Vaksin Berbayar, Diumumkan lalu Ditunda

Khoirul Rifai
Binokular
Published in
8 min readJul 14, 2021

Di tengah pandemi Covid-19 yang kian mengkhawatirkan, Kimia Farma pada Minggu (11/7) mengumumkan layanan vaksin berbayar atau secara resmi disebut Vaksinasi Gotong Royong. Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro mengatakan vaksin yang bisa dibeli adalah Sinopharm, satu dari tiga merek vaksin yang disetujui untuk program gotong royong berbayar, selain Moderna dan Cansino. “Untuk layanan Vaksinasi Gotong Royong memang sudah bisa dilaksanakan secara individu dan salah satunya, bisa dilakukan di Klinik Kimia Farma untuk layanan vaksinasi individu tersebut,” katanya, Minggu (11/7).

Sebagai informasi Sinopharm adalah vaksin asal China yang juga telah diuji di beberapa negara lain. Menurut kompas.com, Vaksin dari Sinopharm menggunakan platform media yang sama dengan vaksin Sinovac, yaitu virus yang diinaktivasi atau berjenis inactivated vaccine. Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) dari penggunaan vaksin Sinopharm bersifat ringan, seperti bengkak, kemerahan, sakit kepala, diare, nyeri otot, atau batuk.

Layanan ini bisa dinikmati mulai Senin (12/7) kemarin di delapan klinik Kimia Farma secara bertahap. Adapun harga untuk satu dosis, warga harus merogoh kocek Rp321.660 dan juga tarif layanan senilai Rp117.910 per dosis. Jadi perkiraan biaya untuk menyelesaikan dua dosis adalah sekitar Rp 879.140. Masih menurut Ganti, vaksinasi gotong royong ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan №19 Tahun 2021 tentang Peribahan atas Permenkes №10/2021 tentang Pelaksanaan dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Ganti juga menambahkan program ini jadi salah satu upaya mempercepat herd immunity.

Adapun angka vaksinasi di Indonesia masih terbilang rendah, yaitu di angka 12,8 persen populasi untuk dosis pertama dan 5,39 persen populasi untuk dosis kedua. Data dari Satgas Covid-19 per 12 Juli 2021 vaksinasi dosis 1 sudah mencapai 36,3 juta penduduk, dan vaksinasi dosis 2 sudah mencapi 15 juta penduduk.

Sumber: BBC Indonesia

Sedangkan untuk seluruh dunia Indonesia berada di urutan kesepuluh dalam hal dosis yang sudah diberikan menurut Pharmaceutical Technology.

Sumber: Pharmaceutical Technology.

Vaksinasi Berbayar, antara Keadilan dan Mengejar Herd Immunity

Nah, pengumuman vaksin berbayar di tengah sulitnya ekonomi akibat pandemi sudah pasti memunculkan komentar negatif dan prasangka dari masyarakat. Saya melihat lebih banyak protes daripada apresiasi kepada Kimia Farma yang mau membantu pemerintah mengatasi pandemi Covid-19 melalui program berbayar ini.

Sejumlah tokoh dan kelompok sipil ramai-ramai menolak komersialisasi vaksin ini, salah satunya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), lembaga yang cukup vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Menurut Tulus Abadi, ketua harian YLKI, program vaksin berbayar ini tidak etis di tengah hantaman pandemi dan kesulitan ekonomi. “Vaksin berbayar itu tidak etis, di tengah pandemi yang sedang mengganas. Oleh karena itu, vaksin berbayar harus ditolak,” kata Tulus kepada kumparan.com, Senin (12/7).

Hal lain yang dikritisi YLKI dan juga sangat mendasar bagi saya adalah komunikasi publik yang dirasa kurang tentang adanya vaksin berbayar dan gratis yang bisa membingungkan masyarakat. Kebijakan ini, kata Tulus bisa menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) bagi masyarakat dengan menganggap kualitas vaksin berbayar lebih baik daripada yang gratis. Kabar ini seolah muncul begitu saja tanpa diimbangi sosialisasi yang matang dari pemerintah dan Kimia Farma. Minimal pakai influencer lah kalo tren saat ini.

Protes lain datang dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) mendesak pemerintah untuk mencabut aturan vaksin berbayar. FITRA meminta pemerintah mendistribusikan vaksin secara gratis karena menganggap vaksin adalah hak dasar setiap warga negara.

