Ya, Munir Masih Ada dan Berlipat Ganda

Yoga Cholandha
Binokular
Published in
7 min readSep 8, 2020

Suatu kali Joe Strummer pernah bertutur soal bagaimana dia menulis syair lagu “London Calling” yang masyhur itu. Resepnya, bagi Strummer, sederhana saja. Apa yang dia baca di surat kabar, apa yang dia saksikan di televisi, dan apa yang dia alami di kehidupan sehari-hari, itulah yang dia tulis.

The Clash, grup musik punk pimpinan Strummer, eksis di era Perang Dingin, ketika ketidakpastian menjadi penganan sehari-hari. Bayang-bayang perang nuklir, ketakutan akan kelaparan, dan keresahan akan pengkhianatan para pemberontak, semua tertumpah di “London Calling” yang kelam itu.

Hery Sutresna, alias Ucok, punya resep yang mirip dalam menulis sajak-sajak lagunya untuk kolektif hip-hop Homicide. Faktualitas menjadi senjata. Diselimuti diksi-diksi yang tidak lazim dan metafora-metafora yang menggugah imajinasi, syair lagu-lagu Homicide terdengar bak genderang perang yang ditabuh dengan pedal ganda.

“Rima Ababil” salah satunya. Lagu yang menjadi bagian dari album “Barisan Nisan” ini merupakan salah satu karya terpopuler Homicide. Di sini dengan lantang mereka berteriak, “Rima ini kurancang untuk menantang mitos, hegemoni rezim dewa logos. Kurancang rima ababil yang bidani holokos, jika kau bangun kastilmu ‘tuk mendominasi kosmos!”

Tak perlu sains roket untuk memahami makna di balik syair lagu tersebut. Toh, semua lagu Homicide punya sasaran yang sama: Penguasa lalim dan sistem yang mereka ciptakan untuk melanggengkan kuasanya. Namun, kelaliman yang dikritik oleh Homicide hampir selalu berganti di tiap nomornya.

Lewat “Rima Ababil”, Ucok dkk. dengan tajam menyatakan kegusaran mereka terhadap sistem yang diciptakan dengan sengaja tadi. Bagaimana agenda-agenda keji dieksekusi dengan cara-cara yang tak jauh berbeda dengan metode Nazi. Bagaimana darah bisa ditumpahkan begitu saja demi menjaga ketebalan kocek penguasa.

Satu hal lain yang membuat “Rima Ababil” spesial adalah kemunculan sebuah petikan orasi di awal lagu. Bunyinya begini:

“Mereka berebut kuasa, mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, kemudian mereka bersembunyi di balik ketek kekuasaan. Apa kita biarkan mereka untuk gagah? Saya kira tidak. Mereka gagal untuk gagah. Mereka hanya ganti baju tapi dalam tubuh mereka adalah sebuah kehinaan. Sesuatu yang tidak bertanggung jawab. Sesuatu yang mereka bayar sampai titik mana pun.”

“Barisan Nisan” dirilis Homicide pada 2005, kurang lebih setahun setelah si empunya orasi meninggal dunia. Nama pemilik orasi itu adalah Munir Said Thalib. Oleh kawan-kawannya, dia biasa dipanggil Cak Munir.

Munir lahir di Batu, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965. Setelah merampungkan studi hukum di Universitas Brawijaya, Munir langsung memulai karier sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Di sini pulalah bermula sepak terjangnya sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang gigih.

“Ketika saya berani salat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas,” tutur Munir suatu kali soal alasan di balik perjuangannya.

Dalam kiprahnya sebagai pejuang, Munir memainkan peran penting dalam membongkar keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Pada 1998, Munir membidani kelahiran KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) untuk mencari keadilan bagi korban kekerasan aparat di masa Reformasi.

Munir Said Thalib mengendarai sepeda motor bebeknya.

