Vaksin COVID-19 Moderna: Lebih Efektif tetapi Kalah Pamor

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readNov 18, 2020

Perlombaan menemukan vaksin virus corona sudah seperti lomba menjelajah antariksa yang marak pada abad ke-20 silam. Ketika ada pihak yang mengklaim keberhasilan, perhatian dunia sontak tertuju kepada mereka. Sejauh ini, baru dua yang berani mengklaim keberhasilan: Pfizer/BioNTech dan Moderna.

Dalam penanggulangan pandemi COVID-19 ini sebenarnya bukan cuma penemuan vaksin yang menjadi target. Menemukan obat antivirus yang efektif pun tak kalah pentingnya. Akan tetapi, vaksin adalah “cawan sucinya”. Dengan keberadaan vaksin, kekebalan terhadap penyakit yang sudah merampas lebih dari 1,3 juta nyawa penduduk bumi itu akan muncul.

Sejak virus corona mulai mewabah pada awal 2020, upaya pengembangan vaksin sudah dilakukan. Dua perusahaan yang pertama kali melakukannya, menurut catatan Bloomberg, adalah Moderna dan CanSino Biologics. Mereka berdua sudah mulai mengembangkan vaksin sejak kuartal pertama 2020.

Setelah itu, ketika 2020 masuk ke kuartal kedua, barulah Pfizer/BioNTech, Oxford University, Sinopharm, Sinovac, dan Inovio Pharmaceuticals memulai pengembangannya. Saat ini, pengujian vaksin Pfizer/BioNTech, Moderna, Oxford, Johnson&Johnson, Sinopharm, Sinovac, Gameleya, dan CanSino sudah memasuki tahap ketiga.

Akan tetapi, seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, baru dua yang mengklaim keberhasilan. Pfizer/BioNTech mengumumkan keberhasilannya pada Senin (9/11/2020). Kata BioNTech, vaksin yang mereka kembangkan memiliki tingkat efektivitas lebih dari 90 persen.

Klaim BioNTech itu sebenarnya belum valid-valid amat lantaran masih ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab, mulai dari soal efek samping, langkah distribusi yang efektif, sampai berapa lama efek vaksin bakal bertahan dalam tubuh manusia.

Kendati demikian, kabar dari Pfizer/BioNTech itu sudah mampu mengangkat moral masyarakat dunia. Untuk pertama kalinya selama hampir satu tahun ada terobosan yang sangat signifikan dalam upaya memerangi virus corona.

Terangkatnya moral masyarakat dunia itu salah satunya tercermin lewat respons positif dari pasar saham global. Selain itu, harga minyak mentah dunia juga mengalami kenaikan. Artinya, pengumuman dari Pfizer/BioNTech menjadi semacam isyarat bahwa pagebluk bakal segera takluk.

Dalam perburuan cawan suci bernama vaksin virus corona, Pfizer/BioNTech boleh saja jadi yang terdepan. Akan tetapi, pada Senin (16/11/2020), Moderna muncul sebagai pesaing. Hari itu perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat tersebut mengumumkan bahwa vaksin yang mereka kembangkan memiliki tingkat efektivitas hingga 94,5%.

Ya, Moderna memang muncul belakangan, tetapi mereka mampu menawarkan beberapa keunggulan dibanding vaksin yang dikembangkan oleh Pfizer/BioNTech. Keunggulan pertama, tentu saja, tingkat efektivitasnya tadi.

Moderna berani mengklaim efektivitas hingga 94,5% setelah melakukan pengujian terhadap 30 ribu relawan. Separuh diberikan dua dosis vaksin dengan jeda empat pekan, separuhnya lagi diberikan injeksi plasebo. Dari seluruh relawan itu, 95 di antaranya kemudian menunjukkan gejala COVID-19.

Ilustrasi pemberian vaksin.

Nah, dari 95 orang yang menunjukkan gejala tersebut, cuma 5 yang berasal dari kelompok penerima vaksin. Perlu dicatat bahwa dalam uji klinis ini para relawan tidak mengetahui apakah mereka diinjeksi vaksin atau plasebo. Dari hasil uji klinis inilah Moderna berani mengklaim tingkat efektivitas hingga 94,5 persen.

