Mitigasi Perubahan Iklim dengan Personal Carbon Trading

Pelajaran dari Norfolk Island dan Selandia Baru

Avocato
Borderless.id
8 min readOct 2, 2020

--

Photo by Ketan Kumawat from Pexels

Bayangkan dunia di mana kita dapat secara langsung mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus mendapatkan kompensasi finansial atas kontribusi pribadi tersebut. Hal ini sempat diuji coba di Norfolk Island, sebuah pulau kecil bagian dari Australia yang berjarak hampir 1700 kilometer arah timur laut Sydney.

Pada tahun 2010, Norfolk Island menguji coba skema Personal Carbon Trading (PCT). Ide utama dari PCT adalah untuk mendorong dan memberi insentif kepada masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup lebih sehat dan ramah lingkungan. Masyarakat yang berpartisipasi dalam percobaan tersebut diberikan sebuah kartu (selayaknya kartu debit) berisi sejumlah carbon credit. Kredit tersebut akan berkurang setiap kali peserta skema membeli bensin atau membayar tagihan energi listrik. Bagi mereka yang menggunakan lebih sedikit carbon credit — seperti memilih untuk lebih banyak bersepeda dibanding mengemudikan mobil atau dengan menghemat listrik di rumahnya — akan dapat menukarkan sisa kreditnya­ dengan uang tunai setiap akhir tahun.

Ide utama dari PCT adalah untuk mendorong dan memberi insentif kepada masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup lebih sehat dan ramah lingkungan

Pengalaman Norfolk Island mengimplementasikan skema PCT memunculkan sejumlah pertanyaan: Bagaimana kemungkinan skema PCT untuk dapat diimplementasikan di yurisdiksi yang lebih besar? Bagaimana potensi dan tantangan implementasi PCT terutama berkaitan dengan prinsip kesetaraan (equity)? Artikel ini berupaya menjawab sejumlah pertanyaan tersebut dengan merujuk Selandia Baru sebagai ilustrasi atas dua dasar utama. Pertama, Selandia Baru merupakan yurisdiksi yang sepenuhnya dikelilingi lautan (sea-locked) dengan ekonomi yang maju (serupa dengan Norfolk Island). Kedua, Selandia Baru telah memiliki pasar karbon dalam negeri, yang dikenal sebagai NZ ETS (New Zealand Emissions Trading Scheme).

Tentang Emission Trading Scheme (ETS) di Selandia Baru

Skema NZ ETS diresmikan pada tahun 2008. Salah satu tujuan utamanya yakni memenuhi kewajiban negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Protokol Kyoto. Kerangka regulasi NZ ETS dibuat pada tahun 2002, tidak berselisih lama dari berlakunya Undang-Undang Respon Perubahan Iklim di sana.

Pada awalnya skema NZ ETS ditetapkan tanpa adanya batasan jumlah emisi dalam negeri (cap-and-trade). Partisipan skema juga diperkenankan untuk membeli carbon offset credit dari luar negeri secara tidak terbatas. Hal ini penting agar skema ini memperoleh dukungan politik dari kelompok kepentingan yang kuat (khususnya dari sektor pertanian) yang khawatir skema tersebut akan merusak daya saing sektor mereka. Namun, praktik tersebut menyebabkan pengurangan emisi dalam negeri menjadi tidak signifikan dan menjadi disinsentif bagi sektor pertanian untuk melakukan investasi atau inovasi rendah karbon.

Secara substansial, NZ ETS memiliki atribut yang sama dengan skema pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services). Berdasarkan ilustrasi di bawah, perdagangan karbon terjadi antara pembeli (perusahaan pencemar), penyedia jasa lingkungan (pihak yang menjaga lingkungan dan/atau mencegah terjadinya emisi, lihat gambar), serta perantara antar keduanya (misal pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang diberi amanat).

Ilustrasi NZ ETS, sumber: MOTU

Dalam skema NZ ETS, pemerintah bertindak sebagai perantara yang menetapkan dan membatasi pasokan emisi dalam negeri. Di skema ini, peserta berhak menerima 1 NZU per tCO2e (setara dengan 1 ton CO2 ekuivalen) dari pemerintah apabila mereka terlibat dalam kegiatan pengurangan emisi karbon. Demikian pula, para peserta harus menyerahkan sejumlah NZU yang mereka miliki kepada pemerintah sesuai dengan jumlah ton emisi CO2 yang mereka keluarkan akibat dari aktivitas ekonominya.

Poin utamanya adalah memberikan insentif pada peserta NZ ETS agar mengurangi emisi mereka. Lantas, peserta berhak mendapatkan keuntungan finansial dengan menjual surplus unit emisi yang mereka miliki kepada pihak yang membutuhkan.

Kenapa PCT berpotensi untuk diterapkan di Selandia Baru?

