Lobang Pendidikan Indonesia

Naufal Dary N
BonapasogitMengajar
4 min readSep 12, 2021
image from Unsplash

Halo sobat Bonapasogit Mengajar !

Pendidikan formal mungkin sudah menjadi semakin awam di masyarakat modern sekarang ini. Ketika akses pendidikan serta pemerataan guru ke penjuru tanah air sudah semakin baik, maka semakin banyak pula anak-anak Indonesia yang akan berkecimpung di mapel-mapel wajib seperti IPA, matematika, IPS, dan seterusnya. Dan semakin bertambah pula jumlah orang yang lulus dari sekolah formal tersebut kemudian melihat ke belakang dan bertanya “Gw sebenernya belajar ini itu di sekolah buat apa sih?”

Yang tadi itu merupakan sedikit narasi untuk membuka pembahasan kita kali ini di mana mungkin teman-teman sendiri juga pernah atau justru sering mengalaminya. Ketika kita “dicekoki” dengan materi-materi yang sangat teknis seperti menghafal nama-nama kelas makhluk hidup, nama-nama raja kerajaan kuno, bahkan hingga panjang dan lebar lapangan sepak bola, kita cenderung berpikir “Buat apa sih kita belajar ginian, lagian ntar ga bakal dipakai pas gw udah besar.” Saya hanya ingin bilang:

Kalian ga salah mikir begitu ;)

Karena kenyataannya memang ada lubang di tengah sistem pendidikan kita.

Saya suka mengibaratkan kasus ini dengan ilustrasi seorang anak yang sedang belajar menggunakan sendok. Pada pendidikan tradisional kita, anak tersebut diajari bagaimana ia harus memegang sendok tersebut dengan sempurna. Berapa tekanan yang harus diberikan ke sendok nya, berapa cm jarak jari dari ujung sendok, berapa sudut kemiringan sendok tersebut, dan berbagai detail memusingkan lainnya. Ironisnya, saking fokusnya anak itu diajari cara terbaik memegang sendok tersebut, sampai-sampai ia tidak sempat diajari bahwa cara ia meraih manfaat dari memakai sendok tersebut adalah menyuap makanan ke dalam mulutnya. Sehingga di akhir pembelajaran nya tersebut, anak itu tetap merasa lapar dan menderita.

Ya, memang itu lah kenyataanya. Para pendidik, baik dari level guru sampai perancang kurikulum sangat menitik beratkan pada banyaknya bab yang diselesaikan dalam satu tahun ajaran. Sehingga kualitas penyampaian dan pendalaman materi menjadi tidak maksimal. Bahkan mungkin sebagian dari sahabat Bonapasogit Mengajar ini pernah mengalami situasi di mana guru terpaksa melewatkan satu bab karena waktunya sudah tidak cukup untuk menjelaskan.

Boro-boro mau mempraktekin pelajaran, yang sama-sama bahas teori aja udah ga sempet.

Budaya pendidikan kita pun membuat siswa berlomba-lomba memberikan performa terbaik mereka mengikuti dan menghafal semua bahasan teknis tadi bahkan sampai persis dari kata ke kata. Seakan-akan mereka akan menjadi super cerdas ketika menghafalnya. Seakan-akan hidup mereka akan berjalan lebih baik ketika mereka berhasil mengingat semua hal tersebut. Sayangnya matahari tidak bersinar lebih terang ketika kita berhasil menghafal unsur-unsur di tabel periodik, kan?

Kenyataannya, sedikit sekali materi yang kita dapat di kelas yang kemudian benar-benar kita gunakan di kehidupan kita sehari-hari. Sisanya hanya bertahan di otak kita, setidaknya sampai ulangan harian atau ujian akhir, setelah itu kemungkinan kita lupakan.

