What I’ve Learned from Incode.design: Apa yang Museum DKI Butuhkan?

Radya Labs
Blackdesk
Published in
6 min readMay 1, 2016

Lima tahun yang lalu, Google, memutuskan untuk mendirikan Google X, satu divisi yang memiliki misi Change the world. Break things. Not necessarily in that order. Dalam menjalankan misi tersebut, mereka memiliki 3 patokan dasar. (1) Temukan masalah yang besar yang berefek pada jutaan orang, (2) usulkan solusi yang radikal terhadap masalah tersebut, (3) kepercayaan bahwa teknologi untuk solusi itu bisa dihasilkan. Anda pasti sudah mendengar mengenai Project Loon, balon internet raksasa yang dapat memberikan akses internet ke jutaan orang di daerah tidak terjangkau, Self-driving car, mobil yang dapat berjalan sendiri atau Project Wing, sebuah drone yang dapat mengantarkan barang. Beberapa proyek dari Google X bahkan sudah ada yang lulus dari divisi tersebut dan dibentuk suatu unit bisnis terpisah yang akan mengeksplorasi komersialiasi dari teknologi yang dihasilkan, seperti Google Glass dan Google Brain. Beberapa project mungkin tidak sempat kita dengar muncul ke permukaan, seperti automated vertifal farming atau kapal kargo yang dapat melaju cepat tanpa menghasil emisi bahan bakar yang besar.

Salah satu teknik yang mereka gunakan adalah identifikasi masalah-membangun prototipe-menguji dilapangan-lakukan hal ini berkali-kali. Teknik ini juga merupakan intisari dari teknik Lean Startup yang banyak dijadikan kitab pelaku startup. Melalui cara tersebut, tidak terhitung ribuan prototipe yang sudah dihasilkan. Berapa banyak prototipe yang mengalami kegagalan pada saat uji coba. Berapa banyak prototipe yang rusak.

Tapi diakhir hari, hal yang terpenting adalah melalui cara tersebut didapatkan pembelajaran. Data. Feedback. Masukan. Apapun itu yang mampu mengantarkan kita menuju tujuan kita walaupun hanya selangkah. Itu adalah cara Google X mengubah dunia. Dan itulah teori yang tampaknya mudah dilakukan. Kita semua sudah tahu. Feedback loop. Real feedback. Real users.

Namun seringkali kita lengah juga.

Google X’s boss, Sergey Brin, wants X to drive dramatic change, defined as a 10x improvement on current methods, through rigorous experiments involving atoms, not just bits (in other words, real stuff that can crack, fall apart and explode)

Kemarin saya baru saja berpartisipasi di acara Incode.design, sebuah acara yang mengutamakan proses dan ajang kompetisi untuk mendorong kolaborasi masyarakat sipil, swasta, pemerintah, akademisi dan komunitas pengembang aplikasi (developers) untuk membangun solusi inovatif untuk menjawab tantangan utama pembangunan di Indonesia. Tulisan ini adalah bagian pertama, pelajaran yang saya dapatkan dari keikutsertaan di kegiatan ini.

Saya tidak mengetahui kegiatan ini sampai bertemu dengan Yohan, yang secara kebetulan akan mengadakan roadshow acara Incode di Bali. Pada saat yang sama, saya mengisi kegiataan workshop pula disana. Yohan menceritakan apa yang ingin dilakukan organisasi tempat dia bekerja, Asia Foundation, bukan lagi hanya hackathon yang sudah terlalu sering dilakukan. Kegiatan incode ingin memberikan dampak yang berbeda. Benar ada funding bagi proyek yang berhasil menarik perhatian donor, namun fokusnya bukan pada hadiah tersebut, tapi bagaimana hadiah tersebut benar-benar digunakan untuk membangun solusi yang diusulkan. Saya tertarik.

