Bagaimanakah peran teknologi genomik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien kanker paru di Indonesia?

Nurayu Ramadanti
Biologi Sintetik Indonesia
5 min readJul 25, 2022

Disetiap keseharian kita selalu bertanya — tanya. Mengapa saya bisa sembuh hanya dengan satu obat ini sedangkan orang lain tidak, mengapa saya cocok menggunakan skincare dengan kandungan dan merk A sedangkan orang lain tidak?

Bioinformatika memiliki pendekatannya dalam menjawab hal ini!

Mari kita membahas mengenai dogma sentral. Dogma sentral biologi molekuler menjelaskan mengenai proses perubahan gen dari DNA menjadi RNA, dan RNA menjadi protein. Dogma ini menjelaskan bagaimana proses pembacaan materi genetik menjadi protein yang berperan di setiap tahap metabolisme di dalam tubuh suatu organisme. Dimana terdapat seukens DNA yang akan ditranskripsikan menjadi hnRNA ataupun RNA dan kemudian akan terbagi menjadi non-coding RNA dan mRNA yang nantinya akan mature menjadi protein yang fungsional maupun struktural. Berdasarkan dari sistem sentral dari tahapan metabolisme manusia ini terdapat sebuah studi yang disebut genomik. Genomik menjadi kawasan studi yang akan membahas bagaimana pengaturan dan keistimewaan sistem central dogma ini pada kehidupan individu. Setiap masing-masing individu ditemukan memiliki kekhususan dalam setiap DNA nya begitu pula setiap protein yang akan dieskpresikan dalam sistem sentral dogmanya. Perbedaan ini memberikan efek yang akan berbeda juga pada setiap sistem kehidupannya. Suatu tulisan pernah melaporkan bahwa satu jenis obat tidak bisa memberikan efek yang sama terhadap setiap pasien yang berbeda dengan penyakit yang sama. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Analisis ekspresi dari DNA menjadi RNA melibatkan bagaimana pola ekspresi dari DNA tersebut, bagaimana pola yang di ekspresikan dari tingkat genetik dalam jaringan tertentu. Dengan mengetahui bagaimana pola ekspresi ini menjadi kunci dalam menentukan pengobatan yang terbaik bahkan sampai dengan biomarker yang dapat digunakan. Hal ini dimulai dari variasi dari nukleotida pada sekuens DNA mengakibatkan perbedaan dari berbagai ekspresi protein dan berujung pada perbedaan fenotipe atau morfologi dari individu. Sebagaimana variasi dari sekuens DNA hingga variasi dari fenotipe yang dihasilkan maka variasi dari berbagai gen yang mengakibatkan berbagai penyakit juga akan berbeda. Dengan mengetahui penyebab munculnya fenotipe atau gen apa saja yang mempengaruhi serta bagaimana korelasinya dengan suatu penyakit, sehingga dapat diketahui pengobatan terbaik maupun treatment selanjutnya.

Tahapan dari hal ini dapat dimulai dari mengetahui apa saja dan bagaimana variasi genom dari suatu individu melalui teknologi bioinformatika seperti teknologi microarray dan sekuensing. Tujuan dari metode ini adalah untuk melihat gen apa saja yang diekspresikan dan korelasinya terhadap suatu penyakit. Apakah ada gen yang di ekspresikan lebih banyak dibandingkan pada kondisi normal serta gen yang tidak di ekspresikan yang memiliki korelasi dengan penyakit pada individu.

Pendekatan secara bioinformatika dapat di terapkan dalam pengobatan yang berbeda dalam setiap kondisi fenotipe yang berbeda dari berbagai penyakit, karena tidak semua individu memiliki kondisi penyakit yang sama dapat di berikan treatment atau obat yang sama.

Seperti halnya kasus mutasi yang terjadi pada gen EGFR pasien kanker paru. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) merupakan protein reseptor kelompok tirosin kinase pada permukaan sel yang berperan dalam pertumbuhan sel serta proses apoptosis pada sel. Reseptor ini memiliki empat domain, yaitu domain ekstraseluler, domain transmembran, domain tirosin kinase, dan ekor karboksi. Pengikatan ligan menyebabkan aktivasi, dimerisasi EGFR dan trans-fosforilasi residu tirosin dalam ekor karboksil. EGFR mengaktifkan beberapa jalur pensinyalan utama, yaitu termasuk aktivasi jalur RAS kemudian RAF, MEK, dan ERK serta jalur yang terdiri dari: phosphoinositide 3-kinase (PI3K), Akt, dan pada jalur target mamalia rapamycin (mTOR), yang berefek pada proliferasi, kelangsungan hidup, invasi, penyebaran metastasis, dan angiogenesis

Mutasi gen EGFR yang terjadi pada sel, nantinya akan menyebabkan terjadinya aktivitas pertumbuhan sel yang berlebihan dan akan menyebabkan tumor. Mutasi heterozigot yang terpusat pada situs dari domain tirosin kinase dapat menyebabkan aktivasi EGFR konstitutif dan independensi ligan.