Sama seperti milik BioNTech, vaksin Moderna ini juga didasarkan pada mRNA. Artinya, vaksin harus disimpan pada suhu yang sangat rendah. Akan tetapi, vaksin milik Moderna bisa disimpan pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan vaksin BioNTech. Jika vaksin BioNTech harus disimpan dalam suhu -70° Celcius untuk bisa bertahan 6 bulan, vaksin Moderna cukup disimpan dalam suhu -20° Celcius.

“Itu berarti vaksin Moderna dapat disimpan di lemari es yang tersedia di sebagian besar kantor dokter dan apotek,” kata Dr. Tal Zacks, kepala bagian medis Moderna, seperti dikutip dari CNN International, Selasa (17/11/2020). “Kami memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada untuk vaksin lain yang dipasarkan.”

Vaksin buatan Moderna juga bisa disimpan di lemari es rumah tangga biasa dalam jangka waktu satu bulan. Sementara, vaksin bikinan BioNTech dan Pfizer cuma bisa bertahan selama lima hari di lemari es rumah tangga yang suhu rata-ratanya 2° s/d 8° Celcius. Artinya, vaksin Moderna bakal lebih mudah didistribusikan sebagaimana vaksin-vaksin lain semisal campak.

Moderna sendiri memprediksi bahwa mereka bisa memproduks 1 miliar dosis vaksin hingga akhir 2021 mendatang. Sebelumnya, Pfizer/BioNTech sudah berkata bahwa mereka bisa memproduksi 1,3 miliar dosis. Perlu diketahui, kedua vaksin ini harus diberikan setidaknya dua dosis per orang. Maka dari itu, jika ada 2,3 miliar dosis, jumlah orang yang bisa mendapatkan vaksin “hanyalah” 1,15 miliar.

Dalam waktu singkat ini, sebelum 2020 berakhir, Moderna mengklaim bakal bisa menyediakan 20 juta dosis untuk disalurkan di Amerika Serikat. Di tahun depan, janji mereka adalah 1 miliar dosis tadi.

Vaksin virus corona Moderna.

Adapun, berdasarkan data The Guardian, vaksin Moderna sendiri sudah dipesan oleh pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Kanada, dan Swiss. Sedangkan, vaksin Pfizer/BioNTech sudah dipesan oleh pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa, serta Kerajaan Bersatu Britania Raya.

Dari sini, bisa dibilang perlombaan menemukan vaksin corona yang efektif sedang dipimpin oleh Pfizer/BioNTech dan Moderna. Sayangnya, harga vaksin mereka tidak murah. Masih menurut The Guardian, harga vaksin Moderna per dua injeksi mencapai 709 sampai 839 ribu rupiah. Sementara, vaksin Pfizer/BioNTech dihargai 560 ribu rupiah per dua injeksi.

Sebenarnya, para pengembang vaksin lain berani menawarkan harga jauh lebih murah. AztraZeneca yang bekerja sama dengan Oxford University, misalnya, berani mematok harga 56 ribu rupiah per dosis. Kemudian, Johnson&Johnson serta Sanofi-GlaxoSmithKline menghargai vaksinnya 150 ribu rupiah per dosis. Namun, para pengembang vaksin yang disebut belakangan memang belum bisa menunjukkan hasil menjanjikan.

Pfizer/BioNTech dan Moderna pun sebenarnya belum. Perlu diingat, pengembangan vaksin mereka masih belum 100 persen selesai. Masih ada peer review (pengujian oleh sesama ahli), masih perlu juga ditengok apakah ada efek samping berkepanjangan. Namun, setidaknya, dari uji klinis mandirinya, Pfizer/BioNTech dan Moderna bisa memberikan harapan.

Nah, ngomong-ngomong soal harapan, sebelumnya sudah disebutkan bahwa pengumuman dari Pfizer/BioNTech sempat memberikan angin segar dengan kenaikan harga minyak serta kemunculan respons positif dari pasar saham global. Pengumuman dari Moderna pun sebetulnya memiliki efek yang sama. Akan tetapi, efeknya tidak sepanjang sebelumnya.

Seperti ditampilkan Harian Kompas di halaman depannya, indeks saham di banyak negara mengalami kenaikan selepas pengumuman dari Moderna. Indeks saham di Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Thailand, Indonesia, India, Hong Kong, Malaysia, China, Norwegia, Austria, Spanyol, Prancis, Arab Saudi, Rusia, dan Jerman mengalami kenaikan per Selasa (17/11).

Halaman depan Harian Kompas edisi Rabu (18/11/2020).