Selandia baru memiliki keunggulan dari sisi pengalaman dan sumber daya untuk mendukung implementasi kebijakan yang progresif seperti PCT. Ini merupakan keunggulan tersendiri dibandingkan negara lain yang belum memiliki skema ETS sama sekali. Saat ini NZ ETS memiliki cakupan sektor ekonomi terluas dari semua ETS yang ada di dunia — hanya ada sekitar 20 negara dan yurisdiksi sub-nasional di dunia yang saat ini menerapkan ETS. Hal ini tentunya menjadi potensi bagi NZ ETS untuk juga mengimplementasikan PCT agar cakupan pengurangan emisinya meluas ke ranah rumah tangga dan/atau individu.

Anggap PCT yang akan diimplementasikan di Selandia Baru serupa dengan yang diimplementasikan di Norfolk Island. Pertama, pemerintah akan menetapkan batas emisi dalam negeri dari transportasi pribadi dan penggunaan energi rumah tangga. Kedua, carbon credit akan secara berkala dialokasikan kepada orang dewasa (secara gratis) dengan besaran yang sama rata per kapita. Ketiga, kredit tersebut akan berkurang setiap kali individu membayar kebutuhan energi listrik, gas, atau membeli bensin. Terakhir, sisa kredit tersebut dapat diperdagangkan di pasar karbon tingkat rumah tangga/invididu, atau bisa seperti di Norfolk Island, di mana individu dapat menguangkan kredit yang mereka miliki setiap akhir tahun.

Satu lagi keunggulan Selandia Baru adalah tingginya kesadaran warga di sana terkait isu perubahan iklim. Sebuah studi di 2015 memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat di sana telah mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi emisi di tingkat rumah tangga dan individu. Penelitian tersebut lebih lanjut mengungkap bahwa kemungkinan orang Selandia Baru untuk mengambil tindakan mitigasinya sendiri akan lebih besar jika: mereka yakin perubahan iklim akan berdampak besar pada mereka; mereka merasa diberdayakan untuk mengurangi dampak tersebut. Di sini, kebijakan hilir seperti PCT sendiri secara inheren dapat memberikan insentif sosiopsikologis kepada individu untuk mengubah perilaku penggunaan energi lebih efektif dibandingkan pajak karbon (carbon tax).

Melihat PCT dari sudut pandang kesetaraan (equity)

Pengalaman Norfolk Island mengimplementasikan PCT memberikan wawasan dan pelajaran penting tentang kepraktisan skema tersebut. Hasil uji coba PCT di Norfolk Island tidak serta merta dapat direplikasi sepenuhnya di tempat lain. Dibutuhkan pembaruan yang berdasar pada proses evaluasi. Oleh karenanya, evaluasi program pengurangan emisi karbon yang menyeluruh menjadi hal yang krusial.

Evaluasi program ini seharusnya tidak hanya berdasar pada tingkat efektivitasnya dalam mengurangi emisi, kemampuannya untuk memenuhi target dengan biaya yang wajar (efisiensi), melainkan juga berkaitan dengan manfaat distribusionalnya (equity). Lockwood, berpendapat, bahwa PCT menarik dari sudut pandang distribusi karena sebagai kebijakan hilir, pendapatan dari PCT cenderung dapat didistribusikan kembali kepada masyarakat dibandingkan dengan pendapatan dari carbon tax.

Poin mendasar yang masih diperdebatkan dalam PCT adalah aspek kesetaraan dalam alokasi emisi atau carbon credit. Aktor yang mendukung gagasan alokasi carbon credit per kapita yang sama rata (equal) berpendapat bahwa atmosfer, tempat emisi GRK kita yang berkeliaran dengan bebas, adalah ‘milik bersama’ (commons).

Argumen ‘milik bersama’ ini sejatinya relevan diterapkan apabila kita hidup di tengah-tengah kondisi masyarakat yang benar-benar adil dan setara. Sebuah studi di Inggris, tempat di mana PCT diperkenalkan, menyimpulkan bahwa 70 persen publik menganggap bahwa alokasi carbon credit yang sama rata per kapita tidaklah adil karena seseorang acap membutuhkan lebih banyak carbon credit dibandingkan orang yang lain. Sebagai contoh, warga yang tinggal di daerah pegunungan bersalju tentu perlu menggunakan lebih banyak listrik untuk menghangatkan diri dibanding mereka yang tinggal di daerah pesisir. Dengan kata lain, PCT yang berkeadilan justru berarti bahwa orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan harus menerima carbon credit di atas rata-rata.

Alokasi carbon credit yang sama rata per kapita juga berpotensi merugikan kelompok ekonomi lemah. Dengan alokasi demikian, rumah tangga yang lebih miskin dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan memiliki kendaraan pribadi akan dirugikan dibandingkan mereka yang lajang dengan kepemilikan kendaraan pribadi. Di sisi lain, menurut penelitian terkait di Inggris, 59 persen unit rumah tangga berpotensi memiliki surplus carbon credit yang besar tanpa melakukan kegiatan pengurangan emisi apapun.

