Rekayasa Genetik Nyamuk untuk Membasmi Malaria dan DBD

Gio Nathaniel
Biologi Sintetik Indonesia
6 min readAug 31, 2022
Nyamuk Anopheles sebagai Vektor Malaria
Nyamuk Anopheles sebagai Vektor Malaria (sumber: scientistsagainstmalaria.net)

Ah, banyak banget sih nyamuk.”

Begitulah ujaran yang sering saya dengar setelah 20 tahun tinggal di bumi nusantara ini. Setiap turun hujan, selalu ada peningkatan jumlah nyamuk yang berhubungan lurus dengan peningkatan emosi di hari itu. Jika anda pernah mengunjungi daerah sekitar Fakultas Teknik UI, pasti pernah merasakan ganasnya nyamuk-nyamuk di sana. Belum lagi daerah yang pastinya lebih dekat dengan permukaan air yang luas, seperti danau dan waduk.

Walaupun digigit nyamuk hanya terasa gatal dan membuat bentol-bentol merah, risiko yang dibawa bukan hal sepele. Penyakit yang dapat dibawa nyamuk merupakan salah satu dari penyakit yang sangat berbahaya tetapi mudah menyebar: Demam Berdarah Dengue (DBD), Malaria, Zika, Chikungunya, dan masih banyak penyakit-penyakit mengerikan lain.

Di Indonesia, kasus penyakit yang berhubungan dengan nyamuk masih sangat tinggi. Pada tahun 2021, total kasus DBD mencapai 71.044 kasus, sedangkan total kasus Malaria pada tahun tersebut sebesar 94.610 kasus. Mayoritas kasus DBD terjadi di daerah Jawa Barat, sedangkan kasus Malaria umum terjadi di daerah Indonesia Timur. Mengambil perbandingan dengan negara lain, setiap tahun, sebanyak 405.000 penderita Malaria meninggal di daerah Sub-Sahara Afrika. Jika tidak diatasi, penyakit akibat nyamuk ini akan semakin menyebar dan membahayakan masyarakat.

Transmisi penyakit yang dibawa nyamuk berbeda-beda tergantung jenis penyakitnya, tetapi umumnya transmisi terjadi antara nyamuk dan manusia, saat terjadi gigitan. Oleh karena itu, solusi paling utama tetap berupa pencegahan, mulai dari pemutusan rantai hidup nyamuk hingga penggunaan peralatan dan obat-obatan pencegah gigitan nyamuk.

Pada pertengahan tahun 2019, sekumpulan peneliti dari Target Malaria, organisasi yang didukung Bill & Melinda Gates Foundation, melepaskan nyamuk malaria Anopheles coluzzi termodifikasi di sebuah kota di Burkina Faso, negara bagian barat Afrika yang rentan penyakit nyamuk menular. Tujuan pelepasan nyamuk termodifikasi itu adalah mengurangi jumlah vektor malaria yang hidup. Modifikasi yang dilakukan adalah rekayasa genetika spesifik sehingga nyamuk jantan menjadi steril, ditujukan untuk penurunan jumlah nyamuk malaria aktif setelah kurun waktu tertentu. Hampir tiga tahun kemudian, pada awal tahun 2022, mereka melakukan recapture nyamuk tersebut untuk penelitian lanjut.

Strain nyamuk A. coluzzi jantan steril, yang disebut sebagai Ac(DSM)2, merupakan produk introgresi dari strain nyamuk A. gambiae jantan steril, disebut sebagai Ag(DSM)2, yang sudah diteliti sebelumnya pada tahun 2008.

Dalam penelitian A. gambiae tersebut, nyamuk direkayasa sehingga melepaskan suatu enzim khusus yang secara memotong sekuens DNA tertentu di kromosom X pada tahap perkembangan spermatozoa. Akibatnya, spermatozoa akan cenderung lebih banyak menghasilkan kromosom Y dibanding X, menyebabkan nyamuk jantan jauh lebih banyak, bahkan hingga 90% keturunan nyamuk jantan. Distorsi sex ratio ini dapat menyebabkan populasi nyamuk ini punah setelah beberapa generasi akibat tidak adanya nyamuk betina.

Secara spesifik, enzim yang dilepaskan adalah I-PpoI homing endonuclease, suatu enzim yang secara selektif memotong pengulangan rDNA ribosomal yang hanya terdapat di daerah centrometric kromosom X. Pemotongan ini menyebabkan fragmentasi nukleus hingga kematian sel, sehingga sel dengan kromosom X berpotensi mati. Enzim I-PpoI homing endonuclease dihasilkan akibat insersi transformation construct pBac{3xP3-DsRed}β2-eGFP::I-PpoI. Sesuai namanya, gen eGFP::I-PpoI diinsersi setelah promoter khusus yang mengarahkan ekspresi gen pada testis sehingga enzim I-PpoI tersebut dapat dilepaskan pada daerah testis saja, tempat perkembangan spermatozoa.

Gen penghasil enzim tersebut disebarkan menggunakan model penelitian Gene Drive, penyebaran sifat genetik makhluk hidup yang diinginkan ke keturunannya selama beberapa generasi. “Umumnya, suatu gen memiliki kemungkinan sebesar 50% untuk diturunkan, tetapi sistem gene drive dapat meningkatkan persentasenya hingga 99%,” ujar Profesor Austin Burt, seorang guru besar di Departemen Life Sciences Imperial College London.