Namun, pada Rabu (18/11) pagi WIB, ketika perdagangan pasar modal Amerika Serikat ditutup, sentimen positif tak lagi dirasakan. Koreksi terjadi, Wall Street melemah, dan bursa saham Eropa pun ikut-ikutan tertekan. Seakan-akan, pasar mulai menyadari bahwa penemuan vaksin bukanlah solusi instan dari pandemi virus corona ini.

Terlepas dari itu, keberadaan vaksin yang efektif tetap layak masuk dalam kategori kabar bagus. Memang banyak sekali yang harus disiapkan, termasuk infrastruktur distribusi. Namun, justru itulah ancang-ancang sudah harus diambil.

Pemerintah Indonesia sendiri, lewat Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, mengisyaratkan bakal bekerja sama dengan Moderna untuk mendatangkan vaksin corona di Indonesia. Syaratnya, vaksin tersebut harus lolos uji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Sebelumnya, ketika Pfizer/BioNTech mengumumkan keberhasilan uji klinisnya, dua menteri Indonesia, Erick Thohir dan Airlangga Hartarto, juga telah mengucapkan hal serupa. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada hasil konkret dari rencana tersebut. Semua masih dalam tahap penjajakan.

Moderna mengabarkan tingkat efektivitas vaksinnya pada Senin (16/11) dan mulai hari itu terjadilah kenaikan jumlah berita. Dalam tiga hari terakhir, berita soal vaksin corona Moderna sudah muncul 261 kali. Puncaknya ada pada Selasa (17/11) dengan kemunculan 216 berita.

Dari 261 berita yang muncul, 204 di antaranya, atau 78%, menghasilkan sentimen positif. Banyaknya jumlah berita dengan sentimen positif ini tentu tidak mengejutkan karena kabar yang datang dari Moderna adalah kabar baik. Meski demikian, tetap ada berita bersentimen negatif yang muncul; 42 berita (40 daring, 2 cetak) tepatnya.

Pertumbuhan berita vaksin corona Moderna dari 16 sampai 18 November 2020.
Sentimen pemberitaan vaksin Moderna kurun waktu 16–18 November 2020.

Isu-isu yang menghasilkan berita bersentimen negatif berkisar pada: 1) Memudarnya euforia pasar yang membuat Wall Street melemah, 2) Mahalnya harga injeksi vaksin Moderna, 3) Pertanyaan mengenai efek samping vaksin, dan 4) Peringatan dari WHO bahwa keberadaan vaksin takkan begitu saja menghentikan pandemi.

Berita-berita bersentimen netral pun muncul meski cuma di media daring. Total ada 15 berita yang menghasilkan sentimen netral tetapi secara garis besar ada 2 isu yang diangkat. Yakni, korelasi penemuan vaksin dengan sentimen ekonomi dunia dan perbandingan vaksin Pfizer/BioNTech dengan Moderna.

Di media daring sendiri, rincian sentimennya adalah sebagai berikut: 77% positif, 16% negatif, dan 7% netral. Di media cetak, 80% (8) berita menghasilkan sentimen positif dan 2% (2) negatif. Sementara, di media elektronik, semua (8) pemberitaan menghasilkan sentimen positif.

Jika dibandingkan dengan ketika Pfizer/BioNTech mengumumkan keberhasilannya pada pekan kedua November, euforia yang muncul dari pengumuman Moderna memang jauh lebih kecil. Jumlah berita yang cuma mencapai angka 261 jadi salah satu buktinya. Dalam kurun waktu tiga hari pula, isu vaksin Pfizer/BioNTech menghasilkan 1.902 pemberitaan.

Persentase sentimennya pun berbeda. Waktu itu lebih dari 83% pemberitaan menghasilkan sentimen positif, sementara sekarang cuma 77%. Dalam isu vaksin Pfizer/BioNTech, variasi sentimen juga lebih terlihat dengan keberadaan sentimen netral di berita cetak dan sentimen negatif di berita elektronik.

Artinya, meskipun memiliki dua keunggulan dibandingkan Pfizer/BioNTech, Moderna sudah kadung kalah pamor. Moderna bukan yang pertama dan itulah yang membuat nama mereka tidak seharum kompetitornya. Meski begitu, keberhasilan mereka menemukan vaksin dengan tingkat efektivitas 94,5 persen tetap layak mendapat aplaus, bahkan standing ovation.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.