UU TPKS Disahkan, Puan Melenggang

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
9 min readApr 14, 2022

Selasa, 12 April 2022 akan menjadi hari bersejarah bagi upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Oleh kaum perempuan, tanggal ini akan ditulis dengan tinta emas sebagai kemenangan atas perjuangan tak kenal lelah selama enam tahun mengupayakan sebuah undang-undang untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mensahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Palu pengesahan diketok langsung Ketua DPR RI Puan Maharani. “Apakah RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?,” tanya Ketua DPR Puan Maharani selaku pimpinan sidang kepada anggota dewan yang hadir, Selasa, 12 April 2022. Segenap suara kompak menyebut kata setuju, sebagai tanda disahkannya UU monumental ini.

Sejarah Panjang UU PKS

Perjalanan panjang RUU TPKS (dulunya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) di parlemen dimulai pada Mei 2016 saat pertama kali dibahas oleh DPR. Awalnya, aturan ini diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012 merespons kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Baru pada Mei 2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik undang-undang tersebut.

DPR dan pemerintah terkesan menyambut rencana ini dengan memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2016. Semula, RUU rumusan Komnas Perempuan berisi 152 pasal. Namun, setelah dilayangkan ke pemerintah, RUU itu dipangkas hingga hanya 50 pasal. Pembahasan kemudian berlanjut pada 2018, DPR mengundang sejumlah pakar untuk dimintai pendapat. Wakil Ketua Komisi VIII DPR saat itu, Marwan Dasopang menyebut draft RUU PKS masih menuai perdebatan tentang hubungan seksual dalam rumah tangga.

Di akhir periode 2014–2019, RUU PKS masuk dalam daftar “RUU kontroversial” yang disoroti publik. Pada September 2019, bahkan sempat memicu aksi besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia dengan menyebut RUU ini akan melanggengkan zina. Oleh Fraksi PKS, definisi kekerasan seksual di RUU PKS dinilai terlalu bernuansa liberal dan tidak sesuai Pancasila, agama, dan adat ketimuran. PKS menilai RUU itu bisa membuka ruang perilaku seks bebas.

Pada saat yang sama, seseorang bernama Maimon Herawati membuat petisi penolakan terhadap RUU PKS, judulnya ‘TOLAK RUU Pro Zina’ lewat change.org pada 27 Januari 2019. Maimon keberatan dengan pembolehan hubungan seksual atas kesepakatan bersama di RUU itu, juga keberatan dengan materi soal aborsi sukarela. Ketua DPR RI saat itu, Bambang Soesatyo, sempat berjanji mengesahkan RUU PKS sebelum berganti periode. Nyatanya, RUU itu belum disahkan dan dioper ke DPR periode 2019–2024.

RUU PKS kembali masuk dalam Prolegnas oleh DPR periode 2019–2024, yakni dalam Prolegnas Prioritas 2020 dan Prolegnas Prioritas 2021. Pada September 2021, RUU ini berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengungkapkan alasan pergantian nama ini agar lebih membumi. Pada Januari 2022, RUU TPKS resmi disahkan jadi RUU inisiatif DPR. Pengesahan dilakukan pada rapat paripurna ke-13 masa sidang 2021–2022. Fraksi PKS masih menolak RUU ini meski fraksi lain menyetujuinya. RUU TKPS akhirnya disahkan menjadi UU TPKS. Pengesahan diambil saat pembicaraan Tingkat II di rapat paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021–2022, Selasa 12 April 2022.

Secara garis besar, perjalanan panjang UU PKS di parlemen berkaitan dengan definisi dan substansi yang banyak diperdebatkan anggota DPR dan publik. Anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Iqbal Romzi, misalnya. Pada rapat 23 Januari 2018, dia mempertanyakan pidana terhadap kekerasan seksual berupa perkosaan dalam perkawinan. Ia mengaitkannya dengan dalil agama bahwa istri wajib melayani suami. Padahal, UU PKS mengupayakan seks tanpa kekerasan dalam rumah tangga.

Isu kekerasan seksual yang sudah masuk kategori darurat justru dilupakan. Padahal Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Pada 2017, tercatat ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu bertambah 16,5 persen di tahun 2018 menjadi 406.178. Lalu semakin naik di 2019 hingga mencapai 431.471 kasus. Angka ini menurun menjadi 299.677 kasus pada 2020, akan tetapi penurunannya disebabkan menurunnya pencatatan kasus dan dokumentasi.

