Aku, Yang Paling Beruntung

Risha Aulia Fitriani
BOSBOUW
Published in
5 min readNov 22, 2017

--

Andaikata lidah dan bibir adalah hal yang diberikan Tuhan kepada makhlukNya, aku akan menjadi makhluk Tuhan yang banyak berteriak, meminta keadilan. Keadilan atas takdir yang terjadi dalam waktu yang terus berlari. Mengapa? Biar aku ceritakan kepadamu mengapa.

Beberapa ribu tahun lalu, Bumi ni terbentuk. Unsur didalamnya menceritakan kebahagiaan nenek moyangku. Mereka hidup dengan cumbuan udara yang tak mengganggu, karena unsur murninya yang menyegarkan selalu.

Semua nenek moyangku meneruskan perjalanannya dengan memanggil Tangan Tuhan pada polinator. Ya, Tuhan mengutus polinator sebagai perpanjangan tangannya untuk membantu menyebarkan polen jantan nenek moyangku kepada polen betinanya. Pertemuan mereka membuat sejarah tentang keberlanjutan bumi ini, termasuk keberadaanku.

Namun, suatu hari Tuhan berkata lain tentang takdir mereka. Dia mengutus Adam dan Hawa untuk merajut cinta dan menyebarkan kebaikan di Bumi. Kelak, akan muncul senyawa-senyawa yang setelah diteliti, dinamakan kromosom XX dan XY yang didalamnya terdapat DNA sempurna yang menyebar di belahan bumi ini. Ya, DNA sempurna itu adalah manusia, karya terbaik Tuhan Yang MahaEsa.

Kau tahu, pikiranku tentang mereka selalu buruk bilamana aku teringat perlakuan mereka pada nenek moyangku. Perlakuan tersebut diceritakan oleh para polinator yang sering menghampiriku untuk meminta sariku.

“Jadi begini ceritanya. Dulu, di belahan bumi manapun, semua nenek moyangmu dapat ditemukan, karena kemurnian Bumi ini yang dilukis oleh Tuhan. Ketika waktu datang untuk menunjukkan tentang takdir, maka berubahlah semua. Komplotan penghuni Bumi yang disebut manusia itu datang dan dengan kasarnya merenggut napas nenek moyangku, pun termasuk nenek moyangku. Mereka datang dengan besi di tangannya, melakukan aktivitas yang mereka sebut menebang. Tanpa ampun melukai. Tanpa ampun menghabisi. Meranalah semua. Tanah seluas ribuan hektar itu, yang tadinya warna hijau berubah menjadi coklat, dan nantinya berubah menjadi besi tinggi yang biasa mereka sebut gedung. Yang lebih menyedihkan, banyak sekali makhluk sejenis kami, yang hidup di dalamnya, pun yang meminta makanan darinya, otomatis menghilang. Kami mati tak punya rumah dan makanan. Kami menangis tapi tak ada sandaran. Dan ya, sisa-sisa dari kami harus pergi, beradaptasi. Nantinya, bila beruntung, Kami akan dapat melanjutkan hidup, atau bila malang menhghampiri, maka ajal akan menjemput kami pada perjalanan mencari rumah baru. Kau tahu, aku ini adalah telur hasil pertemuan ayah dan ibuku yang berhasil sampai dari Barat ke Timur. Oleh karena itu, aku bisa hadir di sini, menjemput rezeki Tuhan kepadaku melaluimu.” Cerita polinator itu.

Aku tak habis pikir dengan cerita itu. Selalu terkenang setiap kata sang polinator tentang perlakuan manusia kepada nenek moyangku. Aku pun merasakan sebuah perasaan janggal, aku takut. Tak pernah aku setakut ini dalam setengah abad lebih kehidupanku. Sejujurnya, cerita itu sudah disampaikan oleh Sang Polinator sejak sangat lama, tetapi entah mengapa tiba-tiba hari ini aku kembali terngiang akan kata-katanya. Tuhan, tolonglah aku ini. Umurku bisa dibilang sudah lama. Akan jadi apakah aku kelak? Aku tak ingin bertemu dengan makhluk-Mu yang dinamakan manusia itu. Untuk apa pula lah Kau menciptakan mereka? Sungguh ampuni aku bilamana ketidaktahuanku ini tentang karyaMu membuatku merasakan ketakutan yang mendalam terhadapku dan koloniku.

