Vaksin Corona Pfizer/BioNTech: Dari Imigran Turki untuk Dunia

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readNov 12, 2020

Sudah hampir setahun pandemi virus corona melanda dan akhirnya pada Senin (9/11/2020) sebuah kabar gembira datang. Hari itu, Pfizer mengumumkan bahwa vaksin virus yang dikembangkan oleh BioNTech memiliki tingkat efektivitas lebih dari 90%.

Pengembangan vaksin corona Pfizer/BioNTech itu telah memasuki tahap ketiga dan mereka sudah melakukan pengujian terhadap 94 kasus yang ditemukan dalam 38.995 partisipan. Hasilnya, ya, Pfizer dan BioNTech menyatakan bahwa tingkat efektivtas vaksin mereka melebihi angka 90%.

Efektivitas di atas 90% itu terlihat setelah partisipan diberikan dua dosis. Jarak pemberian dua dosis itu adalah tiga hari dan efektivitas vaksin baru tampak tujuh hari setelah pemberian dosis kedua. Tim yang mengembangkan vaksin ini berkata bahwa perlindungan terhadap virus corona bakal muncul sepenuhnya 28 hari setelah pemberian vaksin.

Selain efektif, vaksin tersebut sejauh ini juga tidak menunjukkan efek samping berbahaya. Para pengembang telah menguji vaksin ini kepada orang dari beragam latar belakang dan tidak terlihat bahaya yang muncul darinya.

Vaksin ini sendiri berasal dari materi genetis mRNA yang akan menghasilkan spike protein yang berada di bagian luar virus corona. Vaksin ini bakal memperkenalkan mRNA tersebut ke tubuh manusia sehingga sel-sel tubuh bisa memproduksi spike protein yang sama. Setelah itu, antibodi pun terbentuk.

Vaksin virus corona bikinan Pfizer.

Untuk penemuan besar ini, dunia patut berterima kasih kepada Ugur Sahin dan Oezlem Tuereci, pasangan suami-istri yang berada di balik BioNTech. Sama-sama periset Jerman berdarah Turki, mereka berdua sesungguhnya memiliki latar belakang berbeda.

Sahin, 55 tahun, datang ke Jerman ketika berusia empat tahun. Ketika itu Jerman Barat sedang mengalami masa keemasan yang disebut Wirtschaftswunder (Keajaiban Ekonomi). Problemnya, Jerman Barat tidak punya cukup banyak sumber daya manusia untuk menggerakkan roda perekonomian karena tak bisa merekrut orang-orang dari Timur.

Solusinya, pada 1961, Jerman Barat menjalin kerja sama Gastarbeiter (Pekerja Asing) dengan pemerintah Turki. Ayah Sahin termasuk dalam rombongan pekerja Turki yang datang ke Jerman, tepatnya ke Koeln. Di sana dia bekerja di pabrik mobil Ford.

Tuereci, yang dua tahun lebih muda daripada Sahin, lahir dan besar di Jerman tetapi ayahnya lahir di Istanbul. Jika ayah Sahin merupakan pekerja pabrik, ayah Tuereci bekerja sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit kecil.

Berangkat dari latar belakang yang berbeda, cara Sahin dan Tuereci sampai di titik mereka sekarang berada pun berbeda. Ketertarikan Sahin terhadap ilmu pengetahuan didapatkan dari buku-buku yang senantiasa dia pinjam dari perpustakaan gereja. Sedangkan, ketertarikan dalam diri Tuereci timbul karena menyaksikan kinerja para suster yang merawat pasien di rumah sakit.

Sahin dan Tuereci pertama kali bertemu di Univesitas Saarland. Kala itu Sahin baru saja menyelesaikan studi doktoral tentang terapi imunisasi untuk sel kanker. Sedangkan, Tuereci saat itu masih menyelesaikan studi kedokterannya.

Ugur Sahin (kiri) dan Oezlem Tuereci, dua pendiri BioNTech.