Fokus Pada Korban dan Penyempurnaan UU

Satu fase perjuangan penghapusan kekerasan seksual telah dilewati meski dengan beberapa catatan, termasuk kesempurnaan dari setiap pasal UU TPKS. Hal ini juga diamini oleh Puan Maharani sehingga meminta masyarakat untuk mengawal penerapan undang-undang ini.

Ketua Panitia Kerja (Panja) UU TPKS, Willy Aditya mengatakan, UU TPKS terdiri dari 93 pasal dan 12 bab yang di dalamnya memuat sembilan jenis kekerasan seksual yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.

Sejumlah media seperti cnnindonesia.com, kompas.com, dan katadata.co.id menyebut beberapa poin substansif dari UU TPKS dalam pemberitaannya. Beberapa poin itu diantaranya, substansi UU TPKS adalah mencegah kekerasan seksual, menangani hingga memulihkan korban, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin kekerasan seksual tak berulang.

Korban memang menjadi titik sentral dalam pembahasan UU TPKS yang selama ini menjadi pihak paling menderita dalam setiap kasus kekerasan seksual. Korban revenge porn misalnya, seperti yang disebutkan dalam Pasal 44 tentang kekerasan seksual berbasis elektronik, setiap korban penyebaran konten pornografi akan dilindungi hukum.

Lalu Pasal 70 menyebutkan, korban mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan, dan setiap korban berhak mendapatkan pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (UPTD PPAD). Pemulihan yang dimaksud mencakup pemulihan mental dan sosial, pemulihan medis, pemberdayaan dan kompensasi. Dana restitusi atau ganti rugi didapat dari kekayaan pelaku yang disita setelah mendapat izin dari pengadilan.

Dalam skala yang lebih luas, korban akan mendapat hak perlindungan dan pemulihan. Pasal 67 menyebutkan korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, meliputi hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Hak atas penanganan misalnya, korban mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban.

Kemudian hak perlindungan meliputi, kerahasiaan identitas, tindakan merendahkan oleh aparat yang menangani kasus, hingga perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.

Aspek mendasar lain dalam UU TPKS adalah tidak adanya opsi restorative justice atau penyelesaian perkara yang menitikberatkan pada keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban. Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej, penghapusan ini untuk menghindari penyelesaian perkara dengan uang mengingat biasanya pelaku kekerasan seksual lebih mampu secara ekonomi dibanding korbannya.

Posisi korban dalam kasus kekerasan seksual memang sangat rentan, terlebih dalam peristiwa yang tidak memiliki saksi. Selama ini banyak kasus perkosaan dan kekerasan seksual lain yang ditolak polisi karena ketiadaan saksi atau bukti yang mencukupi menurut pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akibatnya, korban semakin takut untuk melapor karena selain besar kemungkinan untuk ditolak, polisi juga bersikap judgmental kepada korban.

Beruntungnya, tendensi seperti ini akan diminimalisir dengan UU TPKS, khususnya Pasal 20 yang menyebut keterangan saksi dan/atau korban dan satu alat bukti yang sah sudah bisa menjadi alat bukti. Alat bukti yang dimaksud meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, beberapa komunitas perempuan menyesalkan pasal tentang pemerkosaan dan aborsi justru tidak ada dalam UU TPKS. Menurut Willy, pemerkosaan sudah diatur dalam undang-undang lain yakni dalam KUHP. Namun kasus pemerkosaan juga masih dimasukkan dalam jenis kekerasan seksual lainnya di UU TPKS.

Pantauan Media

Isu pengesahan UU TPKS mengundang banyak atensi media. Berdasarkan pantauan big data Newstensity milik PT Nestara Teknologi Teradata, pemberitaan dengan kata kunci UU TPKS melonjak signifikan pada Selasa 12 Maret 2022, tepat saat UU ini disahkan. Secara total dalam seminggu terakhir (07–13 Maret 2022), terjaring 1.257 pemberitaan tentang UU TPKS.

Grafik 1. Linimasa pemberitaan UU TPKS periode 07–13 Maret 2022

Pengesahan UU TPKS setelah berjuang selama 6 tahun di parlemen tentu adalah sebuah hal yang harus dirayakan, termasuk oleh media. Berdasarkan analisis sentimen pemberitaan, berita positif mendominasi hingga 60 persen pemberitaan.

Grafik 2. Analisis sentimen berita oleh Newstensity

Rasanya mudah ditebak bahwa pemberitaan akan didominasi narasi positif. Pasalnya, banyak pihak yang mengharapkan RUU TPKS untuk disahkan mulai dari komunitas perempuan, jurnalis, dan lembaga swadaya. Pemberitaan positif didominasi tentang pemberitaan pengesahaan UU ini sendiri dan apresiasi sejumlah pihak kepada DPR dan lembaga lain yang terlibat dalam pembahasan.