Dengan sistem ini, nyamuk tidak langsung mati, tetapi gen tersebut dapat disebarkan ke populasi nyamuk liar (Wild-Type), sehingga dalam beberapa generasi, nyamuk malaria yang mati jauh lebih banyak, tidak hanya yang direkayasa saja.

Setelah hampir tiga tahun penelitian, dilakukan recapture terhadap nyamuk termodifikasi yang sudah ditandai. Dari 14.850 nyamuk yang disebarkan, 527 nyamuk berhasil di-recapture untuk diteliti lebih lanjut. Hasil pemodelan matematis seperti estimasi Bayesian menunjukkan bahwa nyamuk jantan termodifikasi memiliki kemungkinan bertahan hidup jauh lebih kecil dibanding nyamuk liar (Wild-Type).

Potensi rekayasa genetika tidak terbatas pada satu-dua penelitian saja. Sebagai alat, potensi insersi, modifikasi, dan delesi genetik untuk berbagai tujuan tidak ada batasnya. Pada pencegahan penyakit malaria saja, selain insersi gen penghasil enzim I-PpoI, terdapat banyak sekali metode, seperti insersi genetik yang menyebabkan nyamuk betina infertil hingga modifikasi genetik yang menyebabkan nyamuk tidak dapat menunjuang kehidupan Plasmodium, penyebab penyakit malaria. Potensi bioteknologi ini dapat berlaku juga untuk jenis penyakit menular pada nyamuk lainnya, seperti DBD dan Zika.

Sebuah penelitian lain dilakukan untuk mencegah penularan DBD akibat vektor nyamuk Aedes aegypti. Pada penelitian tersebut, dilakukan insersi gen yang menyebabkan nyamuk A. aegypti menginhibisi (menghambat) replikasi virus DENV-2 (virus dengue tipe 2) pada daerah midgut.

Gen yang diinsersi adalah RNA inverted-repeat (IR-RNA). Gen ini menyebabkan pembentukan dsRNA yang mengaktifkan sistem RNAi atau RNA interference. RNAi mendorong resistensi terhadap asam nukleat parasitik, pada kasus ini berupa DENV-2. Dengan bantuan promoter A. aegypti carboxypeptidase A, IR-RNA diekspresikan di midgut oleh Carb77. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyamuk dengan Carb77 memiliki resistensi lebih tinggi terhadap DENV-2, menunjukkan potensi eradikasi DBD.

Dengan banyaknya penelitian dalam pencegahan penyakit menular melalui nyamuk, poin penting yang dapat diambil bukanlah pada masing-masing penelitian tersebut secara spesifik. Besarnya variasi metode penelitian menunjukkan bahwa alat rekayasa genetika merupakan teknologi penting untuk problem-solving masalah-masalah besar di dunia. Jika penyakit menular melalui nyamuk ingin dihapuskan, bioteknologi menggunakan rekayasa genetika merupakan pintu besar yang dapat dibuka melalui banyak penelitian. Perkembangan era informasi juga mendorong interaksi akademis antarinstansi untuk saling berbagi hasil penelitian.

Di Indonesia, teknologi rekayasa genetika untuk menghadapi penyakit DBD, Malaria, hingga Zika sangat dapat diaplikasikan. Sebagai negara tropis, Indonesia-lah yang memiliki kebutuhan terbesar dalam pencegahan penyakit-penyakit tersebut. Mau tidak mau, bioteknologi harus segera diterapkan dan digencarkan.

Untuk menutup artikel ini, realita bioteknologi di Indonesia masih sangat terbatas. Perusahaan-perusahaan startup bioteknologi belum mencapai sukses sebesar perusahaan luar negeri seperti Notable Labs, Ginkgo Bioworks, Codiak BioSciences, dan perusahaan-perusahaan besar lain. Lantas, apa yang mencegah startup Indonesia untuk sukses? Apakah inovasi yang dibawakan kurang? Saya rasa Indonesia tidak kekurangan pemuda-pemudi cemerlang yang kreatif dan inovatif di bidang bioteknologi. Apakah diakibatkan tidak adanya investor? Investor tentu saja tidak akan memberikan dana jika bisnis yang didukung tidak menjanjikan, terutama pada bidang yang sangat baru seperti bioteknologi. Indonesia, saat ini, perlu waktu banyak untuk mengembangkan sektor bioteknologi. Inovasi sebaik apapun tidak akan berguna jika baru berada di tahap riset. Pendanaan sebanyak apapun tidak akan berbuah hasil jika produksi hasil inovasi belum berjalan lancar.

Indonesia perlu waktu trial-and-error untuk mengembangkan sektor teknologi biologis, baik dalam tingkat selular, genetik, hingga molekular. Jika inovasi gagal, buatlah inovasi lain. Jika startup berhenti, evaluasi dan tingkatkan lagi untuk usaha selanjutnya. Dalam menjadi pionir sektor baru, kita tidak boleh tergesa-gesa dan cepat-cepat menilai bahwa hasil ini berhasil atau tidak. Untuk terjadi perkembangan, perlu jatuh-bangun dari pelopor-pelopor bioteknologi di Indonesia. Penelitian rekayasa genetika pada nyamuk malaria berlangsung dari tahun 2008 hingga 2022, hampir 14 tahun usaha berkepanjangan. Siapkah kita melakukan hal yang sama demi Ibu Pertiwi Indonesia ini?

Sumber

--

--