Sejak 2001 mereka bekerja di rumah sakit Universitas Mainz. Setahun berselang, Sahin dan Tuereci menikah. Sebelum melangsungkan pernikahan, Sahin dan Tuereci sudah mendirikan perusahaan mereka sendiri yang diberi nama Ganymed. Perusahaan ini dikenal sebagai pionir terapi antibodi melawan kanker.

Tujuh tahun berselang, BioNTech didirikan. Di sini, Sahin dan Tuereci tidak sendiri karena mereka juga mendapat bantuan dari dokter spesialis kanker, Christoph Huber. Di BioNTech ini, mRNA menjadi senjata utama untuk memerangi berbagai macam penyakit, khususnya kanker.

Rupanya, metode serupa digunakan pula oleh Sahin dan Tuereci dalam pengembangan vaksin virus corona. Sejauh ini pun upaya mereka dalam memerangi COVID-19 mampu menumbuhkan optimisme. Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus diingat pula.

Pertama, pengujian klinis fase ketiga Pfizer/BioNTech belum selesai. Sejauh ini mereka baru menguji 94 pasien COVID-19 tetapi target mereka sesungguhnya adalah 164 pasien. Pfizer/BioNTech juga masih akan mengikuti perkembangan para partisipan selama dua tahun ke depan untuk melihat ada atau tidaknya efek jangka panjang.

Kedua, masih ada beberapa pertanyaan. Berapa lama vaksin ini akan melindungi kita dari virus, apakah vaksin ini bisa melindungi mereka yang sebelumnya sudah terkena virus corona, dan apakah vaksin ini bisa mencegah penyebaran virus atau cuma mengurangi tingkat keparahan gejalanya, semua itu masih harus diteliti lagi.

Ketiga, data yang muncul sejauh ini adalah data perusahaan. Artinya, penelitian ini belum melalui peer review. Padahal, salah satu syarat penelitian bisa dikatakan berhasil adalah ketika ia sudah lolos peer review, bukan sekadar klaim sepihak.

Terakhir, seperti yang diungkapkan ahli biologi molekuker Indonesia, Ahmad Rusdan Utomo alias Pak Ahmad, vaksin ini bakal sulit sekali didistribusikan. Vaksin temuan BioNTech yang diproduksi olef Pfizer ini baru bisa diproduksi dalam 50 juta dosis selama satu tahun.

“Kalau seorang butuh injeksi 2 kali baru buat 25 juta orang. Sementara di seluruh dunia ada 3–4 miliar manusia. Sehingga vaksin ini, nggak bisa didapat dalam waktu dekat,” ujar Ahmad, dikutip dari CNN Indonesia.

Kemudian, vaksin Pfizer/BioNTech ini adalah vaksin RNA sehingga penyimpanannya harus dalam suhu -80° Celcius. Sebagai gambaran, freezer di kulkas-kulkas rumah tangga itu cuma bisa menghasilkan suhu -4° Celcius. Artinya, untuk distribusi vaksin, fasilitas penyimpanan harus dibangun secara masif. Ini belum termasuk transportasinya.

Terlepas dari beragam tanda tanya masih menyertai vaksin Pfizer/BioNTech itu, optimisme sudah merebak. Salah satu tandanya adalah kenaikan harga minyak mentah.

Mengutip Antara, Rabu (11/11), harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari naik US$1,21 atau 2,9 persen jadi ke US$43,61 per barel. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember naik US$1,07 atau 2,7 persen jadi US$41,36 per barel.

Pasar saham global pun sudah menunjukkan respons positif atas kabar dari Pfizer dan BioNTech itu. Menurut Danareksa Research Institute (DRI), indeks saham Dow Jones langsung naik 2,95 persen pada awal pekan ini. Lalu, indeks Nikkei225 naik 0,26 persen. Hal yang sama terjadi pada indeks Hang Seng yang naik sebesar 1,1 persen, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,99 persen, STI naik 3,4 persen, FTSE100 naik 4,47 persen, dan CAC 40 naik 7,57 persen.

Minyak bumi.