Hari kesekian dalam hidupku. Aku jauh-jauh sudah melupakan cerita sang polinator itu. Sejauh ini hidupku baik-baik saja. Semua pasokkan nutrisi tercukupi, pun dengan pernapasanku. Aku dan koloniku baik-baik saja. Kami sering bercengkerama dan bercerita, pun dengan polinator yang hinggap padaku, dan beberapa makhluk lainnya yang tinggal di tempatku. Kicauan burung pun masih terdengar menyenangkan untukku. Aku berada pada fase terbahagiaku ketika menemukan semua ini ada dan menemaniku dengan baiknya. Namun, kondisi itu tidak lama. Beberapa tahun kemudian, saat umurku mencapai delapan puluh tahun lebih sepuluh hari, sesuatu datang secara bergerombolan ke tempat tinggal kami. Aku baru pertama kali melihatnya. Mereka berbeda dari polinator ataupun beberapa makhluk berkaki empat yang sering memburu mangsa di sekitaran aku berdiri. Mereka terlihat seperti apa yang pernah sang polinator ceritakan kepadaku.

“Manusia itu memiliki bentuk yang sempurna menurutku. Aku pernah melihatnya ketika aku ke kota dahulu. Mereka punya alat indra yang terlihat dan berfungsi bagus sekali. Bilamana kita mempunyai alat indra secara tersirat, kehadiran alat indra mereka indah hingga terdapat banyak alat yang digunakan untuk mempercantik dirinya. Mereka punya dua mata yang dilindungi bulu mata dan alis, serta kelopak mata yang membuatnya terlihat sangat menarik. Warna dari bola mata mereka juga bermacam-macam, sangat menunjukkan kecantikan Tuhan. Alat pernapasan mereka adalah hidung yang setiap orang berbeda deskripsinya. Mereka sering menyebutnya dengan hidung yang mancung atau yang kurang mancung (re :pesek). Selain itu, tinggi tubuh mereka dan proporsionalnya alat gerak mereka membuat nilai kesempurnaan makhluk yang dinamakan manusia itu.” Papar polinator kepadaku.

Saat itu, ketakutanku mencuat. Perasaan ini sesunugguhnya menakutkan, namun aku sedang menggenggamnya. Aku sungguh tidak ingin berpisah dari kedua orang tuaku dan koloniku. Pun dengan tetangga dan saudaraku karena manusia itu. Maka, aku mulai untuk berpasrah pada titik tertinggiku. Setelah menunggu setelah beberapa menit, mereka datang dan mulai menyentuhku dengan kulitnya yang jauh lebih halus dari milikku. Ia mulai berkata, “Teman-teman, lihatlah pohon ini. Umurnya sudah sekitar delapan puluh tahun. Tidak pernah aku melihat pohon dengan umurnya yang sebegitu tua namun sungguh indah selain dua pohon di sekitarnya. Aku menantikan pertemuan ini sejak lama.” Aku tersanjung dengan pernyataan itu. Kalimat yang tidak aku dengarkan darimanapun. Namun aku sungguh tidak sebodoh itu. Aku tau aku tidak mampu berkutik bilamana mereka benar-benar mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi, aku bisa bertahan sebisa mungkin dengan kekuatanku untuk tetap berdiri bilamana merkea ingin merenggut hidupku.

Beberapa jam berlalu. Sekumpulan manusia ini ternyata tidak berbuat banyak. Mereka hanya mendirikan tempat singgah dan bercengkerama dengan sesamanya. Dari percakapan mereka, aku tahu bahwa mereka ingin memberikan service terbaik untuk Kami. Katanya, Kami harus dilestarikan untuk keberjalanan Bumi ini kelak. Untuk mendengar kalimat tersebut, aku terkejut dan ingin sekali berteriak. Hingga beberapa hari kemudian, aku melihat mereka melakukan hal-hal yang tidak diucapkan sang polinator. Mereka bekerja keras untuk membuat peradaban yang membuat kami tetap kokoh dan terhormat, tidak seperti cerita-cerita yang diceritakan oleh sang polinator.

Dua puluh tahun kemudian, tepat ketika umurku mencapai usia satu abad, banyak sekali manusia yang datang kepadaku. Mereka datang dan menghormati aku dan nenek moyangku, bahkan mereka memelukku dan berkata maaf untuk kejahatan nenek moyang mereka kepada nenek moyangku. Aku jadi teringat sebuah kalimat yang diucapkan oleh polinator kala itu, yang aku lupa untuk mengingatnya. Dia berkata, “Nah, hal yang membuat manusia sungguh spesial di mata Tuhan adalah akal mereka yang digunakan untuk memajukan bumi ini. Sebenarnya aku belum tau dimana poin memajukannya, tapi aku percaya suatu hari mereka akan membangun bumi ini dengan baik.” Dan semua itu terjadi. Aku menjadi saksinya. Mereka, manusia yang sebenar-benarnya diciptakan oleh Tuhan adalah manusia dengan akal terbaik, yang menyadari bahwa keberadaan kami, tumbuhan dan hewan, juga ekosistem, adalah sebuah sistem yang diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan seluruh komponen Bumi, termasuk diri mereka sendiri.

Dari aku,

Pohon paling beruntung

Nb : Aku mohon untuk tidak menyakitiku dan seluruh pohon di dunia dengan paku dan iklan yang kalian sematkan pada kami. Terima kasih.

--

--