Sadar tidak ada tantangan yang sesuai dengan apa yang ingin saya kerjakan, saya menghubungi Paw, salah satu leader di Jakarta Smart City. Sebelumnya kita sudah ada pembicaran singkat mengenai kebutuhan aplikasi museum untuk wilayah DKI, atau lebih luas lagi, aplikasi untuk meningkatkan kunjungan wisata di DKI Jakarta, follow-up dari prototipe yang saya dihasilkan di acara HackJak 2015. Masih adanya kebutuhan JSC terhadap aplikasi museum tadi akhirnya mengantarkan museum sebagai salah satu tantangan yang dilempar tim JSC di kegiatan incode ini. Harapannya, kita ingin memaparkan kebutuhan ini ke para donor berharap ada donor yang tertarik dan kita mendapatkan pendanaan untuk memulai proyek ini.

Berbekal prototipe yang pernah saya kembangkan itu, kami mengikuti kegiatan incode.design. Pada acara workshop Design Sprint yang diadakan, para pengembang diharapkan dapat berkolaborasi dengan calon pengguna dari aplikasi yang ingin dihasilkan. Sayangnya, pada acara itu, tim kami, kekurangan 1 elemen yang mungkin adalah elemen paling penting : real user. Jadilah pada workshop tersebut, perwakilan developer (saya) dan perwakilan JSC (paw) merancang prototipe lanjutan berdasarkan asumsi dan riset kecil-kecilan kita via internet.

Masalah Yang dihadapi Museum di DKI Jakarta

Masalah yang kita angkat adalah masih rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke museum di wilayah DKI. Ada 9 museum dibawah pengeloloaan DKI. Total kunjungan museum ini hanya sekitar 1 juta selama tahun 2015, bandingkan dengan Ancol yang mencapai 17 juta pada tahun yang sama. Padahal, menurut teori urban tourism, museum dan marketing yang saya baca, museum di kota-kota besar sudah menjadi faktor penentu apakah seorang wisatawan akan memperpanjang waktu stay mereka di suatu kota. Begitu pentingnya pengaruh museum, sehingga dapat membawa dampak ekonomi bagi kota. Makin lama waktu stay wisatawan, berarti makin banyak spending yang dapat kita harapkan dari wisatawan tersebut.

Sebagai salah satu penikmat museum jika sedang berpergian, saya dan Paw mengambil perspektif pengunjung. Apa sih yang diharapkan dari pengunjung ketika berada di museum. Experience. Kekurangan dari Museum DKI menurut kita adalah ketidakmampuan museum membungkus koleksi yang mereka miliki dan menciptakan “pengalaman berkunjung” yang membekas bagi wisatawan. Tidak usah jauh-jauh ke Madame Tussaud, Museum Angkut di Malang memberikan experience yang menurut saya lebih menarik, menggabungkan koleksi, tata letak dan storyline sehingga benar-benar menawarkan pengalaman sekaligus pengetahuan kepada para pengunjung.

Dari situ kami merancang fitur-fitur aplikasi yang ingin dikembangkan, fokus untuk memanjakan pengunjung. Mulai dari kelengkapan informasi mengenai museum, pembelian tiket online hingga audio tour untuk menghadapi kurangnya guide pada museum-museum di DKI. Tentu saja untuk mendukung informasi tadi, perlu pula dikembangkan aplikasi Backoffice, yang akan digunakan oleh pengelola museum. Lebih lanjut lagi, saya melemparkan ide untuk membuat satu komponen lagi, aplikasi Ticket Scanner, yang akan digunakan penjaga pintu untuk memindai tiket dipintu masuk, sehingga jumlah kunjungan dapat dipantau secara real-time. Total ada 3 komponen, aplikasi mobile untuk customer, aplikasi backoffice dan scanner untuk pengelola museum. Kita cukup percaya diri dengan diskusi produktif yang dihasilkan di sesi Design Sprint tersebut. Selanjutnya prototipe dihasilkan dan Alhamdulillah, berhasil masuk Top Ten dari kegiatan itu.

