Stakeholder Jadi Notetaker, Why Not?

Rahma Islami Lukitasari
Blibli Product Blog
4 min readDec 26, 2019

As a researcher ada kalanya gue mengharapkan bisa menguasai skill untuk melakukan 2 kegiatan ini sekaligus: conducting the interview and note taking at once. Gue personally bukan seseorang yang bisa melakukan 2 tasks tersebut di waktu yang bersamaan. Gue butuh benar-benar fokus bonding dengan partisipan dan membuat dia nyaman ada di environment gue. Ya mungkin di luar sana ada researcher-researcher yang ahli dan bisa aja note-taking sambil conduct interview. But I cannot :(

Dan sejujurnya kalo gue diminta untuk melakukan 2 tasks itu sekaligus, gue bisa kehilangan fokus dan jadi bingung pertanyaan follow up apa yang harus gue tanyakan. Pertanyaan follow up yang kita lontarkan ke partisipan memang bergantung dari jawaban yang mereka sampaikan. Tapi kita juga gak pengen dong jadi lupa dengan objective awal research kita dan malah jadi out of topic. Dengan fokus ke perbincangan kita dengan partisipan, gue jadi lebih bisa men-drive supaya gak kebawa arus pembicaraan yang pada akhirnya gak menjawab objective awal research kita.

Tapi terus gimana? Kita mau fokus dengan interview yang kita lakukan, tapi di sisi lain kita juga harus nyicil nulis quote-quote penting dari partisipan, atau at least nulis kronologi kejadian-kejadian penting yang muncul dari si partisipan. Ga mau kan, kalo harus menghabiskan waktu 1–2 jam penuh terbuang hanya untuk mendengarkan ulang rekaman dan transcribe your interview?

Well ideally, you need to transcribe. But in an agile environment or in UX industry, itu akan sangat menghabiskan waktu kita. Apalagi kalau stakeholder-nya request research dadakan, dan fiturnya akan release in a week. What should we do then?

Invite your stakeholder to be your note taker!

Tapi… dari yang gue jalani, ada kalanya stakeholder yang berkaitan dengan research yang kita jalani ini gak punya waktu semua karena terlalu sibuk, atau jadwalnya lagi gak bisa pas dengan jadwal riset kita. Kalo udah kayak gitu, ada baiknya kita coba untuk invite stakeholder lain yang mungkin sebenarnya gak berkaitan dengan proyek yang kita jalankan, tapi kebetulan jadwal mereka lagi kosong dan mau bantuin. Why not kan? Karena sebenarnya pasti ada aja stakeholder lain yang gak berkaitan dengan proyek kita, tapi dia selalu penasaran dan kepo dengan riset yang kita lakukan. Maka itu adalah kesempatan emas!

Tapi jangan senang dulu. Dengan bersedianya mereka bantuin kita para researcher jadi notetaker, bukan berarti kesedihan kita berhenti di situ.

Sepengalaman gue, ada aja stakeholder yang keliatan sangat fokus mendengarkan dan mencatat percakapan kita dengan partisipan saat interview. Tapi pas kita cek note-nya… Tada! Obrolan kita selama 1–2 jam dirangkum sangat singkat menjadi 20 baris saja! :”) (entah apa yang mereka ketikkan saat itu. Mungkin lagi sibuk koordinasi dan balas chat :”))

Oleh karenanya, ada beberapa hal yang sekiranya mungkin bisa kita lakukan sebelum meminta stakeholder kita buat jadi notetaker. Disclaimer: tips n trik ini berdasarkan pengalaman aja ya :”)

Pertama, minta mereka menuliskan sesuai dengan yang dikatakan partisipan aja. Tekankan ke mereka, anggap aja semua hal penting, dan gak usah repot-repot memasukkan pemikiran dan pendapat pribadi di note itu. Atau kalau mereka masih mau masukin pendapat pribadi ya silakan, tapi minta mereka kasih tanda. Misal di-bold atau di-italic. Kan cepet tuh tinggal CTRL+I.

Kedua, minta stakeholder kita untuk menuliskan secara kronologis aja berdasarkan yang dikatakan partisipan. Nanti kalau ada yang missed, minta mereka untuk memberikan tanda as simple as dots (…..) atau tulisan “terlewat di bagian ini”.

Untuk trik yang kedua ini, sebenarnya tergantung style kita dalam men-sintesis sih. Ada mungkin beberapa researcher yang udah menyiapkan template dan minta stakeholder mereka untuk mempelajari atau at least baca terlebih dahulu. Nanti kan pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan sesuai dengan template tersebut. Nah tinggal minta mereka menyocokan jawaban partisipan untuk ditaruh di template yang sesuai.

Salah satu contoh template pengisian note take oleh salah satu researcher Blibli.com

Tapi kalo sepengalaman gue, style seperti itu ada kekurangannya. Salah satunya, karena pertanyaan kita suka lompat-lompat. Dan susah buat stakeholder untuk mencari harus ditulis di mana jawaban user kalo lompat-lompat gitu. Kadang bahkan ada pertanyaan follow up yang baru kepikiran setelah mendengar jawaban dari user, dan pada akhirnya gak kita tulis di template. Kalo udah kayak gitu, pasti stakeholder kita juga akan kebingungan mau ditulis di mana jawaban itu. Kadang akhirnya mereka harus inisiatif sendiri deh masukin jawaban-jawaban itu di template yang lain.

Selain itu, sudah merupakan suatu hal yang pasti bahwa stakeholder ada kalanya missed beberapa poin dari jawaban partisipan (sangat understandable karena emang susah sih menuliskan semua percakapan yang cepat itu. Apalagi hanya mendengarkan itu jauh lebih membosankan dibandingkan aktif bertanya). Padahal, menurut kita kadang poin/insight tersebut penting. Kalo udah kayak gitu, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan ya dengerin ulang voice record interview tersebut. Dan buat gue personally, agak sulit nentuin harus dengerin dari mana, karena biasanya yang gue inget adalah kronologis percakapannya.

Ketiga, ya gimana pun, ada baiknya untuk mengingatkan stakeholder kita lagi dan lagi untuk baca interview plan yang udah kita bikin. Supaya mereka tau konteksnya kita ini lagi research apa, dan jadi bisa tahu kapan jawaban-jawaban partisipan kita harus ditulis.

Terakhir, dengan dibuatnya tulisan ini, saya sebagai UX Researcher Blibli bukannya ingin menyindir para stakeholder yang pernah terlibat. Justru ingin berterima kasih, karena dengan segala kerelaan kalian, kerjaan kami para researcher jadi sangat terbantu ❤❤❤

If you’re interested in applying for a full-time position or intern, Blibli is currently hiring! Send your resume to recruitment@blibli.com and get the chance to work with our UX team and our own unique stories.

--

--