Pasien kanker paru dengan mutasi pada EGFR akan memberikan respon yang baik jika diberikan treatment Tirosin kinase inhibitor seperti afatinib dan memiliki respon sebaliknya jika diberikan treatment anti kanker umumnya. Contoh lain seperti perbedaan ekspresi gen ECT2 yang terjadi pada kanker HCC sangat berpotensi sebagai biomarker. Potensi teknologi genomik dalam pengobatan berbasis individu ini sangat menjanjikan untuk pengobatan berbagai penyakit di masa depan termasuk juga dalam skincare yang digunakan dalam sehari-hari.

Kembali pada kasus kanker paru, Kanker paru-paru di Indonesia menempati urutan keempat terbanyak dari semua kanker. Beberapa pasien dengan kanker paru-paru non-sel kecil (NSCLC) memiliki mutasi pada gen EGFR, yang fungsi normalnya adalah mengatur pembelahan sel. Proporsi pasien NSCLC dengan mutasi EGFR ini sangat tinggi pada populasi Asia termasuk didalamnya Indonesia. Pengobatan pasien dengan EGFR NSCLC mutasi-positif telah berubah secara nyata dalam beberapa tahun terakhir setelah pengembangan obat yang disebut EGFR tirosin kinase inhibitor (TKI). Hal ini berkorelasi dengan meningkatnya pasien kanker paru di Indonesia terlebih lagi pasien paru wanita yang memiliki kemungkinan besar disebabkan terjadinya karena terjadinya mutasi pada gen EGFR nya.

Dalam hal ini, teknologi genomik dalam mengidentifikasi perbedaan sekuens DNA yang dimiliiki pasien sangat membantu dalam pengobatan kanker paru yang diakibatkan oleh terjadinya mutasi pada gen EGFR nya. Faktor resiko terjadinya kanker ini juga dapat diperkecil dengan melakukan deteksi dini mutasi pada sekuens gen EGFR terlebih lagi pada individu yang memiliki riwayat keluarga kanker. Apakah terdapat mutasi bawaan atau mutasi yang terjadi akibat faktor lingkungan. Dalam perkembangannya, beberapa TKI EGFR telah dikembangkan, dan data uji klinis menunjukkan bahwa TKI generasi kedua afatinib terbukti efektif dalam pengobatan pasien kanker NSCLC mutasi-positif.

Di Indonesia, diketahui telah terdapat beberapa mutasi yang sensitive terhadap TKI generasi pertama dan sensitive terhadap TKI- generasi kedua. Perbedaan jenis mutasi bahkan pada tingkat ekson juga sangat mempengarui pemilihan jenis pengobatan. Dalam sebuah artikel ilmiah dikatakan Pada tahun 2014, Di Indonesia telah digambarkan mutasi EGFR umum yang terkait dengan sensitivitas TKI (erlotinib dan gefitinib) generasi pertama terutama pada ekson 19 (penyisipan/penghapusan) dan 21 (L858R) yang diperoleh dari spesimen sitologi menggunakan sekuensing Sanger. Namun, prevalensi dan asosiasi patologi klinis dari mutasi EGFR yang jarang atau tidak umum seperti G719S/A/C (secara kolektif G719X), T790M, dan L861Q belum dideskripsikan secara luas di Indonesia. Mutasi yang tidak umum ini sensitif terhadap TKI generasi kedua dan ketiga yaitu afatinib dan osimertinib. Secara khusus, tingkat mutasi T790M dianggap rendah pada pasien yang memiliki respon baik dengan pengobatan, tetapi berkontribusi hingga 50% dari pasien yang resisten terhadap TKI generasi pertama.

Deteksi mutasi pada sel kanker berbasis bioinformatika telah menjadi pendekatan yang paling banyak dipilih dalam mendeteksi kelainan, pemilihan terapi, dan pengembangan obat pada sel kanker di dunia. Pendekatan ini dapat dilakukan di Indonesia dengan kemajuan teknologi dan SDM yang memadai seperti saat ini. Oleh sebab itu, metode ini diharapkan dapat membantu mengurangi pasien kanker paru di Indonesia.

Reference:

Kesherwani, V., Shahshahan, H. R. & Mishra, P. K. Cardiac transcriptome profiling of diabetic Akita mice using microarray and next-generation sequencing. PLoS One 12, 1–17 (2017).

Liu, L., So, A. Y. L. & Fan, J. B. Analysis of cancer genomes through microarrays and next-generation sequencing. Transl. Cancer Res. 4, 212–218 (2015).

Le, X. et al. Dual EGFR-VEGF Pathway Inhibition: A Promising Strategy for Patients With EGFR-Mutant NSCLC. J. Thorac. Oncol. Off. Publ. Int. Assoc. Study Lung Cancer 16, 205–215 (2021).

Gao, W. et al. EGFR point mutation detection of single circulating tumor cells for lung cancer using a micro-well array. Biosens. Bioelectron. 139, 111326 (2019).

Guo, G. et al. Next-Generation Sequencing Reveal High Uncommon EGFR Mutations and Tumour Mutation Burden in a Subgroup of Lung Cancer Patients. Front. Oncol. 11, 1–11 (2021).

--

--