Atas segala yang dia lakukan ini, pada 2000, Munir menerima penghargaan The Rights Livelihood Award dari pemerintah Swedia. Bersama penghargaan ini Munir turut menerima uang ratusan juta rupiah. Sebagian dari uang tersebut dia gunakan untuk membangun rumah di kampung dan sebagian lainnya dia sumbangkan untuk KontraS.

Namun, hidup Munir sendiri tidak pernah tenang. Sepak terjangnya membuat pria berdarah Hadramaut ini kerap menerima teror. Pada 2002, kantor KontraS pernah diserbu gerombolan tak dikenal. Gerombolan itu merusak kantor dan merampas sejumlah dokumen secara paksa.

Setahun berikutnya, teror lain didapatkan Munir ketika sebuah bom meledak di pekarangan rumahnya di Jakarta. Puncaknya, pada 7 September 2004, Munir diracun hingga meninggal dunia di dalam pesawat Garuda Indonesia tujuan Amsterdam.

Munir ketika itu hendak menempuh studi S2 di Universitas Utrecht. Akan tetapi, belum juga sampai di tujuan, Munir sudah kehilangan nyawa. Dua jam sebelum pesawat Garuda Indonesia itu mendarat di Bandara Schiphol, Munir mengembuskan napas terakhirnya.

Dari hasil autopsi, diketahui bahwa Munir meninggal karena arsenik yang dosisnya tiga kali lipat dari dosis mematikan. Diperkiran, racun itu masuk ke tubuh Munir lewat jus jeruk yang diminumnya tak lama setelah memasuki pesawat tujuan Singapura.

Sebelum itu, dalam perjalanan menuju pesawat, Munir dihampiri seorang pilot bernama Pollycarpus Budihari Priyanto. Singkat kata, Pollycarpus menawarkan kepada Munir untuk pindah tempat duduk dari kelas ekonomi ke kelas bisnis, tepatnya di kursi 3K.

Pollycarpus Budihari Priyanto saat dibebaskan dari penjara.

Ketika itulah Munir meminum jus jeruk tersebut. Sesampainya di Singapura untuk transit, Munir belum merasakan apa-apa. Baru ketika pesawat berangkat dari Singapura menuju Belanda dia merasa mual dan mulas. Munir pun muntah-muntah.

Di pesawat, Munir sempat minum dua butir tablet New Diatabs, sebutir Zantac, dan sebutir Promag. Oleh dr Tarmizi, Munir juga disuntik Primaperam dan Diazepam. Akan tetapi, nyawa Munir tak tertolong. Dua jam sebelum pesawat mendarat, dia meninggal dunia.

Kematian Munir di pesawat ini menjadi berita duka besar di Tanah Air. Khalayak murka. Tuntutan demi tuntutan dilayangkan kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun bertindak cepat dengan membentuk Tim Independen Pencari Fakta (TIPF).

Menyusul investigasi, diketahui bahwa Pollycarpus adalah operator lapangan yang bertugas membunuh Munir. Bersama Pollycarpus, turut tersangkut pula nama Mayjen (Purn.) Muchdi Purwopranjono yang kala itu menjabat sebagai Deputi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Muchdi merupakan mantan komandan Kopassus yang dituduh terlibat dalam penculikan aktivis 98. Hanya beberapa hari setelah Presiden Suharto mengundurkan diri, Muchdi pun turut dicopot. Setahun kemudian dia pensiun dari Angkatan Darat.

Bersama Pollycarpus, Muchdi diseret ke pengadilan. Dalam pernyataannya di pengadilan, Muchdi membantah tuduhan bahwa dia mengenal Pollycarpus. Pada 2005, Pollycarpus bersama dua pejabat Garuda, Indra Setiawan dan Rohanil Aini, dijatuhi hukuman penjara. Pollycarpus dihukum 14 tahun penjara, sementara Indra dan Aini masing-masing mendapat hukuman satu tahun.