Ada juga kritikan (yang cukup keras) dari Faisal Basri, ekonom senior yang menyoroti program vaksin berbayar di tengah terbatasnya pasokan vaksin. Dalam cuitannya yang banyak dikutip media nasional, Faisal menyebut kebijakan ini sebagai tindakan biadab. Dia pun meminta pemerintah untuk melarang pemerintah tersebut.

Sumber: Twitter Faisal Basri

Setelah banyak kritikan dari masyarakat, muncul desakan untuk menunda bahkan menganulir kebijakan rente ini. Memang bisa dianulir? Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia atau PSHK bisa jika pemerintah membatalkan Permenkes 19/2021. “Pemerintah melalui Menteri Kesehatan harus mencabut Permenkes 19/2021 serta membatalkan rencana pelaksanaan VGR individu,” kata Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama.

Menurut Rizky seperti yang diwartakan tirto.id, setidaknya ada empat alasan mengapa program ini harus dianulir. Pertama, definisi vaksin gotong royong yang diubah pemerintah tidak diketahui publik. Kedua, pemerintah tidak melakukan sosialisasi Permenjes 19/2021 dengan baik kepada publik. Naskah Permenkes 19/2021 baru tersedia di situs web Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu, 11 Juli 2021, sore hari. Ketiga, kebijakan vaksinasi berbayar menunjukkan sikap pemerintah yang ingin melepas tanggung jawab dalam masa kondisi darurat. Keempat, kebijakan vaksinasi berbayar berpotensi hanya menguntungkan golongan masyarakat dengan level ekonomi menengah ke atas.

Sementara langkah protes yang lebih konkret diambil epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono, Irma Handayani dari Lapor COVID, dan Sulfikar Amir dari Socio Talket, dengan membuat petisi menolak vaksin berbayar di Indonesia. Ketiga orang itu menyebut vaksin berbayar tidak memiliki rasa keadilan sehingga meminta program itu dihapuskan saja. Petisi tersebut dibuat di situs change.org dengan judul ‘Batalkan Vaksinasi Mandiri, #VaksinasiMandiriGakAdil.’ Dalam petisi tersebut, dijelaskan alasan menolak vaksin mandiri. Disebutkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan vaksin mandiri hanya menguntungkan segelintir pihak.

Kementerian Kesehatan sebagai pemangku jabatan utama dalam kasus ini memberi pembelaan. Jubir vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan seiring lonjakan kasus yang terjadi saat ini, Kemenkes berusaha mempercepat vaksinasi melalui jalur individu. Nadia juga menyebut vaksin berbayar tidak mengganggu vaksin gratis dari pemerintah. Selain itu, sifatnya juga tidak wajib sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat.

Sementara itu Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa pemerintah membuka opsi seluas-luasnya pengadaan vaksin di Indonesia. “Untuk vaksin gotong royong di ratas tadi juga ditegaskan bahwa vaksin gotong royong ini merupakan opsi. Jadi apakah masyarakat bisa mengambil atau tidak, prinsipnya pemerintah membuka opsi yang luas bagi masyarakat yang ingin mengambil vaksin gotong royong baik melalui perusahaan maupun melalui individu,” kata Budi seperti yang dilansir detik.com.

Sementara itu Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno, membantah adanya upaya perseroan untuk mencari untung. Menurutnya, Kimia Farma sudah terbuka dalam hal komponen harga dan sudah diulas oleh lembaga independen. Apa yang dilakukan pihaknya semata-mata hanya untuk membantu pemerintah dalam perluasan vaksinasi.

Layu Sebelum Berkembang

Setelah ramai dan menjadi polemik, Kimia Farma akhirnya menunda layanan vaksin berbayar hingga waktu yang belum ditentukan. “Kami mohon maaf karena jadwal Vaksinasi Gotong Royong Individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021, akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya,” kata Ganti seperti yang dikutip kompas.com.

Adapun penyebab penundaan menurut Ganti adalah besarnya respon masyarakat sehingga manajemen memutuskan memperpanjang masa sosialisasi layanan berbayar ini. Luar biasa, ternyata animo masyarakat sangat besar, guys.

Lalu bagaimana dengan masyarakat yang sudah mendaftar? Ganti menyebut perseroan akan memberikan informasi terbaru terkait jadwal pelaksanaan vaksinasi berbayar kepada para peserta yang telah mendaftar.