Hal-hal di atas menjadi sinyalemen bahwa PCT menyimpan potensi risiko berkaitan dengan aspek kesetaraan dan mengindikasikan pentingnya pengetahuan yang akurat tentang jejak karbon (carbon footprint) individu sebelum mengimplementasikan PCT. Peneliti dan pembuat kebijakan pada akhirnya perlu merumuskan formula unik untuk mengalokasikan carbon credit yang sesuai dengan kelompok masyarakat sasaran. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa merumuskan skema alokasi carbon credit yang berkeadilan dan unik?

Alokasi carbon credit yang sama rata per kapita juga berpotensi merugikan kelompok ekonomi lemah. Dengan alokasi demikian, rumah tangga yang lebih miskin dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan memiliki kendaraan pribadi akan dirugikan dibandingkan mereka yang lajang dengan kepemilikan kendaraan pribadi.

Salah satu cara untuk merumuskannya adalah dengan mengkategorikan dan menganalisis individu atau rumah tangga berdasarkan seperangkat indikator, serta menyiapkan instrumen konkret di mana carbon credit dapat digunakan (semisal untuk pembelian BBM dan pembayaran tagihan listrik). Sebagai contoh, modified-PCT dapat ditargetkan untuk seorang kepala keluarga, di mana besaran alokasi carbon credit-nya ditentukan dari indikator sosial, demografis, dan ekonomi rumah tangga masing-masing.

Modifikasi skema PCT seperti di atas dapat dikatakan akan lebih layak dari aspek kesetaraan, namun perlu juga dicatat bahwa biaya transaksi (transaction costs) skema modified-PCT berpotensi menjadi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan PCT dengan carbon credit yang dialokasikan sama rata per kapita. Akan ada trade-off antara aspek efisiensi biaya dan kesetaraan.

Modified-PCT memerlukan pelaksana yang harus terus mendeteksi dan mengelompokkan individu berdasarkan serangkaian indikator untuk dapat menentukan batasan carbon credit yang optimal bagi masing-masing keluarga. Pengelompokan tersebut perlu ditelaah dan disesuaikan secara berkala mengikuti perubahan-perubahan indikator rumah tangga tersebut.

Tantangan implementasi PCT di Indonesia

Baru-baru ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengumumkan Indonesia akan mendapatkan pembayaran berbasis kinerja dari Green Climate Fund (GCF) sejumlah USD 103.8 juta atas penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di dalam negeri. Sebelumnya, Pemerintah Norwegia juga menyatakan akan membayar Indonesia sebesar USD 56 juta sebagai imbal balik pengurangan emisi dari sektor yang sama. Pencapaian tersebut tentu layak diapresiasi, tetapi ini baru langkah awal untuk terus memitigasi perubahan iklim secara berkelanjutan.

Tantangan paling mendasar untuk implementasi PCT di Indonesia adalah belum adanya pasar karbon (carbon market) dalam negeri yang mapan. Pembayaran dari GCF dan Norwegia misalnya dapat dikatakan hanya sebatas bentuk bantuan luar negeri (foreign aid) berbasis kinerja. Secara karakteristik ini berbeda dengan mekanisme dalam sebuah pasar karbon, seperti NZ ETS, di mana transaksi akan terus berjalan selama ada penyedia jasa lingkungan dan pembeli (para “pencemar” yang membeli kuota emisi). Sedangkan bantuan luar negeri secara karakteristik dapat berhenti di waktu tertentu.

Pada tingkat lokal sebenarnya terdapat beberapa skema perdagangan karbon yang telah berjalan hingga saat ini. Katingan-Mentaya Project dan Rimba Raya Biodiversity Reserve di Kalimantan Tengah misalnya. Inisiatif-inisiatif tersebut menawarkan carbon offset credits ke berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Tentu inisiatif-inisiatif ini penting, tetapi belum cukup untuk diintegrasikan ke dalam gagasan PCT yang memiliki sasaran yurisdiksi dan komunitas yang luas.

Pada upaya implementasinya, kebijakan progresif seperti ETS dan PCT menghadapi tantangan serius untuk bertarung dalam ekosistem business-as-usual. Sebagai ilustrasi, gagasan PCT pernah dianalisis secara mendalam oleh pemerintah Inggris di tahun 2008. Namun, pada saat itu Department for Environment, Food & Rural Affairs (Defra) Inggris menyatakan bahwa PCT sebagai kebijakan belum cocok untuk diterapkan pada saat itu, sebab dianggap tidak praktis, kurang dapat diterima publik, serta mahal untuk diimplementasikan. Tentu tarik-ulur antara aspek efisiensi biaya dan kesetaraan juga memengaruhi penilaian Defra saat itu.

Ke depan, tantangan semacam itu juga berpeluang besar dihadapi oleh upaya implementasi PCT di Indonesia, negara yang hingga saat ini perekonomiannya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.

Jadi, siapkah Indonesia dengan model kebijakan PCT dan tantangan yang menyertainya?

--

--

Avocato
Borderless.id

Researcher. Enjoys lively discussions about every subjects under the sun.