Satu wujud optimisme lain adalah menguatnya rupiah. Saat ini, Rabu (11/11) sore WIB, nilai rupiah terhadap dolar AS tercatat berada pada posisi Rp14.055, atau menguat 0,02 persen dibandingkan nilai saat perdagangan Selasa ditutup.

Sentimen positif ini diakui oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. Sri Mulyani bahkan menargetkan pemulihan ekonomi Indonesia sudah bisa terjadi sejak kuartal II/2021. Ditambah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi q-to-q pada kuartal III/2020, makin optimistis pulalah Sri Mulyani.

“Konsumsi berbalik, investasi juga berbalik, ekspor juga mengalami pembalikan. Hanya impor yang mungkin dalam situasi yang cukup struggle. Kami berharap dalam kondisi penemuan vaksin maka ayunan dari pembalikan arah ini akan semakin terakselerasi,” ujarnya dalam acara Forum Diskusi Sektor Finansial yang digelar CNBC Indonesia.

Indonesia sendiri, lewat Menteri BUMN Erick Thohir dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, telah mengindikasikan ketertarikan untuk membeli vaksin serta bekerja sama dengan Pfizer. Namun, untuk kerja sama Bio Farma dengan Pfizer, keputusan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto masih dinantikan.

Sentimen di Media Massa

Boleh dibilang, klaim Pfizer bahwa vaksin temuan BioNTech punya tingkat efektivitas di atas 90% merupakan salah satu kabar terbaik yang muncul pada 2020. Sentimen positif pun tidak cuma dirasakan dunia ekonomi tetapi juga dalam pemberitaan media massa.

Binokular secara khusus telah melacak pemberitaan vaksin corona Pfizer/BioNTech dengan Newstensity dalam tiga hari terakhir, sejak berita pertama kali muncul sampai sekarang. Kami menggunakan tiga kata kunci yaitu: “Vaksin Corona Pfizer”, “Vaksin Pfizer”, dan “Pfizer”. Hasilnya, ada 1.902 pemberitaan yang muncul, di mana puncaknya ada pada Selasa (10/11) dengan 1.046 berita.

Perkembangan berita vaksin corona Pfizer dari 9 sampai 11 November 2020.
Sentimen positif mendominasi pemberitaan vaksin corona Pfizer.

Pada Senin (9/11) ketika Pfizer mengumumkan keampuhan vaksin BioNTech, ada 303 berita yang muncul. Pada hari ini, Rabu (11/11), sampai artikel ini ditulis sore hari, sudah muncul 551 berita. Sebagian besar berita (1.587 atau 83,4%) menghasilkan sentimen positif. Sementara, 8% (153 berita) menghasilkan sentimen negatif dan 8,5% (162 berita) menghasilkan sentimen netral.

Penghitungan di atas adalah penghitungan total, di mana pemberitaan media daring, cetak, dan elektronik semuanya dimasukkan. Nah, karena sumber pemberitaan sendiri didominasi oleh media daring (1.796 atau 94,4%), persentase sentimen di media daring pun jadi yang paling mirip dengan persentase sentimen keseluruhan.

Di media daring, ada 1.488 berita bersentimen positif atau 83%. Kemudian, berita bersentimen negatif ada 148 atau 8% dan berita bersentimen netral ada 160 atau 9%. Di media cetak dan elektronik, persentase sentimennya tidak seperti ini.

Di media cetak sendiri, total ada 81 pemberitaan dengan 75 (93%) di antaranya bersentimen positif. Sisanya, 4 berita (5%) bersentimen negatif dan 2 berita (2 persen) bersentimen netral. Sedangkan, di media elektronik tidak ada berita bersentimen netral sama sekali. Dari 25 berita yang ada, 24 di antaranya (96%) bersentimen positif.

Dari sini, sekali lagi bisa disimpulkan bahwa terobosan dari Pfizer dan BioNTech ini adalah berita yang luar biasa bagus. Fungsi media adalah mengabarkan apa yang terjadi. Kalau yang dikabarkan adalah sentimen positif, bukanlah hal mengherankan jika pemberitaan yang muncul pun menghasilkan sentimen positif.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.