Grafik 3. Figur yang banyak disebut dalam pemberitaan

Uniknya, nama Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI banyak disebut dalam pemberitaan tentang UU TPKS belakangan ini. Padahal, Puan jarang terdengar dalam upaya pengesahan UU TPKS sebelum menjabat sebagai Ketua DPR RI yang mensahkan peraturan ini. Selain ramai dalam pemberitaan, Puan juga memanfaatkan eksposur ini untuk bergerilya di Twitter dengan membawa isu UU TPKS.

Riuh di Twitter dan Puan yang Cerdik

Keriuhan juga menjalar di Twitter, di mana platform ini menjadi basis diskusi secara virtual oleh warganet. Berdasarkan pemantauan kata kunci UU TPKS di Twitter menggunakan alat Socindex milik PT Nestara Teknologi Teradata, kata kunci ini melahirkan 105.104 engagement (jumlah interaksi berupa comment, post, share, dan view), 19.532 talk (jumlah post dan comment), 80.889 likes, dan 24.512.188 audience (jumlah pengunjung media sosial yang terpantau).

Grafik 4. Aktivitas di Twitter

Angka di atas menunjukkan tingginya antusiasme warganet dalam membicarakan isu ini di Twitter. Percakapan yang baru muncul pada 12 April 2022, ternyata mampu menghasilkan 19 ribu lebih komentar dan unggahan. Isu ini juga berpotensi mampir ke 99.714.773 akun Twitter.

Ketua DPR RI sebagai pemegang palu yang mensahkan peraturan, Puan Maharani, tampaknya, sungguh cerdik dalam memanfaatkan situasi ini. Selain tampak menangis saat mengesahkan (yang dianggap gimik oleh media), tagar #TerimaKasihMbakPuan justru tampil sebagai tagar teratas hingga 6.246 kali. Tagar itu justru mengalahkan kata kunci utama seperti #UUTPKS yang hanya disebut 40 kali.

Tagar ini tersebar dalam cuitan-cuitan yang berisi pujian atas peranan Puan Maharani dalam pengesahan UU TPKS. Dalam setiap cuitan, mayoritas disertai grafis berisi foto Puan dan kata-kata yang mengapresiasi dirinya. Secara kasat mata dari tata letak cuitan, tagar ini terkesan template dan terorganisir. Artinya kemunculan tagar #TerimaKasihMbakPuan tidaklah organik.

Gambar 1. Cuitan-cuitan yang mendukung Puan dalam UU TPKS

Untuk membuktikan asumsi tersebut, tentu diperlukan tools yang layak. Analisis bot score milik Socindex terlihat mencatat angka yang cukup tinggi dalam persebaran tagar #TerimaKasihMbakPuan. Semakin besar skor, semakin tinggi kemungkinan akun tersebut adalah bot.

Grafik 5. Analisis bot score milik Socindex

Hasilnya, ada 4.802 cuitan dengan skor di atas 0.8 yang mengindikasikan penggunaan bot dalam cuitan. Dari sisi kategori, cuitan oleh akun manusia hanya mencapai 924 cuitan berbanding 4.793 cuitan oleh robot. Kedua penilaian ini mengindikasikan kuatnya penggunaan bot dalam penyebaran tagar #TerimaKasihMbakPuan.

Grafik 6. Analisis word cloud di Twitter

Puan tampaknya berhasil memanfaatkan momentum. Analisis word cloud menunjukkan kata Puan Maharani masuk dalam jajaran kata yang banyak disebut bersanding dengan kata lain seperti pengesahan, kekerasan seksual, dan perempuan. Secara umum, analisis word cloud di Twitter menunjukkan apresiasi dan suka cita dalam pengesahan UU TPKS yang diwakili kata-kata seperti menyambut, keberpihakan, alhamdulilah, dan kado.

Epilog

Perjalanan panjang UU TPKS yang baru disahkan adalah babak baru dalam penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Ketidaksempurnaan di undang-undang adalah keniscayaan, sehingga peran serta semua aktivis dan masyarakat yang mendorong UU ini diharapkan terus berlanjut dalam mengawal jalannya undang-undang. Artinya, upaya menghapuskan kekerasan seksual belum berakhir dengan disahkannya UU ini.

Disengaja atau tidak, Puan tampak berhasil memanfaatkan momentum ini dengan mempopulerkan tagar #TerimaKasihMbakPuan di tengah gempita masyarakat. Apalagi waktunya berdekatan dengan tahun politik, sehingga asumsi liar publik bahwa Puan menunggangi isu ini tidak terelakkan.

--

--