Menyikapi penundaan ini, sebagian tokoh masyarakat malah meminta untuk dibatalkan sekalian. Salah satunya politisi Partai Gerindra yang meminta pemerintah untuk membatalkannya. Jarang-jarang nih masyarakat bisa setuju sama opini Fadli Zon.

Sumber: Twitter Fadli Zon

Pantauan Media

Isu vaksinasi berbayar ini memang sangat ramai di media massa dan media sosial. Saya mengamati dengan kata kunci “vaksin berbayar,” “vaksin berbayar Kimia Farma,” dan “vaksin gotong royong” sejak diberitakan pada 11 Juli lalu sudah tercatat 731 berita hingga hari ini Selasa (13/7) pukul 11.00 WIB.

Sumber: Newstensity

Dari 731 berita tersebut, terdapat tiga sub isu terkait vaksin berbayar. Isu yang paling dominan adalah pengumuman layanan vaksin berbayar oleh Kimia Farma dengan 365 berita. Diikuti dengan isu kritikan terhadap vaksin berbayar dengan 267 berita.

Pemberitaan vaksin berbayar memang diberitakan secara masif di media massa. Tampak dalam chart berikut, pemberitaan tersebar di beberapa media massa nasional. Dari media daring, tribunnews.com dominan dengan 32 berita, diikuti detik.com dengan 30 berita, dan kumparan.com dengan 23 berita. Kemudian dari media cetak, harian Info Indonesia menempati posisi tertinggi dengan 4 berita, diikuti oleh Rakyat Merdeka dan Tribun Jateng masing-masing dengan 3 berita.

Sumber: Newstensity

Meski kebijakan ini banyak diprotes, nyatanya sentimen positif malah mendominasi dengan 472 berita. Sentimen negatif mengikuti dengan raihan 231 berita. Pemberitaan positif biasanya diisi berita tentang narasi bahwa vaksin berbayar Kimia Farma adalah upaya perluasan vaksinasi kepada masyarakat untuk mengejar herd immunity seperti yang diberitakan tempo.co dan antaranews.com. Ada pula berita seputar pembelaan Kimia Farma bahwa pihaknya tidak mengambil untung dari vaksinasi ini seperti yang disampaikan kompas.com. Sementara itu, seperti yang kita tahu sentimen negatif dalam isu ini berasal dari pemberitaan tentang kritik organisasi dan individu perihal penyelenggaraan vaksinasi berbayar ini.

Sumber: Newstensity

Media Sosial

Selain dari pantauan media saya juga mengikuti isu ini di media sosial seperti twitter dan Instagram. Dari Twitter tercatat ada 4939 unggahan dibuat terkait isu ini dan melibatkan 21910 warganet. Hasilnya, seperti yang sudah saya duga, mayoritas warganet mengkritik kebijakan ini. Hal itu dibuktikan dengan 90.59 persen sentimen negatif yang tercatat sejak 11 Juli hingga hari ini 13 Juli pukul 11.00 WIB.

Sumber: Socindex

Sementara itu di Instagram, isu ini banyak mendapat atensi setelah salah satu public figure dan mantan anggota Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (Satgas Covid-19) dr. Tirta mengunggah opininya perihal layanan berbayar ini. Dalam unggahan Instagramnya, dr. Tirta tidak secara langsung menyatakan persetujuannya, namun ia lebih menggarisbawahi masalah pengawasan layanan ini. Di sisi lain, ia juga meminta masyarakat tidak banyak berdebat karena masih ada vaksin gratis yang bisa diambil.

Sumber: Instagram dr. Tirta

Vaksin Berbayar Bukan Keharusan Tetapi Sebuah Opsi

Layanan vaksin berbayar memang pada akhirnya ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan. Program yang layu sebelum berkembang ini mendapat resistensi dari masyarakat, tokoh publik, dan berbagai organisasi sipil. Kritikannya beragam, ada yang menganggap pemerintah cari cuan, sebagian menganggap pemerintah abai pada hak dasar rakyatnya, dan yang paling vokal menyebut pemerintah biadab.

Namun, Kimia Farma dan Kementerian Kesehatan sebagai garda terdepan membela diri, menurut mereka ini adalah salah satu upaya untuk perluasan vaksinasi dengan tujuan mencapai herd immunity. Masyarakat yang netral pun menyebut masih ada vaksin gratis yang bisa diambil tanpa perlu mempermasalahkan isu ini. Apapun jalannya, saya sih berharap semoga target vaksinasi nasional bisa segera tercapai.

--

--