Muchdi sendiri akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan pada 2008 dengan alasan tidak ada bukti yang cukup. Namun, pada 2014, atasan Muchdi di BIN kala itu, Abdullah Mahmud Hendropriyono, dikabarkan bersaksi kepada jurnalis Allan Nairn bahwa dirinya bertanggung jawab atas pembunuhan Munir

Di tahun 2014 itu pula Pollycarpus dibebaskan dari penjara. Dia kemudian terjun ke politik dengan bergabung bersama Partai Berkarya bentukan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto.

Sampai sekarang, istri Munir, Suciwati, belum bisa menerima penyelesaian kasus kematian suaminya. Kepada Andreas Harsono untuk Jakarta Post, Suciwati berucap, “Bagaimana bisa kau menerima pembunuhan seperti itu? Bagaimana bisa kau merasa tenang ketika kau mendapati para pelaku masih bebas dan bahkan memiliki kekuasaan lebih besar?”

Oleh Suciwati, kasus Munir dianggap belum selesai. Namun, eks aktivis buruh ini memiliki caranya sendiri untuk terus menghormati jasa-jasa sang suami. Pada 2013 Suciwati mendirikan Omah Munir di Batu. Inisiatif Suciwati itu kemudian mendapat respons positif dari Pemerintah Jawa Timur. Pada 2019, Gubernur Khofifah Indar Parawansa meresmikan proyek pembangunan Museum HAM Munir sebagai pengganti Omah Munir.

Suatu ketika Munir pernah berucap bahwa dia “ada dan berlipat ganda”. Meski telah wafat 16 tahun yang lalu, spirit Munir tetap hidup sampai saat ini. Senin (7/9/2020), Komnas HAM bahkan mengusulkan tanggal 7 September diperingati sebagai Hari Perlindungan para Pembela HAM.

Berita mengenai usulan Komnas HAM itu pun masih ramai dibicarakan di media massa. Artinya, nama Munir masih begitu harum. Masih banyak orang yang menginginkan keadilan sejati atas kasus pembunuhan sang penerang.

Tren pemberitaan Munir Said Thalib dan sentimennya. (Foto: Newstensity)

Pada Senin (7/9), berita mengenai peringatan kematian Munir muncul sampai 110 kali di berbagai media massa. Lalu pada Selasa (8/9) pemberitaan pun masih muncul 26 kali. Jika ditotal, sejak Minggu (6/9), kasus kematian Munir dibicarakan hingga 146 kali di media massa.

Sentimen negatif mendominasi pemberitaan, tentu saja. Di media daring, persentasenya mencapai 81 persen, sementara di media cetak mencapai 68 persen. Adapun, Newstensity tidak mencatat satu pun pemberitaan soal ini di media elektronik.

Sentimen negatif muncul lantaran adanya kemungkinan kasus Munir ini bakal ditutup. Dua tahun mendatang, tepatnya, kasus ini bakal memasuki masa kedaluwarsa sehingga pengusutan, terutama pengusutan para aktor intelektual, semestinya sudah dilakukan. Apalagi, pada 2016, Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan menuntaskan kasus ini.

Solusinya, kasus Munir diubah statusnya menjadi pelanggaran HAM berat. KontraS beranggapan pembunuhan Munir bukanlah kasus kriminal biasa sehingga harus diselesaikan dengan cara yang tidak biasa pula. Dengan perubahan status menjadi pelanggaran HAM berat, kasus ini tak lagi punya masa kedaluwarsa.

Sementara itu, sentimen-sentimen positif lahir dari pemberitaan yang berisi penghormatan terhadap Munir. Usulan Komnas HAM untuk menjadikan 7 September sebagai Hari Perlindungan para Pembela HAM jadi salah satunya.

Dengan peringatan-peringatan seperti inilah Munir akan abadi. K.H. Abdurrahman Wahid pernah berujar bahwa ide tidak akan mati diterjang pelor. Meski telah tiada, ide-ide dan semangat Munir takkan pernah lenyap. Selama masih ada yang mengingat namanya dan memaknai perjuangannya, Munir akan abadi.

--

--

Yoga Cholandha
Binokular

I write about football, music, TV shows, movies, WWE, and maybe some other things.