Bukan Pohon

lalu apa?

Nur Faiz
BOSBOUW
4 min readNov 20, 2017

--

bagiku pohon bukan sekedar kayu yang berdiri dengan batang yang coklat dan daun yang hijau. pohon adalah aku; ia menyimpan air mata dan suara tawa dalam setiap senti batangnya, ia menyimpan cerita seorang Faiz kecil dalam tumbuh gugur setiap daunnya. ia bukan sekedar pohon, ia begitu mengenalku. atau bisa jadi, ia adalah aku.

Faiz kecil dan pohon besar. ini sungguh dulu, saat aku belum menyadari pohon ini termasuk dalam famili Myrtaceae.

Faiz kecil memiliki pekarangan didepan rumah dengan dua pohon Sukun yang besar. setiap berbuah, semua tetangga senang — karena mamaku akan membagikannya kepada mereka. buah Sukun sangat enak dibuat menjadi keripik, gurih dan nagih. namun tidak semua orang bisa mengolahnya, sehingga para tetangga lebih suka jika diberi buah sukun yang sudah berbentuk keripik oleh mamaku ketimbang buah sukun mentah. cocok, ibuku pun lebih suka mengolahnya lebih dulu menjadi keripik baru membagikannya dengan wadah toples pada tetangga. pohon Sukun itu tidak diam — ia mengenalkanku pada orang-orang.

Faiz remaja suka sekali berpuisi, entah kejadian apa yang membuatku suka berpuisi. mungkin karena saat SMP aku berteman dengan seorang pujangga yang mirip Mahar di trilogi Laskar Pelangi — versi perempuan. indah sekali dia berkata-kata, juga ketertarikannya pada karya-karya puisi dari Anwar hingga Rendra membuatku tertarik juga. hingga ada momen kami mengikuti lomba puisi bersama — seperti yang kalian duga, aku tidak juara. meski begitu, ketertarikanku pada sastra masih tinggi; menulis puisi di atas pohon adalah kegiatanku sehari-hari saat itu.

perkenalkan, Faiz remaja. kurus namun visioner.

hal ini berlangsung hingga SMA, aku masih melakukannya. kurang lebih sudah duapuluh puisi yang aku buat di atas pohon — entah itu pohon depan rumah, atau aku harus memanjat bukit yang tinggi lebih dulu di lereng Gunung Slamet, lalu memanjat pohon tinggi disana, kemudian menulis. sungguh aku rindu saat itu. sayangnya kini puisi-puisi itu entah dimana. namun beruntung, foto di hari itu masih ada.

Sayang sekali foto menulis puisi diatas pohon sudah tidak ada teman-teman. tapi foto ini masih di hari yang sama saat aku menulis diatas pohon. sekitar beberapa menit sebelum memanjat pohon. (latar belakang: Gunung Slamet)

ah, masih ingat betul aku rasanya menulis puisi diatas pohon. membawa selembar kertas dan pensil, memanjat, mencari posisi yang nyaman untuk bersandar lalu segera menulis. diam, dingin, namun berisik. karena suara daun yang bergesekan sebenarnya membisikkan kata-kata puitis itu satu per satu, aku hanya tinggal menulis kemudian menyimpannya dalam buku. pohon itu tidak diam — ia bersenandung.

bulan-bulan setelahnya aku semakin menyukai kegiatan alam, karena kegiatan itu yang memungkinkan aku bertemu dengan pohon. teman, kini aku hampir dewasa dan berkuliah di kampus Ganesha (meski cabang Jatinangor, tapi cap nya masih Ganesha), jauh dari pohon Sukun itu, jauh dari semua pohon yang aku pernah tiduri. namun aku yakin--sebagaimana orangtuaku-- mereka mendoakanku, hingga aku bisa di tempat ini; duduk, mendengarkan ceramah orang-orang pintar di kelas. dan hebatnya, aku juga mendengarkan ceramah orang pitar di luar kelas. menjelaskan apa? ya, kalian tahu. menjelaskan pohon!

mengenal pohon lebih serius

sebutan untuk jurusanku kini adalah Rekayasa Kehutanan. ya, hutan, tempat sekumpulan teman-teman kecilku berada. mau tidak mau, aku makin banyak berkenalan dengan teman kecilku itu. mengenal namanya, sifatnya, manfaatnya, bagaimana ia bisa berdiri kokoh dan tetap tumbuh, meski akhirnya mati juga. entah doa apa yang pohon-pohon masa kecilku panjatkan untukku, sehingga saat ini aku berada di tempat yang mulia untuk mempelajari mereka. mungkin ini saatnya aku balas budi, saatnya bermanfaat; seperti mereka, membuat orang bersahabat, menjadi tempat orang bersandar dan berkleuh kesah, tetap tenang namun bermanfaat, kokoh meski hujan dan badai, dan selalu mendoakan orang-orang baik. karena pohon juga tau, ia pasti mati. begitu pula aku, dan kamu.

pohon Jelutung: getahnya biasa kita makan dalam bentuk permen karet. ini dia pabriknya. (dok. pribadi, 2016)

Pada akhirnya memang kita harus memiliki rasa sayang terhadap pohon. karena kadang kita lupa, bahwa mereka hidup. apapun profesi kita nanti, kita harus tetap mengajak anak-anak kita untuk mengenalnya, merawat dan menghargainya. karena ia hidup juga bersama kita. karena pohon akan selalu menjaga kita meski ia tidak berbicara dengan bahasa manusia.

pohon selalu membuat cerita.

pohon tidak diam — dia sungguh mengenalku. atau bisa jadi, ia adalah aku.

Selamat Hari Pohon Sedunia, 21/11/2017–00.51 WIB.

--

--