Komunikasi Bebas Konflik - Hiromi Yamasaki

Akhyatun Nisa
Booknotations
3 min readJul 6, 2024

--

Seperti cara kita mengepal tangan dan cara kita mandi yang memilih pola ternyaman sendiri. Komunikasi juga begitu. Jika menurut kita kinerja yang detail membuat kepuasan yang begitu nyaman untuk diri, maka kita akan selalu detail melihat kinerja orang lain.

Kalimat tersebut, adalah kalimat pertama yang aku anotasikan, yang berasal dari buku "Komunukasi Bebas Konflik" karya Hiromi Yamasaki. Buku ini aku baca ketika situasi di sekelilingku membuat telingaku ingin pecah. Intonasi yang keras, saling menyalahkan, hingga menyudutkan sudah begitu memuakkan.

Adapun, berikut adalah beberapa inti buku yang berhasil aku rangkum:

  • Cara berpikir dalam pekerjaan dibagi menjadi dua, yakni berpikir untuk masa depan yang cenderung terjadwal dan sistematis, dan berpikir masa sekarang yang cenderung ingin pekerjaan dengan kondisi yang menyenangkan. Keduanya enggak salah, itu hanya jenis pola.
  • Untuk melihat pola emosi orang lain, lihat dulu pola emosi diri sendiri. Bandingkan, kemudian cari perbedaannya.
  • Manusia punya kecenderungan untuk diakui eksistensinya. Sehingga untuk menyenangkan komunikasi, kita akui eksistensi lawan. Contohnya dengan menyapanya dan menyebut namanya. — Akui eksistensi dengan bertanya kabar. Akui eksistensi dengan mengucapkan terima kasih.
  • Dalam komunikasi keluarga, eksistensi juga penting. Dibandingkan hanya memerintah "Jangan begitu, mending begini". Alangkah lebih baik akui dulu eksistensinya dengan pujian. Caranya : ungkapkan eksistensi lawan bicara, ungkapkan eksistensi diri, dan jabarkan tujuan — Tanpa penghakiman. Contoh komunikasinya ketika anak tidak melakukan tanggung jawabnya : “Kamu adalah anak kesayangan ibu, ibu bahagia punya kamu. Tapi hari ini ibu kecewa karena merasa tidak berhasil jadi ibu. Tidak berhasil karena anaknya tidak membersihkan kembali tumpahan air tadi, kemarin ibu sudah mengajarkan kamu untuk disiplin dan bertanggung jawab. Tolong dibersihkan lagi ya Nak.”

Dari contoh tersebut, anak pasti akan meminta maaf, kemudian mengerjakan tanggung jawabnya. Adapun setelah anak tersebut membersihkan kembali tumpahan airnya, jangan lupa mengucapkan terima kasih agar eksistensi anak diakui dan dihargai.

  • Ada kalanya, menyatakan kelemahan diri kepada orang lain juga penting. Kita berhak bermanja ria kepada orang lain. Ini akan membuat kita lebih bisa berkompromi dengan diri sendiri. Bahwa "Oh iya, aku punya kelemahan di bidang ini, Aku bilang aja deh, siapa tau kekuranganku bisa dia bantu untuk diusahakan lebih baik".
  • Rasa lelah yang dirasakan dalam hubungan antar manusia itu kebanyakan disebabkan karena asumsi kita sendiri. Ketika melihat orang lain cemberut, "Ih kayanya dia benci aku deh". Jadinya? Lelah sendiri karena terus menerus menerka.
  • Jika asumsi-asumsi sendiri menguasai diri, yakinilah bahwa lawan bicara yg menentukan ya/tidak. Jika memang urgensi untuk dihubungi pagi, hubungi saja. Jangan berasumsi "Ih kayanya dia lagi sibuk". Tidak! Kalaupun mereka sibuk, ketika dihubungi, pasti mereka akan menjawab "Oh iya nanti ya siangan aja bahasnya". So? Mari meminimalisasi bermain dengan asumsi sendiri.
  • Kasihlah pandangan yang beda tentang marahnya orang lain. Sehingga ketika ada yang marah "Kenapa sih jemur baju begitu!", Alih-alih membalas "Ya terserah dong, berisik banget!" Disarankan untuk bilang "oh iya, maaf ya. Nanti akan diusahakan lebih rapi lagi. Tapi nanti tolong bantuin aku kalo aku kepayahan jemur baju yang rapi ya". Komunikasi seperti ini, adalah komunikasi yang juga menyampaikan tujuan dengan jelas.
  • Kemarahan bukan dibenturkan, tapi disampaikan. Hal ini bisa kita ambil case-nya dari seorang ibu yang khawatir terhadap anaknya karena tidak pulang cepat. Alih-alih membentak "Heh kemana aja kamu, bandel ga pulang-pulang!". Orang tua yang memiliki manajemen kemarahan dengan baik akan lebih memilih untuk mengungkapkan perasaannya. "Akhirnya anak ibu sudah pulang, ibu sedikit khawatir tadi karena cuacanya lagi mendung, yuk makan dulu". Komunikasi seperti ini, membuat anak lebih memahami bahwa orang tuanya khawatir.

Dari beberapa anotasi tersebut, satu hal yang pesannya begitu berkesan, yakni tentang menyatakan kelemahan diri dalam komunukasi. Terkadang, kita begitu ingin terlihat serba bisa hingga mengiyakan segalanya, padahal jika sesekali mengakui bahwa kita memiliki kekurangan di beberapa hal, bukan hanya pembelajaran yang bisa saja kita terima dari lawan bicara karena kita ingin belajar lebih baik, tapi sikap saling memahami dan mengasihi juga berpeluang lebih dirasakan. Mari akui eksistensi diri, kemudian mengakui eksistensi orang lain.

Terakhir, untuk mendapatkan pengalaman membaca yang lebih menyenangkan, silakan membaca bukunya secara langsung.

— Booknotations — Akhyatun Nisa

Jika tertarik menuliskan anotasi buku, review buku, atau pengalaman menyenangkan ketika membaca buku di Booknotations, silakan request menjadi penulis ke email : booknotations@gmail.com

--

--

Akhyatun Nisa
Booknotations

Poetry | Essay | Opinion | Narration | Storytelling. For req, critics, and suggest, please DM me via IG (ayaa.ns_) or email (satukarya.ayaa@gmail.com)