Masalah Sebenarnya Yang dihadapi Museum di DKI Jakarta

Pada hari puncak Incode, seluruh Top Ten akan diminta presentasi di depan para donor dan hadirin yang lain. Untungya, pada Acara tersebut Paw berhasil mendatangkan Bu Sri, Direktur untuk Museum Sejarah Jakarta. Ada 4 Museum dibawah pengawasan Bu Sri, salah satunya adalah Museum Fatahillah. Sebelum sesi presentasi tim kami, saya menyempatkan diskusi singkat dengan Bu Sri. And I wish I met her sooner.

Dari obrolan singkat tak lebih dari 30 menit, saya mulai menangkap apa masalah sebenarnya yang dihadapi oleh Museum DKI Jakarta. Saya ceritakan secara singkat prototipe yang saya kembangkan, konsep dan pengaplikasiannya. Bu Sri mengapresiasi. Namun beliau menceritakan pain problem yang ia hadapi selama ini. Tidak adanya suatu cara yang mudah untuk mencatat dan mengelola koleksi yang mereka miliki sehingga memudahkan mereka dalam melakukan perawatan, perancangan tata letak dan kegiatan promosi. Selama ini kegiatan tersebut dilakukan menggunakan file excel, terhadap ribuan koleksi yang mereka miliki. Dapat saya bayangkan sulitnya pekerjaan yang mereka lakukan selama ini. Beliau menjelaskan kembali, fungsi utama Museum di Indonesia adalah pelestarian cagar budaya. Bahwasanya ada fungsi ekonomi tidak dapat dipungkiri, namun hal itu tidak menjadi suatu tugas yang utama.

Dari solusi yang saya tawarkan, ternyata pada tahap ini, menurut beliau, aplikasi Backoffice-lah yang benar-benar dibutuhkan. Museum belum memikirkan aplikasi mobile interaktif yang memudahkan pengunjung menikmati koleksi yang tersedia. Saat ini, kebutuhan mereka adalah mendata dan mencatat seluruh benda koleksi yang mereka miliki, yang mana asetnya bisa saja mencapai milyaran rupiah. Aset berharga yang harus dilindungu. Kekayaan negara. Yang dapat menunjukkan jati diri suatu bangsa. Yang saat ini mereka butuhkan adalah suatu cara yang lebih mudah dalam pengelolaan, pencatatan pemugaran, lokasi dan hal-hal detail terkait koleksi museum tersebut.

Audio tour? Nice to have. Booking tiket? Not now. Yang mereka butuhkan adalah aplikasi Backoffice yang fokus kepada pengelolaan aset.

Belajar Dari Berbagai Sudut Pandang

Tigapuluh menit di acara puncak Incode.design meskipun singkat kembali mengajarkan hal penting bagi saya. Bukannya tidak faham akan hal ini. Saya sudah coba mempelajari betapa pentingnya melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, pain problem dan mencari akar masalah sebelum menghasilkan solusi. Itu sudah diajarkan sejak zaman kuliah, melalui buku-buku yang saya baca dan entah berapa banyak diskusi pada event startup yang saya datangi. What is the main problem? Mulailah dari masalahnya terlebih dahulu.

Akan tetapi masih saja saya seringkali lengah, karena merasa bisa menciptakan sesuatu, namun bukan hal yang sebenarnya sedang dibutuhkan. Pengalaman ini kembali menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pentingnya berbicara dengan real user. Pentingnya membawa prototipe kita segara ke dunia luar untuk secepat mungkin mendapatkan masukan. Pentingnya menemukan akar masalah sebelum jauh bergerak mencari solusi. Pentingnya untuk melihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya kita yang mampu mengembangkan aplikasi, tetapi sudut pandang siapa yang memerlukan dan siapa yang akan menggunakan.

Meskipun di acara kali ini, Moresa belum berhasil mendapatkan perhatian yang kami harapkan, namun pelajaran berharga sudah saya terima. Saya, Paw dan Bu Sri berjanji untuk terus berdiskusi mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada untuk proyek ini. Karena sesungguhnya koleksi museum merupakan salah satu aset bangsa yang berhaga. Kalau tidak kita yang menjaganya, siapa lagi?

--

--