum untuk menggugat keputusan yang diambil Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang menaikkan UMP Jateng. Ketua DPP Apindo Jateng, Frans Kongi dalam sebuah siaran pers 2 November 2020, menyatakan bahwa langkah Ganjar mempersulit dunia usaha untuk memulihkan kinerja pasca digempur Covid-19. Ia juga menduga bahwa Ganjar tidak melaksanakan asas-asas pemerintahan yang baik sehingga merugikan dunia usaha yang masih terpuruk. Kebijakan Ganjar itu juga dikaitkan dengan politik terkait kansnya untuk maju dalam Pilpres 2024, yang kemudian Ganjar mengklarifikasi kabar tersebut.

Pemantauan Media

Newstensity memantau perkembangan topik UMP 2021 sejak tanggal 27 Oktober hingga 2 November 2020. Newstensity mencatat, total berita selama jangka waktu pemantauan adalah 3.297 artikel. Jumlah berita pada awal pemantauan terlihat berada di poin 427, dampak SE Menaker yang mulai terendus media. Jumlah berita tidak kemudian naik. Namun, malah menurun selama dua hari. Baru kemudian momentum terjadi pada tanggal 31 Oktober yang bertepatan mulai dengan ditetapkannya UMP 2021 di berbagai daerah merujuk SE Menaker soal UMP.

Tanggal 1 November pun jenis pemberitaan masih serupa. Hanya saja, UMP 2021 yang naik di beberapa daerah lebih menjadi sorotan. Tanggapan dari Menaker sendiri menyoal polemik UMP 2021 pun ada. Mulai muncul pula berita soal persiapan demo buruh yang akan dilakukan pada tanggal 2 November. Pemberitaan tanggal 2 November diwarnai dengan isu soal demo buruh dan ancamannya, polemik kenaikan UMP 2021 yang tidak mengindahkan SE Menaker, dan respon dari Apindo kepada isu ini.

Sentimen positif menjadi yang terbanyak untuk topik ini. Dari media daring, dengan total 2.882 artikel, sentimen positif jadi yang terdepan dengan 1.240 artikel (43%), lalu negatif 966 artikel (34%), dan netral 676 artikel (23%). Sentimen positif masih menjadi yang terbanyak di media cetak dengan 179 artikel (54%), disusul negatif 103 artikel (31%), dan netral 52 artikel (16%) dengan total 332 artikel. Sedangkan TV, sentimen netral memimpin dengan 39 berita (48%), 34 positif (41%), dan 9 negatif (11%) dengan total 82 tayangan.

Uniknya, ulasan sentimen positif bahkan muncul dari berita soal penolakan dan demonstrasi terhadap tidak naiknya UMP 2021. Hal ini memperlihatkan bahwa cara-cara penolakan dilakukan dengan tertib. Balas-balasan narasi antara artikel pro dan artikel kontra pun berjalan dengan cukup “halus” di media jika dibarengi dengan pemilihan kata yang tidak agitatif.

Lain soal jika sudah menyinggung ancaman mogok buruh karena UMP stagnan dan dampak buruk kenaikan UMP bagi perusahaan. Kekecewaan buruh yang berujung pada seruan untuk melakukan mogok mendapatkan sentimen negatif. Namun, jika UMP 2021 dinaikkan, hal itu membuat perusahaan yang masih dalam kondisi buruk akibat pandemi ketar-ketir karena harus terbebani pembayaran gaji pegawai yang naik. Dan hal itu mendapat sentimen negatif juga.

Pro-kontra soal pengupahan buruh memang tidak ada habisnya. Apalagi diperburuk dengan pandemi sial ini. Apa mau dikata. Begitulah peliknya UMP 2021 di masa pandemi. Naik salah, tidak naik juga salah.

--

--