Namun, hal yang saya tuntut dari pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia, bukanlah mengganti pelajaran-pelajaran tadi menjadi murni praktikal. Memang ada bagusnya jika siswa-siswa juga dibekali dengan pelajaran seperti mengurus dokumen-dokumen kependudukan atau pun membayar pajak, tetapi yang sungguh ingin saya tekankan di tulisan kali ini adalah:

Bagaimana cara menggunakan ilmu-ilmu yang biasa diajarkan ini sehingga hidup para siswa menjadi lebih baik karena telah mempelajarinya.

Terdengar sedikit janggal memang, karena ketika kita ingat kembali (contoh) pelajaran sosial di mana kita harus menghafal anggota-anggota PPKI, dari mananya kita bisa membuatnya menjadi ilmu praktis?

Jawabannya bisa beragam. Ada yang solusinya masih berada di dalam disiplin ilmu tersebut, namun ada juga yang sedikit keluar. Tentunya metode yang tepat perlu disesuaikan dengan materi serta kondisi yang ingin dihadapi.

Dalam kasus PPKI di atas, salah satu senjata untuk mengubahnya menjadi ilmu praktis adalah ilmu komunikasi. Yap, ilmu komunikasi. Di mana dengan berbekal ilmu tersebut kita menjadi tahu bagaimana cara terbaik menyampaikan pengetahuan-pengetahuan kita secara verbal ke orang lain. Karena banyak kejadian di mana siswa dengan nilai sempurna di atas kertas, menjadi terdengar meragukan ketika ditanya atau diminta menjelaskan konsep-konsep tersebut dihadapan orang lain. Dengan berbekal ilmu yang kita dapat di sekolah ditambah dengan ilmu komunikasi tadi, dapat membuat kita terdengar sebagai orang yang lebih berpendidikan. Dengan kombinasi tersebut, kita semakin dapat membangun koneksi dan kepercayaan orang lain kepada diri kita. Ujung-ujungnya akan mempermudah kita menjalani hidup kita pula.

Contoh selanjutnya adalah pada pelajaran IPA alias Ilmu Pengetahuan Alam. Sebelumnya saya sudah menyinggung tentang satu materinya mengenai klasifikasi makhluk hidup. Bagaimana membuat ilmu tersebut menjadi ilmu praktis? Salah satu caranya adalah alih-alih sekedar meminta siswa menghafalkan nama-nama spesies, ordo, dan sebagainya, ajarilah mereka bagaimana cara mengidentifikasi makhluk hidup-makhluk hidup tersebut secara langsung. Suatu hari, ketika semisal mereka menemukan satu spesies jamur, mereka tahu mereka sebaiknya memakannya atau menghindarinya. Ketika melihat katak, mereka tahu bagian mana yang harus diperhatikan untuk tahu bahwa katak itu beracun atau tidak. Ilmu-ilmu seperti ini justru ilmu yang secara harfiah dapat menyelamatkan hidup seseorang.

Kembali, setiap pelajaran membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda. Itulah yang sekarang menjadi tugas para pemangku kepentingan untuk berinovasi dan membuat ilmu-ilmu yang dibawakan di sekolah menjadi ilmu yang akan menjadi penolong bagi para siswa di kehidupan mereka.

Namun, bagi para pembaca yang sekarang masih duduk di bangku sekolah, mari lah kita terus mengembangkan diri di luar apa yang kita telah dapat di sekolah. Kreatif lah dalam mencari cara agar ilmu yang kalian dapat hari ini menjadi suatu hal yang nyata dan berguna. Bertanya kepada guru melebihi dari apa yang mungkin guru kalian jelaskan. Serta berani menyuarakan pendapat kalian terkait hal ini kepada guru-guru kalian agar revolusi pendidikan di tanah air dapat segera terjadi (dengan cara yang baik dan sopan tentunya). Sehingga pada akhirnya, kita benar-benar merasa kenyang karena tahu bagaimana memakai “sendok” ini untuk makan.

Terimakasih semoga bermanfaat..

--

--

Naufal Dary N
BonapasogitMengajar

Seorang penulis dan jurnalis muda yang giat di bidang pendidikan.